Beginilah Perlakuan pada Komunitas Polahi di Gorontalo

Sabtu, (22/11/14), matahari begitu terik. Puluhan orang tak beralas kaki menjadi tontonan warga. Mereka bertelanjang dada. Dedaunan menghiasi kepala mereka yang menyerupai mahkota. Begitu pula celana, dan leher berkalungkan daun hijau. Beberapa memegang tombak.

Mereka adalah warga komunitas Polahi. Hari itu, mereka ikutserta dalam Carnival Danau Limboto 2014. Komunitas Polahi selalu hadir, seperti sebelumnya, seraya membawa spanduk bertuliskan “Suku Terasing (Polahi).”

Parade ini memamerkan budaya dan adat istiadat orang Gorontalo, mulai pakaian khas karawo, makanan, tata cara sunat, pernikahan, tarian, sampai pada tata cara adat dan doa hamil tujuh bulanan. Parade ini diawali di bawah Menara Limboto,  dan berakhir di Sport Centre Limboto. Berjarak sekitar satu kilometer.

Komunitas Polahi mendapat antrian paling belakang. Panas matahari membuat mereka harus berteduh di bawah pohon. Warga banyak menonton mengeluarkan kata-kata bahwa Polahi tidak seperti yang mereka bayangkan. Bagi sebagian masyarakat Gorontalo, ketika mendengar nama Polahi, identik dengan hal-hal berbau mistik.

“Ternyata Polahi tidak tahan panas matahari,” kata seorang warga.

Polahi yang ikut carnival itu tidak hanya laki-laki juga ibu-ibu membawa anak kecil berusia lima tahunan. Mereka tak beralaskan kaki. Sang anak hanya mengenakan kaos kaki hitam tanpa sepatu. Anak itu menangis kehausan. Tak lama, sang ibu memberikan air kemasan. Orang-orang Polahi ini didampingi aparat dari Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo.

“Ini Suku Polahi, suku terasing. Mereka memang berpakaian dari daun seperti ini,” kata seorang ibu, pendamping komunitas Polahi.

Namun, makin lama menunggu arak-arakan berjalan, orang-orang Polahi seperti tak tahan. Matahari makin panas menyengat. Tidak lama, mereka diberi sandal jepit oleh para pendamping.

Komunitas Polahi mencapai finish terakhir di Sport Centre yang disaksikan bupati dan para undangan. Di lokasi ini, mereka banyak dimintai foto oleh warga dan pengunjung. Salah seorang warga Polahi mengulurkan tangan, bermaksud meminta uang.

Komunitas Polahi tahun 1997. Foto dokumen
Komunitas Polahi tahun 1997. Foto dokumen Verrianto M

Rekayasa Komunitas Polahi

Awal 2012, program televisi, Trans TV, Ethnic Runaway edisi 056 tentang komunitas Polahi di Gorontalo, dinilai merekayasa. Pada episode itu, Ethnic Runaway yang membawa dua bintang hiburan, Kris Hatta dan Dea Lestari, ke hutan Boliyohuto bertemu dengan komunitas Polahi.

Program itu yang awalnya bernama “Primitif Runaway” diganti menjadi “Ethnic Runaway” setelah mendapat protes dari banyak kalangan, dianggap banyak melecehkan masyarakat Polahi.

Ketua AJI Kota Gorontalo, Syamsul Huda Muhammad Suhari,  mengatakan, khusus episode Polahi di Gorontalo, selain bahasa tubuh dan penggunaan diksi tidak tepat terhadap komunitas Polahi, kebohongan terbesar mereka melakukan rekayasa. Sebab, orang-orang Polahi sebetulnya sudah memakai pakaian sejak lama, namun di-setting telanjang dan memakai pelepah daun.

“Ini dosa media, merekayasa dan pembohongan. Tindakan seperti ini bisa melukai dan mencederai hak-hak masyarakat Polahi,” katanya.

Dalam kamus bahasa Gorontalo ditulis almarhum Mansoer Pateda, dijelaskan, Polahi asal kata dari Lahi-lahi. Artinya, pelarian, atau sedang dalam pelarian. Polahi adalah pelarian masa Belanda yang takut atau tidak mau membayar pajak. Contoh: To oayuwa donggo da:da:ta Polahi. Artinya: di hutan masih banyak pelarian.

Verrianto Madjowa, peneliti Gorontalo mengatakan, tahun 1997 ketika Gorontalo masih tergabung dengan Sulawesi Utara, dia bertemu komunitas Polahi di hutan Gorontalo. Salah satu foto yang dipamerkan di Gorontalo Mall akhir April 2013, adalah hasil bidikannya.

“Sebenarnya Polahi, tidak ada telanjang, seperti digambarkan media-media selama ini.”

Menurut dia, ada beberapa keturunan Polahi ada yang menikah dengan warga luar komunitas. Beberapa warga Polahi mulai mencari rotan. Sebelumnya, hanya penunjuk lokasi-lokasi di hutan yang ditumbuhi rotan.

Pelecehan

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan kalau masyarakat Polahi dikatakan suku terasing, itu pelecehan terhadap masyarakat adat.

“Itu pelecehan serius dan melanggar HAM masyarakat adat,” katanya kepada Mongabay.

Untuk penyebutan,  tidak harus mengatakan suku terasing karena bukanlah orang-orang asing. “Biasa saja penyebutannya. Kenapa harus pakai kata terasing. Sebut komunitas Polahi atau masyarakat adat Polahi.”

Sebelumnya, 7 Mei 2013, AMAN sempat melaporkan keberatan atas pemberitaan Kompas.com ke dewan pers. AMAN keberatan atas artikel tentang  Komunitas Adat Polahi di media itu.

Artikel itu sebelumnya berjudul “Suku  Polahi di Gorontalo Ini, Setengah Manusia Setengah Hewan” diganti  menjadi  “Warga Polahi, Terpinggirkan di Hutan Boliyohuto.” Artikel  ini, menurut AMAN sarat diskriminasi terhadap masyarakat adat, dengan menyematkan predikat Suku Polahi sebagai setengah manusia setengah hewan, primitif dan bodoh.

Dalam rekomendasi umum Committee on  Elimination of Racial Discrimination No. 23 tentang masyarakat adat, artikel ini dianggap menyebarkan  kesesatan berpikir kepada masyarakat luas mengenai masyarakat adat secara umum, khusus komunitas Polahi.

Saat finish di hadapan bupati dan para undangan, Polahi akhirnya  memakai sandal dan dikerumuni warga. Polahi menjadi tontonan. Foto: Christopel Paino
Saat finish di hadapan bupati dan para undangan, Polahi akhirnya memakai sandal dan dikerumuni warga. Polahi menjadi tontonan. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,