,

Masyarakat Adat Vs Perusahaan Sawit Dominasi Konflik SDA di Kalsel

Periode 2012-2014, pengaduan konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) yang masuk ke Walhi Kalimantan Selatan, mencapai 21 kasus. Dari sejumlah kasus itu, konflik masyarakat adat dengan perkebunan sawit besar mendominasi, sebanyak 12 kasus, disusul pertambangan tujuh kasus. Sisanya, kasus pencemaran lingkungan.

Konflik dalam dua tahun di Kalsel ini melibatkan lebih kurang 6.420 keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 148.000 hektar.

Dwitho Frasetiandy, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, konflik terjadi karena ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pengelolaan SDA. Struktur SDA yang timpang, menjadi masaah utama yang belum selesai.

“Izin-izin usaha penggunaan tanah dan pengelolaan SDA tidak menghormati keberagaman hukum yang menjadi dasar hak tenurial masyarakat dan sering terjadi pelanggaran HAM,” katanya.

Menurut Nur Kholis, Komisioner Komnas HAM, sejalan dengan konsep Nawa Cita Presiden Joko Widodo poin pertama, negara harus hadir dalam melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga.  “Dalam konteks HAM, konflik agraria dan SDA yang terjadi selama ini identik dengan pelanggaran HAM.”

Dwitho menambahkan, sebenarnya Kalsel sudah memiliki Perda Fasilitasi Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.  Seharusnya, sat ini menjadi momentum pas bagi daerah untuk serius menyelesaikan konflik-konflik ini.

Untuk itu, Komnas HAM bersama dan Walhi Kalsel mendesak pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota serius menyelesaikan akar-akar pokok konflik SDA. Mereka merekomendasikan beberapa hal bisa dilakukan pemerintah. Pertama, pengakuan dan kepastian hukum terhadap penguasaan tanah-tanah masyarakat. Kedua, mencegah konsentrasi penguasaan tanah berlebihan oleh seseorang atau sekelompok orang. Ketiga, merombak struktur agraria dan SDA timpang antara masyarakat dan korporasi.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang 2004 -2014, terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar dengan lebih 926.700 keluarga harus menghadapi ketidakadilan dan konflik berkepanjangan.

Masalah sektoralisme kebijakan dan kelembagaan dalam pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi penyumbang konflik. Berdasarkan sektor, konflik agraria sektor perkebunan 536 kasus, infrastruktur 515 kasus, kehutanan 140 kasus, tambang 90 kasus, pertanian 23 kasus, pesisir-kelautan enam kasus dan lain-lain.

Intimidasi dan kriminalisasi dialami warga. Cara-cara represif aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik agraria masih terjadi dan mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 luka-luka, 110 tertembak peluru aparat dan 70 tewas.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,