Pembukaan hutan di Provinsi Aceh terus terjadi. Tahun 2014 ini, jumlahnya diperkirakan mencapai 287 titik.
Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma, Kamis (25/12/2014) mengatakan, berdasarkan hasil investigasi KPHA, selama 2014 ini terdapat 287 titik pembukaan hutan. Bukan itu saja, ada juga 69 kegiatan illegal logging, 62 kasus perdagangan dan penguasaan satwa dilindungi, 47 kasus kebakaran lahan, dan 23 titik bencana alam.
Menurut Efendi, kejahatan kehutanan yang serius adalah perubahan tata ruang Aceh. Perubahan tersebut mampu menutup pelanggaran yang terjadi dan sarat kepentingan politik. Contohnya, perambahan kawasan hutan dan penebangan kayu di hutan lindung Kabupaten Bener Meriah. Dengan modus membuka kebun kentang, hutan lindung pun dirambah. Padahal, masyarakat daerah tersebut menolaknya.
Juru bicara Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Bener Meriah, Sri Wahyuni menyebutkan, hutan yang rusak di Kabupaten Bener Meriah itu akibat dijadikan lahan pertanian kentang dan holtikultura.
Pembukaan hutan besar-besaran oleh sejumlah pengusaha dilakukan setelah Pemerintah Aceh dan Kabupaten Bener Meriah menandatangani kontrak perdagangan dengan sejumlah pengusaha asal Malaysia. “Jumlah hutan yang rusak mencapai 14 ribu hektar yang sebagiannya masuk kawasan lindung,” tambahnya.
Sri Wahyuni mengatakan, perambahan hutan terparah terjadi di Kecamatan Permata, Bener Kelipah, Bukit, dan Weh Pesam. Selebihnya tersebar di Kecamatan Mesidah, Syiah Utama, Pintu Rime Gayo, Gajah Putih, dan Timang Gajah. ”Masyarakat di desa tersebut resah karena debit air mulai turun.”
Hutan Lindung Cut Mutia
Efendi Isma menambahkan, kasus lain yang terjadi adalah perambahan Hutan Lindung Cut Mutia, Kabupaten Aceh Utara, oleh perusahaan sawit asal Malaysia PT. Mandum Payah Tamita (MPT). “Perusahaan tersebut diduga melakukan proses perizinan tidak prosedural dan ada indikasi overlapping dengan areal Coservation Response Unit (CRU) gajah,” ujar Efendi.
Teungku Sarwaidi, tokoh masyarakat Got Girek, menyebutkan kehadiran perusahaan asing yang bertopeng pengusaha lokal tersebut, telah mengganggu aktivitas warga sekitar hutan. “Masyarakat kehilangan mata pencaharian akibat dibukanya hutan untuk perkebunan sawit, mereka sudah tidak bisa mencari rotan, madu dan lainnya,” ungkapnya.
Masalah lain, sambung Sarwaidi, Hutan Lindung Cut Mutia merupakan daerah lintasan gajah. Jika hutan tersebut dirusak, gajah akan turun ke perkampungan yang akan menyebabkan konflik dengan masyarakat.
Direktur Selamatkan Isi Alam dan Flora-Fauna (SiLFA), Irsadi, mendesak Gubernur Aceh Zaini Abdullah, meninjau ulang izin perusahan PT MPT itu. “Kalau IUPHHK-HTI PT. Mandum Payah Tamita seluas 5.000 hektar untuk dijadikan sawit, berarti Dishut Aceh salah besar. Kenapa tidak dikeluarkan HGU saja. Jelas-jelas, kawasan yang diajukan hutan produksi,” sebut Irsadi.
PT. MPT memiliki izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang diberikan Pemerintah Aceh seluas 8.015 hektar. Perusahaan tersebut, berlokasi di Kecamatan Cot Girek dan Langkahan, Aceh Utara, dan berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Keureto dan Krueng Jambo Aye. Izin konsesinya bernomor 522/052/2003, dikeluarkan Pemerintah Aceh pada 23 Desember 2003 dan berlaku hingga 23 Desember 2053.
Efendi Isma juga mengemukakan, izin usaha pertambangan (IUP) yang berada di kawasan hutan Aceh, sebagian besar belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). “Sehingga, banyak IUP tersebut diduga melakukan pelanggaran,” imbuhnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio