,

Tanpa Dukungan Pemerintah Pusat, Penurunan Emisi Karbon Tujuh Persen di Aceh Sulit Dilakukan!

Pemerintah Aceh menyatakan tetap melanjutkan program Penurunan Emisi dari kegiatan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) meski kini, Badan Pelaksana REDD+ sudah dilebur di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK) melalui Peraturan Presiden No.16 tahun 2015.

Namun begitu, komitmen Aceh untuk menurunkan angka emisi karbon sebesar tujuh persen pada 2020 nanti, akan sangat sulit dilakukan tanpa adanya dukungan dari pemerintah pusat.

“Kami berharap, KLHK yang memegang mandat masalah perubahan iklim dapat melanjutkan komitmennya membantu Aceh dalam program REDD+,” kata anggota Satuan Tugas (Task Force) REDD+ Aceh, Hairul Basri dalam sarasehan bertema “REDD+ Sebagai Instrumen Pembangunan Berkelanjutan” di Kantor Bappeda Aceh, Banda Aceh (24/3/2015).

Aceh merupakan provinsi percontohan Program REDD+ di Indonesia yang menandatangani Kesepahaman Bersama dengan BP REDD+ pada 17 November 2014 lalu. Terbitnya Pepres No 16 Tahun 2015 diharapkan tidak menghambat semangat dan program REDD+ sebagai salah satu instrumen pembangunan berkelanjutan. “Aceh tercatat diurutan ke-12 sebagai provinsi penghasil emisi karbon di Indonesia.”

Hal yang sama dikatakan oleh Ketua Task Force REDD+ Aceh M. Daud. Aceh memerlukan intervensi pemerintah pusat untuk membantu menurunkan emisi karbon sebesar tujuh persen. “Tadinya BP REDD+ menjadi harapan kami, ini dibuktikan dengan kesiapan kami dengan segala persyaratan yang ditetapkan sebelum penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU). Setelah BP REDD+ tidak ada, bagaimana solusinya?”

Pemerintah Aceh juga telah membentuk Tim Satuan Tugas REDD+ dengan melibatkan berbagai komponen, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat adat, akademisi, dan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA).

“Tim ini telah melakukan berbagai kegiatan, diantaranya penyusunan strategi rencana aksi provinsi (SRAP), penyempurnaan data dasar dan peta kadastral, perhitungan Reference Emissions Level (REL), dan berbagai peningkatan kapasitas,” jelas Abu Bakar, Ketua Bappeda, dalam sambutannya yang diwakili Muhammad Fadhil, Kepala Bidang Infrastruktur Bappeda, Pemerintahan Aceh.

Yang belum tercapai adalah penyusunan rencana implemantasi pengukuran, pemantauan, pelaporan yang terverifikasi (MRV), dan MoU dengan kabupaten.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah bersalaman dengan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo disaksikan oleh Wakil Dubes Norwegia Per Cristiansen usai penandatanganan nota kesepahaman di Pendopo Gubernur Aceh, Senin (17/11/2014). Foto: BP REDD+

Keseriusan Pemerintah Aceh disambut baik oleh KLHK yang diwakili oleh San Afri Awang. Menurutnya, semangat dan kegiatan yang telah dilakukan di Aceh akan diintegrasikan kedalam program – program KLHK. “Kita akan menggunakan berbagai sumber daya. Kita tidak berhenti. Tidak ada yang sia-sia karena akan diteruskan (oleh KLHK),” kata Awang.

Awang berjanji, jika ada anggaran untuk program REDD+ maka pemerintah akan mengutamakan daerah-daerah yang sudah berproses. Meski begitu, di hadapan Tim task force, Pemerintah Aceh dan LSM, Awang juga mengaku belum mengetahui bagaimana komitmen Pemerintah Norwegia terhadap program REDD+ apakah sebatas mendanai persiapan atau masuk sebagai negara pembeli karbon. “Belum jelas juga, kita belum mendengar komitmen Norwegia untuk membeli karbon dari Indonesia.”

Terkait Aceh, Awang mengingatkan ada permasalahan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang sekarang sedang diributkan oleh pegiat lingkungan. “Ada persoalan terkait Taman Nasional Gunung Leuser dan ekosistem Leuser. Keunikan dan kearifan lokal Aceh harus diangkat dan dipahami dengan baik sehingga program REDD+ kedepan benar – benar bermanfaat bagi rakyat.”

Kritikan datang dari anggota Task Force REDD+ Aceh dari Dinas Kehutanan Aceh, Saminuddin B Tou, yang mengingatkan bahwa sebagai provinsi dengan otonomi khusus, Aceh diharapkan tidak tergantung pada pendanaan REDD+ dari Pemerintah Pusat. Menurutnya, sebagai provinsi yang pernah punya inisiatif program volunteri REDD+, Aceh harusnya bisa lebih maju dalam program REDD+.

“Aceh punya kewenangan khusus yang menjadikan Aceh sebagai entitas pengelola dana REDD+ langsung. Jadi, kita tidak perlu menunggu dari Jakarta. Aceh harus mengelola sendiri dana REDD+, bukan sebagai pesuruh kumpul-kumpul data,” ujar Saminuddin.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,