,

Hakim Tolak Gugatan Kebakaran Hutan Walhi, Mengapa?

Putusan hakim hanya berhenti pada kurang pihak yang digugat, belum masuk pada bahasan pokok perkara. Walhipun akan membuat gugatan baru per daerah.

Setelah setahun persidangan kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Jambi digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhirnya majelis hakim memutuskan perkara tak diterima. Demikian disampaikan Ketua Majelis Hakim, Nani Indrawati dalam pembacaan putusan di PN Jakpus, Selasa (9/12/14).

Walhi menggugat presiden, kapolri, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan dan 15 kepala daerah atas kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Jambi.“Gugatan kabur dan tidak dapat diterima,” kata Nani.

Nani sudah mengantongi serifikasi hakim lingkungan hidup. Saat memimpin persidangan, dia didampingi hakim anggota Annas Mustaqim dan Iim Nurohim. Majelis hakim beralasan kebakaran hutan dan lahan gambut sekitar 70-80 % terjadi di konsesi perkebunan sawit. Seharusnya, Kementerian Pertanian masuk sebagai tergugat. Walhi tak memasukkan.

“Gugatan tidak dapat diterima karena ada pihak yang tidak dilibatkan. Sebetulnya, fokus bukan pada tanggung jawab menteri. Tapi tidak apa-apa. Kemungkinan akan mengajukan gugatan baru. Karena pokok perkara belum diperiksa,” kata Muhnur Satyahaprabu, kuasa hukum Walhi.

Muhnur mengatakan, jika merujuk pada tanggung jawab negara, sebetulnya Walhi cukup menyeret presiden. Karena presiden, orang yang bertanggungjawab dalam pemenuhan hak atas lingkungan. Sayangnya, majelis hakim, tidak mempertimbangkan semua bukti dalam persidangan. Putusan tidak masuk pokok perkara, berhenti di persoalan kurang pihak. Untuk itu, katanya, Walhi akan membuat gugatan baru yang dilakukan per daerah.

“Ada  kesalahpahaman kami dengan hakim. Kami melihat gugatan ini hak atas lingkungan bukan gugatan kebakaan hutan. Apapun sumber penyebab, baik hutan, lahan, gambut atau tidak,  fakta ada pencemaran lingkungan yang mengakibatkan hak rakyat atas lingkungan menjadi berkurang. Itu poin. Tidak dalam konteks perbuatan melawan hukum apa.”

Muhnur beralasan, dalam gugatan di Indonesia, warga hanya diberikan fasilitas menuntut hanya dua cara, perbuatan melawan hukum, atau wanprestasi. “Walhi tak mungkin menggugat wanprestasi gak mungkin. Karena kan tidak ada utang piutang. Gugatan perbuatan melawan hukum itu yang menjadikan sarana membuktikan negara lalai. Sebenarnya, bukan mengajak hakim berdebat siapa berbuat apa. Kita tak akan mampu. Karena harus dirinci setiap kementerian perbuatan melawan hukum apa. Kami melihat ada pemahaman yang berbeda,” katanya.

Dia berpendapat, dengan putusan ini sebenarnya membuyarkan tanggungjawab negara atas hak warga mendapatkan lingkungan sehat. “Sebenarnya tuntutan kita ingin pemerintah audit lingkungan, pemetaan kerawanan kebakaran hutan, evaluasi perizinan, pencegahan dini dan permintaan maaf. Itu poin-poin kita. SBY waktu itu minta maaf ke Malaysia dan Singapur, tetapi tidak minta maaf ke rakyat Indonesia. Dalam konteks itu, sensitivitas hakim seharusnya melihat walaupun tidak rinci, masa’ tidak bertanggungjawab? Pemeriksaan masih menggunakan hukum perdata biasa.”

Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi mengatakan, meski kecewa dengan putusan, tetapi hakim cukup bijak. Bantahan tergugat dijawab hakim dengan baik, misal, hak menggugat Walhi. Tergugat dalam eksepsi beranggapan Walhi tidak mempunyai hak menggugat, tetapi dibantah majelis hakim.

“Hakim menguasai hukum acara. Gugatan tidak dapat diterima karena kurang pihak. Dalam hukum acara perdata, kalau kurang pihak, memang harus begitu. Ke depan, pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan ini harus bertanggungjawab di persidangan. Kita berharap bisa membuat gugatan baru.”

Advokat PilNet Andi Muttaqien mengatakan, kecewa dengan putusan hakim karena belum masuk ke pokok perkara dan ada alasan-alasan yang secara formil tidak lengkap.

“Kami akhirnya dinyatakan gugur, tidak dapat diterima. Ini di luar prediksi. Tetapi kekecewaan itu akan kami bayar dengan upaya gugatan baru di beberapa daerah provinsi. Khusus kepada perusahaan-perusahaan yang membakar hutan. Seperti di Sumatera Selatan dan Pekanbaru, sedang mempersiapkan gugatan. Bukan pemerintah yang digugat, tapi perusahaan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,