, ,

Pemerintah Denpasar Tetap Tolak Reklamasi Teluk Benoa

Perwakilan dari PT Tirta Wahana Bali Internasional presentasi soal pembangunan pulau-pulau buatan di Teluk Benoa, dalam konsultasi publik analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) di Denpasar, Bali, Rabu (12/3/15). Menurut mereka, konsultasi publik ini lanjutan sesi pertama, 19 Juni 2014.

Sedangkan Pemerintah Kota Denpasar, tetap menolak rencana ini dari berbagai aspek, seperti tidak sesuai rencana tata ruang kota karena sebagian wilayah kawasan lindung. Lalu, aspek teknis terkait drainase dan oseanografis kawasan Teluk Benoa merupakan muara, daerah sedimentasi teluk hingga volume air bertambah, dan reklamasi akan mengurangi laju arus sungai ke laut.

“Contoh reklamasi Serangan ada perubahan pola arus laut hingga kita harus membuat penambahan pasir pantai, sebabkan perubahan arus laut yang signifikan,”  kata Sudarsana, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Denpasar.

Eko Rudiyanto dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong TWBI membuat kajian komprehensif. “Menurut rancangan yang dikirimkan pada kami, TWBI akan memperluas badan air dari 400 jadi 700 hektar. Di Amdal tolong dikaji dan dicatat apa benar demikian.”  Dia mengatakan, izin pelaksanaan keluar kalau Amdal layak.

Protes ForBALI

Kala itu, I Wayan Suardana mengacungkan tangan tak lama setelah perusahaan pemaparan rencana. Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) ini protes. “Kami melihat, mengkritisi undangan TWBI tak utuh dan lengkap memenuhi komposisi kepesertaan,” kata Suardana alias Gendo.

Dia mengatakan, masyarakat terdampak tak diundang seperti Desa adat Kelan dan Sidakarya ForBALI pun walkout dari forum konsultasi publik terkait analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) ini.

Hampir tiga tahun protes atas rencana proyek berlangsung. Kini, Amdal akan diuji pemerintah pusat. Alasannya, rencana reklamasi ini melibatkan lintas provinsi, salah satu NTB karena pengambilan material pengurugan laut dari Lombok Timur.

Investor pengundang, katanya,  tak menyertakan dokumen materi konsultasi publik untuk dipelajari. Kritisi lain,  pertemuan tak sesuai mekanisme administrasi karena disebut kelanjutan konsultasi publik sebelumnya yang tak absah karena TWBI kala itu belum mengantongi izin lokasi.

“Dengan segala hormat, kami menyatakan nota protes atau keberatan,” katanya. Dia menyerahkan catatan sikap ForBALI kepada Direktur TWBI,  Heru Budi Wasesa. Rapat ini diadakan di Kantor Gubernur Bali, dipimpin sekda.

Konsultan TWBI, Iwan Setiawan menyebut konsultasi ini untuk kepentingan menyusun dokumen Amdal. Setelah studi kelayakan teknis dan ekonomis, diikuti studi kelayakan lingkungan. “Presentasi Amdal di Jakarta karena lintas provinsi. Dokumen Amdal yang disetujui kementerian akan terbuka untuk publik.”

Tanjung Benoa  berdampingan dengan Teluk Benoa. Foto: Luh De Suryani
Tanjung Benoa berdampingan dengan Teluk Benoa. Foto: Luh De Suryani

Sebagian peserta menyetujui rencana reklamasi. Alasannya pragmatis seperti lapangan pekerjaan baru dan Bali perlu daerah wisata baru.

Kembali aksi massa

Dua hari setelah walkout di konsultasi publik, ForBALI aksi kembali. Dengan membawa pelampung, snorkel, hingga boneka bebek untuk berenang, massa ForBALI kembali beraksi Jumat (13/3/15). Mereka mengelilingi lapangan Renon, Denpasar ke DPRD dan Gubernur Bali.

Peralatan ini merupakan simbol peringatan bagi pemerintah dan investor yang akan mereklamasi Teluk Benoa. “Kita tidak mau Bali selatan tenggelam hanya karena kerakusan investor merusak dan mengorbankan alam,” kata Topan, koordinator aksi dari atas mobil pikap.

Massa menuntut pemerintah membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa dan mendesak Presiden Joko Widodo mencabut Perpres no 51 tahun 2014.

Wayan Mardika, salah satu orator menyatakan, Perpres inilah yang mengubah status kawasan Teluk Benoa dari konservasi menjadi pemanfaatan.

Mardika mewakili kelian desa dinas. Ada pula arsitek, aktivis lingkungan, pengurus Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindu), dan perwakilan Walhi Nasional.

Khalisah Khalid, Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Walhi Nasional mengatakan, Bali harus belajar dari beberapa daerah di Indonesia yang memaksakan reklamasi seperti Jakarta dan Manado. Daerah-daerah ini menjadi korban banjir. “Berbanggalah kalian di Bali karena masih menolak rencana yang akan merusak lingkungan.”

Peserta aksi juga menggugat klaim investor yang konon menyediakan 250.000 lapangan kerja baru setelah reklamasi. Wayan Willyanna, peserta aksi mengatakan harus libur kerja karena ikut aksi. “Jelas, kami bekerja selama ini namun harus libur untuk menolak reklamasi. Jangan percaya jika reklamasi untuk menyediakan lapangan kerja baru.”

Gendo mengatakan, Teluk Benoa adalah daerah penampungan banjir. Dia menjadi muara lima daerah aliran sungai (DAS) di Bali selatan. “Jika pemerintah tetap mengizinkan rencana reklamasi Teluk Benoa, mereka sedang menyiapkan rencana agar rakyat kena bencana.

Kajian MP3EI

Di Bali, Rabu (12/3/15), Walhi juga merilis kajian tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.  Salah satu proyek dan jadi studi kasus, reklamasi Teluk Benoa. Kebijakan era Susilo Bambang Yudhoyono ini dinilai paradoks dengan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia 26%.

Walhi menyebut pemerintah, menyiapkan daftar proyek akan dijalankan termasuk fasilitas kemudahan investasi baik bilateral dan multilateral. Estimasi dana Rp4.700 triliun, pembangunan awal hingga Juni 2014 mencapai Rp854 triliun dari 382 proyek.

Walhi melihat ada tiga titik kritis dari skema MP3EI ini. Pertama, inisiatif presiden tanpa partisipasi masyarakat luas padahal obyek barang publik yakni sumber daya alam. Ada masalah ekologis karena tanpa disertai upaya konservasi, dan ketiga mega-mega proyek ini untuk siapa?

Riset dilakukan di tiga wilayah yang punya karakteristik sama, proyek MP3EI dilakukan di wilayah perlindungan, yakni Lampung, Kalimantan Selatan, dan Bali.

Di Bali, ada rencana reklamasi Teluk Benoa. Investor berencana membuat pulau buatan di wilayah konservasi untuk pengembangan wisata terpadu.

Deddy Ratih, Manajer Pengembangan Program Walhi sekaligus peneliti MP3EI, menyebutkan,  ada beberapa kontradiksi antara upaya penurunan emisi dan fokus pembangunan MP3EI yang mengeksploitasi hutan, gunung, dan kawasan konservasi. “Parahnya negara memilih posisi berhadap-hadapan dengan warga ketika ada penolakan,” katanya.

Yang diuntungkan dalam mega proyek ini korporasi karena bukan model hak kelola rakyat. Walhi merekomendasikan sejumlah hal pada pemerintahan Joko Widodo untuk menyikapi MP3EI. Pertama,  mencabut Perpres No 48 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres N0 32/2011 tentang MP3EI. Kedua, menghentikan proyek-proyek MP3EI yang terindikasi meningkatkan emisi dan daya dukung lingkungan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Ketiga, mencabut Perpres 51/2014 untuk cegah reklamasi di Teluk Benoa. Lalu, meminta pemerintah menyusun rencana pembangunan atas partisipasi masyarakat, dan memperpanjang penundaan izin baru serta memperbaiki tata kelola hutan primer dan lahan gambut.

Sederet brosur yang disebar kala konsultasi publik tentang rencana reklamasi Teluk Benoa di Denpasar. Foto: Luh De Suryani
Sederet brosur yang disebar kala konsultasi publik tentang rencana reklamasi Teluk Benoa di Denpasar. Foto: Luh De Suryani
Warga dari berbagai kalangan kembali aksi tolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir
Warga dari berbagai kalangan kembali aksi tolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,