Karnyoto dan nelayan lainnya di Roban Barat, Kabupaten Batang, Jawa Tengah sudah seminggu lebih tidak pergi melaut. Musim angin laut kencang dan ombak besar (ekstrem) menjadi faktornya. Kapal-kapal hanya bisa terparkir di pinggiran sungai. Aktivitas hanya dilakukan di rumah dan atas kapal, sekedar mengecek mesin kapal, jaring dan kondisi kapal.
“Musim paceklik (karena angin dan ombak besar), kami tidak melaut. Taruhannya nyawa, sedangkan perlindungan bagi nelayan tidak ada,” kata Nyoto, yang ditemui Mongabay pada akhir Februari 2015.
Ia menjelaskan musim paceklik terjadi pada bulan Januari hingga awal Maret. Jika tidak melaut, nelayan hanya beraktifitas di darat dan tanpa penghasilan. Menurutnya perlindungan terhadap nelayan sangat penting, baik individu nelayan sendiri, kapal sebagai sarana juga ruang penghidupannya di laut.
Tidak hanya di Batang, nelayan di Desa Bandungharjo, Kabupaten Jepara, Jateng mengalami hal serupa. Musim angin ekstrem dan ombak besar menjadi kendala nelayan tidak melaut.
Selain itu, Sugeng hariyanto dan nelayan lain di desanya juga sedang melakukan penolakan pertambangan pasir besi dan rencana PLTU di Jepara. Menurutnya, sejak adanya pertambangan, abrasi pantai telah mendekati pemukiman warga. Banyak persawahan dan tambak udang warga yang hilang. Hadirnya perusahaan tanpa adanya sosialiasasi kepada warga terdampak dari kegiatan pertambangan.
“Di Bandungharjo ada 200 kepala keluarga yang terancam kehidupannya sebagai nelayan, petani dan petambak udang,” kata Sugeng kepada Mongabay, pada Senin (02/03/2015).
Sedangkan Abdul Halim dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, hadirnya tambang pasir besi tanpa sosialisasi dari perusahaan berdampak pada konflik sosial antar masyarakat. Dari segi lingkungan, pencemaran limbah dari aktifitas pertambangan yang sulit diatasi akan merusak ekosistem pesisir dan penghasilan yang layak untuk nelayan ikut berkurang.
“Penelitian kami di lapangan, sehari nelayan bisa berpenghasilan Rp500.000 sebelum adanya tambang. Sejak adanya tambang, penghasilan menurun. Sehingga untuk mendapat hasil yang layak, nelayan harus melaut lebih jauh, namun ancaman keselamatan juga semakin berbahaya,” kata Halim.
Sementara itu, Dosen Hidrologi Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang, Budi Santosa menjelaskan pertambangan menjadi faktor antropogenik selain faktor hidro-oceanografi yang bersifat merusak.
Pertambangan pasir akan berdampak pada terjadinya faktor hidro-oceanografi, yaitu perubahan garis pantai berlangsung manakala proses geomorfologi yang terjadi pada setiap bagian pantai melebihi proses yang biasanya terjadi. Proses geomorfologi yang dimaksud dapat berbentuk gelombang, arus, dan pasang surut.
Sementara itu, faktor antropogenik adalah proses geomorfologi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia di pantai dapat mengganggu kestabilan lingkungan pantai. Gangguan terhadap lingkungan pantai misalnya dengan membangun jetti, groin, pemecah gelombang, reklamasi pantai, pembabatan hutan bakau untuk dikonversi sebagai tambak, dan pertambangan. Sehingga Antropogenik inilah yang menjadi faktor paling dominan dalam perubahan garis pantai termasuk aktivitas penambangan pasir besi.
“Pemukiman warga dan tambak tergerus hingga menjadi laut. Kawasan pantai juga merupakan kawasan yang banyak menyimpan potensi kekayaan alam yang perlu untuk dipertahankan,” kata Budi.
Tanggapan KNTI Terkait Cuaca Ektrem
Cuaca ekstrem yang ditandai dengan badai angin dan gelombang besar di laut berdampak besar terhadap kehidupan warga di pesisir. Rumah-rumah di kampung nelayan terkena gelombang pasang dan banjir rob. Nelayan tradisional yang mengandalkan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup harus berhenti melaut akibat tingginya gelombang dalam satu minggu terakhir. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlangsung hingga minggu ke empat Maret.
Misbachul Munir Ketua Bidang Penggalangan Partisipasi Publik Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) kepada Mongabay mengatakan, kondisi ini terjadi semakin parah dalam lima tahun terakhir dan nyaris tidak ada upaya pemerintah untuk memberikan solusi atas kondisi ini. Disaat tidak bisa melaut, para keluarga nelayan tidak mendapatkan pemasukan ekonomi apapun. Seringkali keluarga nelayan harus terjerat utang hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
“Bagi keluarga yang rumahnya rusak akibat terjangan gelombang pasang dan banjir seringkali terlunta-lunta di tenda-tenda yang tidak layak,” kata Munir pada Selasa (03/03/2015).
Berdasarkan laporan jaringan KNTI di lapangan, sejak tanggal 23 Februari 2015 lalu, gelombang tinggi mencapai lebih dari dua meter dan kondisi ini telah mengakibatkan semua nelayan yang berada di Lombok Barat dan Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat tidak bisa melaut.
Demikian juga, ribuan nelayan di sepanjang sepanjang pantai Utara Jawa dalam seminggu tidak bisa melaut karena cuaca ekstrim dan musim angin barat. Di Batang, Jateng, sekitar 10.000an nelayan tidak bisa melaut karena gelombang mencapai 1 – 2,5 meter. Ditambah lagi polemik Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2 /2015 tentang pelarangan pukat hela dan pukat tarik yang masih belum ada solusi bagi nelayan pantura seperti Rembang, Pati, Tegal, Kendal dan Batang.
Di Jawa Timur, nelayan yang berada di Sidoarjo, Surabaya, Madura dan Selat Madura sejak tiga hari lalu tidak ada aktivitas melaut. Sementara persedian makan sehari-hari semakin menipis.
Dalam kondisi seperti ini seharusya negara hadir untuk memberikan perlindungan dan kepastian terpenuhinya hak-hak dasar nelayan tradisional, seperti pangan, sandang dan tempat tinggal selama bencana cuaca ekstrem berlangsung,
“KNTI meminta pemerintah harus bergotong royong untuk memenuhi hak-hak dasar nelayan dalam proses tanggap darurat bencana, dan segera melakukan rehabiltasi dan rekonstruksi paska bencana terhadap sumber-sumber penghidupan nelayan tradisional sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang penanggulangan bencana,” kata Munir.
Di Jawa Timur mulai dari Paciran Lamongan sebanyak 28.154 nelayan, sedang dari Gresik ada skitar 5.800 nelayan, di Sidoarjo ada skitar 1700 nelayan, sdang di Surabaya 2800 nelayan, Madura lebih dari 80 ribu nelayan, dan dari malang selatan sendang biru kecamatan Sumbermanjing ada 3.589 nelayan tidak bisa malaut sejak 10 hari yang lalu. Dan nelayan yang beraktifitas di Selat Madura, sudah 6 hari ini tidak bisa melaut, dangan rata-rata kerugian perhari mencapai Rp.300.000 per nelayannya. Belum termasuk nelayan yang dari Tuban, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, jember dan di daerah lainnya.
Menteri Susi Prioritaskan Kesejahteraan Nelayan
Kesejahteraan nelayan menjadi prioritas pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui program dan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.
Menteri KP Susi Pudjiastuti mengatakan, pihaknya tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Pembudidaya-Ikan Kecil. Peraturan ini selain untuk memberdayakan juga untuk melindungi nelayan dan pembudidaya ikan kecil yang menjadi sasaran dan prioritas program pro rakyat KKP. RPP ini juga disusun dalam rangka menindaklanjuti ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.
“Prosesnya telah melalui harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dan saat ini dalam proses permintaan paraf persetujuan ke menteri terkait,” kata Susi dalam siaran persnya, 24 Februari 2015.
Susi menambahkan, rancangan peraturan ini memiliki lima tujuan utama, yakni mewujudkan kemandirian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik. Kedua, meningkatkan usaha yang produktif, efisien, bernilai tambah, dan berkelanjutan. Ketiga, meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil. Selanjutnya, menjamin akses terhadap sumber daya ikan dan lingkungannya, teknologi, permodalan, sarana dan prasarana produksi, dan pemasaran. Terakhir, meningkatkan penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil.