Belum sampai setengah tahun usia Peraturan Presiden (PP) Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, setelah hampir 12 tahun pembahasan, muncul desakan dari industri terutama sawit dan HTI agar pemerintah merevisi kebijakan ini. Mereka ingin revisi antara lain, penetapan tinggi muka air gambut 0,4 meter karena dinilai bisa mematikan usaha. Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan membuka ruang diskusi seperti dihelat Rabu (14/1/15). Dari asosiasi perusahaan, pakar beragam tipe, dan beberapa organisasi masyarakat sipil hadir. Hasilnya, PP Gambut tetap jalan. Namun, potensi melemahkan aturan ini masih ada karena kementerian membuka kemungkinan revisi soal tinggi muka air tanah dengan catatan harus memiliki asas keilmuan.
Hadi Daryanto, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, saat ini akan menjalankan perintah dalam PP Gambut, seperti harus membuat peta kesatuan hidrologis gambut dalam dua tahun. Revisi PP, katanya, mungkin terjadi tetapi harus ada asas keilmuan. “Ga bisa langsung terbit langsung berubah. Kita sepakat, ada tugas PP tentang peta hidrologis. Penuhi ini dulu. Menteri tetapkan fungsi lindung dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Ini kerjaan besar. Kalau ini cepat, orang akan tahu, mana fungsi lindung dan budidaya,” katanya di Jakarta, hari itu.
Dia mengatakan, industri harus membaca teliti aturan ini hingga mengerti bahwa gambut harus terjaga dan tak ada keinginan membunuh industri karena sudah tercantum dalam aturan peralihan. “Mereka gak baca dalam ketentuan peralihan…”
Hadi menceritakan, aturan yang ada saat ini sudah terbilang longgar karena kala pembahasan dia berusaha agar jangan sampai memberatkan industri. “Itu saya sebagai sekjen yang menghalangi. Pada awalnya keras PP itu. Pak Arief (deputi di Kementerian Lingkungan Hidup—dulu) saksi. Jam 7.00 pagi saya datangi. Pak Arief ini gak boleh.” Lalu, muncullah aturan peralihan yang menyebutkan, izin yang ada jalan terus, sampai berakhir, pemanfaatan ekosistem gambut di fungsi lindung dan telah ada izin usaha tetap berlaku dengan menjaga fungsi hidrologis.
“Jadi jangan lagi noreh-noreh kubah. Dulu saya juga gak tahu itu. Saya bela-belain eko hidro waktu orang jahit mulut di sini (warga Pulau Padang protes). Karena katanya atur tata air seperti subak di Bali. Kalau hujan tadah air, agar gak banjir. Kita pikir orang atur air. Ternyata setelah belajar dari Azwar (Prof Azwar M’aas), ini kubah gambut yang ditoreh. Orang tak sadar karena basis perizinan ada. Gak melihat ekosistem gambut.”
Menurut dia, selama ini izin HPH keluar di tanah mineral, bukan gambut. “Ketika di gambut, jadi tahu, PP ini harus dilaksanakan. Lindungi dulu. Karena orang butuh air. Betul lo Azwar.”
Arief Juwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian LHK juga memberi tanggapan terkait desakan revisi kalangan industri ini. Menurut Arief, kala dalam perjalanan yang selama ini perusahaan berada di zona ‘nyaman’ dan mesti berubah setelah ada kebijakan baru, biasa kalau ada reaksi. “Ini kita jalan aja, kemudian ada sebagian dari isu krusial, ibu (menteri) akan tugaskan panel ahli untuk selesaikan. Krusial, hanya kedalaman 0,4 meter. Yang lain gak.”
Hasil pakar nanti, katanya, belum bisa dipastikan sekarang apakah tinggi muka air gambut akan berubah lebih tinggi dari 0,4 meter atau tetap pada angka itu. “Kan kalau kajian belum tentu revisi.”
Dia mengatakan, soal gambut budidaya sudah ada dalam ketentuan peralihan. Berikutnya, ada pengaturan. “Jadi ada kubah diamankan, daerah tengah dan hilir dirapikan. Kalau sekarang kan semua pengusahaan basis konsesi yang ada. Tak melihat fungsi ekologis atau kubah gambut. Bisa kelihatan di Riau, kubah gambut di bagian pinggir ada saluran. Yang masih baik kita amankan dulu.”
Seiring dengan itu, sesuai amanat PP, akan dilakukan inventarisasi dengan citra satelit untuk membuat peta kesatuan hidrologis gambut. “Ini semua jadi dasar pengelolaan dan perlindungan berikutnya. Semua kita inventarisasi. Ini aturan berlaku untuk semua kawasan gambut, semua perusahaan. Gak sepotong-sepotong.”
Dari peta itu juga akan ketahuan mana daerah gambut aman, sudah rusak, atau setengah rusak. “Nanti perlakuan berbeda-beda. Kalau ada perusahaan yang belum jalan tapi di kubah, ya mesti keluar dari situ. Kalau dibiarkan, misal ada menara air, air diambil bukan hanya air yang habis, yang di bawah juga kekeringan. Nah, kekeringan ini ada kaitan dengan karhutla,” ucap Arief.
Menurut dia, dari masukan Prof Azwar M’aas, harus ada manajemen baru, misal, perusahaan yang berada di kubah gambut harus keluar dan kawasan direhabilitasi. “Yang sudah aman dilindungi. Nanti, ikutan dalam pedoman pelaksana akan diatur keharusan ini, ada instruksi pemerintah.”
Senada diucapkan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia belum bisa memastikan apakah akan ada revisi atau tidak PP Gambut itu. “Saya meminta eselon I mengakomodasi dulu berbagai masukan. Jadi belum ada stand point-nya.”
Menurut dia, terpenting bagaimana mekanisme mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang berkembang. “Karena saya sudah bertemu Gapki, APHI udah ketemu. Mereka punya apppeal. Saya juga sudah bertemu LSM-LSM dan mereka punya permintaan. Jadi saya buka saja diskusi. Di sinilah benar-benar diuji antara dimensi konservasi dan ekonomi. Akan kita lihat.”
Usulan revisi
Supiandi Sabiham, dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB mengatakan, pada pasal perencanaan, menyebutkan, menteri wajib menetapkan kawasan lindung pada kesatuan hidrologis gambut yang mempunyai ketebalan gambut tiga meter atau lebih. Menurut dia, dalam kenyataan, banyak lahan gambut mempunyai ketebalan gambut lebih dari tiga meter memberikan hasil baik, terutama untuk kebun baik rakyat maupun perusahaan besar.
Selain itu, katanya, dalam pasal pengendalian di PP Gambut menyatakan, ekosistem dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila muka air di lahan gambut lebih dari 0.4 meter di bawah permukaan gambut. “Bila GWL lahan gambut kurang 0.4 meter, produksi TBS turun secara cukup signifikan. Kala pasal itu berlaku akan berakibat lahan gambut yang sedang diusahakan kebanyakan masuk kriteria rusak,” katanya.
Untuk itu, ucap Supiandi, aturan terkait dengan pasal-pasal itu perlu dipertimbangkan kembali hingga dapat diterima semua pihak.
Derom Bangun dari Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengamini apa yang diucapkan Supiandi. “Saya pikir apa yang digambarkan Pak Supiandi agar dijadikan bahan pertimbangan untuk revisi,” ujar dia. (bersambung)