,

Generasi Muda Gerakkan Pertanian Berkelanjutan di Amerika Selatan. Bagaimana di Indonesia?

Indonesia memiliki banyak persamaan dengan dua negara di Amerika Selatan yaitu Peru dan Ekuador. Indonesia dan Ekuador dilintasi garis Khatulistiwa. Adapun Peru berada di sekitar garis ini, seperti sebagian besar wilayah Indonesia. Ketiga ini negara ini memiliki ciri-ciri tak jauh beda, misal sektor  pertanian. Komoditas utama Indonesia, seperti kakao, kopi, dan sawit juga andalan dua negara itu.

Dalam obrolan di Lima pertengahan November lalu, Duta Besar Indonesia untuk Peru, Moenir Ari Soenanda mengatakan, bidang pertanian, Indonesia dan Peru lebih sebagai kompetitor sekaligus mitra. Satu contoh, Peru rumah bagi 3.000 varietas kentang. Peru menjadi tempat The International Potato Center (IPC), lembaga riset di bawah PBB.

IPC ini memiliki cabang di Lembang, Bandung, Jawa Barat. “Karena itulah, Indonesia bisa belajar lebih banyak tentang budidaya dan pengolahan kentang dari Peru,” kata Moenir.

Selain kentang, Indonesia juga bisa belajar kampanye pertanian berkelanjutan bagi anak-anak muda di dua negara ini, Peru dan Ekuador. Berdasarkan perjalanan di dua negara ini pada November lalu, saya mencatat ada beberapa hal yang bisa jadi pelajaran bagi Indonesia.

Pertama, pendidikan bisnis pertanian bagi anak-anak muda.“Pengetahuan rencana bisnis sangat penting untuk anak-anak muda agar paham pertanian,” kata Bruno Soyel Maldonado, Kepala Sekolah Pachacutec, Rio Venado, Junin, Peru.

Memasukkan pertanian ke sekolah termasuk hal baru di sana. Sejak 2011, sekolah berjarak sekitar 500 km dari Lima ini memasukkan pertanian sebagai pelajaran tambahan. Ia diberikan tiap Jumat hingga Minggu selama dua jam untuk siswa IV–VI atau setingkat Kelas I–III SMP di Indonesia.

Menurut Bruno, bisnis pertanian ini sesuai program Pemerintah Peru memberikan tambahan materi education for work. “Kami ingin memberikan materi tambahan lebih relevan dengan kondisi lokal.”

Bisnis pertanian juga dipelajari dalam pelatihan koperasi petani di Satipo, Junin. Mereka mengikuti kompetisi kewirausahaan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendukung pertanian berkelanjutan.

Gledy Sulca Solano (24), salah satu pemuda yang mengikuti pelatihan dan kompetisi kewirausahaan itu. Bermodal sekitar Rp60 juta, dia mengelola bisnis bibit kopi. Dia bekerja di Departemen Pertanian Junin selain memiliki dua hektar kebun kopi yang dikelola sendiri.

“Setelah memiliki pengetahuan tentang bisnis pertanian, saya merasa lebih percaya diri berbisnis bibit,” kata Gledy.

Kedua, memberikan peran-peran baru bagi anak muda di dunia pertanian. Pertanian merupakan rantai panjang budidaya hingga menjadi produk siap saji, misal, cokelat dan kopi. Di Ekuador dan Peru, anak-anak muda mulai mengambil peran dalam rantai ini.

Di San Martin dan Junin, Peru ataupun di Esmeraldas, Ekuador, para pemuda tidak hanya menjadi petani kakao atau kopi juga penguji kualitas, seperti Javier Meza di Ekuador dan Jerry Fabian Cardinas di Junin, Peru.

Salah satu gerakan apara pemuda di Indonesia, kampanye pangan sehat ke pasar-pasar. Foto: Anton Muhajir
Salah satu gerakan apara pemuda di Indonesia, kampanye pangan sehat ke pasar-pasar. Foto: Anton Muhajir

Javier Meza, penguji kualitas kakao dan Jerry Fabian, penguji kualitas kopi (cupping tester). Setelah belajar cupping test, Jerry baru sadar pertanian tak sekadar bekerja di kebun.

“Memproduksi kopi tak hanya budidaya, ada pengolahan pasca-panen seperti pengujian rasa hingga penyajian kopi berbeda-beda (barista).”

Sejak setahun terakhir, bersama beberapa anak petani, Jerry belajar cupping test. Dia menjadi salah satu cupping tester dan belajar penyajian kopi. “Dulu saya bercita-cita jadi tentara. Setelah tahu pengolahan kopi, sekarang bercita-cita membuat perusahaan kopi bersama teman-teman.”

Kini Jerry belajar menjadi Q-Grader, tingkat tertinggi penguji cita rasa kopi, di laboratorium Koperasi Satipo, Junin. Begitupula Javier jadi penguji kualitas kakao di perusahaan cokelat Uoprpcae.

Direktur Utama Koperasi Satipo Zacaris Cristobal Carhuamaca mengatakan, koperasi harus menemukan cara-cara baru melibatkan anak muda dalam pertanian. Cara itu antara lain, tukar pengalaman sesama petani muda atau kunjungan ke tempat lain, termasuk luar negeri. “Anak-anak muda harus bekerja keras di rantai kopi karena mereka minum kopi.” Lalu, memberikan nilai tambah untuk komoditas andalan. Inilah dilakukan koperasi-koperasi petani di Peru atau organisasi tani di Ekuador.

Kakao dan kopi juga menjadi barang siap saji, misal, cokelat batangan atau kopi bubuk. Seperti Koperasi Oro Verde di San Martin, Koperasi Pangoa di Junin, dan lain-lain. Koperasi-koperasi milik petani ini memiliki usaha pengolahan kopi dan kakao dengan merek sendiri.

Di Koperasi Pangoa, petani lokal membuat kopi organik dengan merek pasar Pangoa Coffee. Koperasi dengan 702 anggota ini memasarkan kopi siap saji tak hanya ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga lewat kafe di kantor mereka.

Albino Nunez Cainicela, Manajer Pemasaran dan Keuangan Koperasi Pangoa, mengatakan, koperasi ingin melibatkan anak muda dalam semua rantai pertanian. “Keterlibatan anak muda sangat penting untuk masa depan pertanian,” katanya.

Gerakan di Indonesia

Di Indonesia, upaya melibatkan anak muda dalam pertanian sudah dilakukan, seperti di Bali dan Solo, Jawa Tengah. Namun, anak-anak muda lebih banyak terlibat dalam bagian terakhir rantai pertanian yaitu konsumen.

Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Yayasan Pangan Sehat Indonesia (YAPSI) Solo membuat program kampanye pangan sehat untuk anak-anak muda. Begitu pula dengan Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB) di Jakarta.

Kampanye pangan sehat itu dilaksanakan melalui berbagai kegiatan termasuk melalui media sosial. Di Bali, PPLH mengadakan kunjungan rutin ke pasar tradisional. Di Solo, YAPSI kampanye ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Adapun PIB rutin mengadakan Festival Pangan Lokal, Festival Desa, ataupun Youth Camp. “Kami ingin pangan lokal menjadi pilihan utama bangsa ini terutama anak muda,” kata Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator PIB.

Pelajaran bisnis pertanian di sekolah Peru. Foto: Anton Muhajir
Pelajaran bisnis pertanian di sekolah Peru. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,