,

Desa Massewae, Bangkit dari Kemiskinan Berkat Hutan

Meskipun usia lebih paruh baya, Bahar tampak tangkas memangkas rumput-rumput kebunnya di hutan. Tak jauh dari situ, istrinya Nasirah memetik cabai yang berbuah lebat.

Sehari-hari, setelah dari kebun jagung di luar hutan, siang hingga sore hari, Bahar dan istrinya Nasirah pergi ke hutan. Di hutan ini, sambil membersihkan tanaman jati putih dari tumbuhan rambat, mereka bisa memetik cabai dan labu.

Hasil cabai seminggu tiga sampai empat kg, dijual di pasar terdekat Rp7.000 per kg. Sedang labu, biasa untuk konsumsi pribadi atau dibagikan ke tetangga.

Selama ini, Bahar banyak bergantung hasil panen jagung. Dari perhitungan, sekali panen tak pernah mendapatkan keuntungan banyak, bahkan terkadang kembali modal. Namun, empat sampai enam tahun tahun ke depan, panen jati putih di lahan 60 are itu, bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Bahar, satu dari 40 petani hutan tergabung dalam Koperasi Bulu Dewata di Desa Massewae, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Ini satu dari 14 koperasi yang memperoleh izin kelola hutan tanaman rakyat (HTR) di Pinrang.

Menurut Nawir Abidin, Ketua Koperasi Bulu Dewata, luas hutan kelola 313 hektar dari 600-an hektar yang diusulkan. Itupun hanya 167 hektar bisa ditebang, karena selebihnya buffer zone (kawasan penyangga), yang membatasi dengan hutan lindung. “Di buffer zone hasil hutan bisa diambil tapi pohon tak bisa ditebang.”

HTR Koperasi Bulu Dewata fokus usahanya jati putih. Meski ada tanaman lain, seperti labu, kakao, cabai dan enau. Pemilihan jati putih ini kesepakatan anggota koperasi, karena dianggap ekonomis. Kondisi tanah dan ketersediaan air di sekitar hutan, juga kondusif bagi pertumbuhan jati putih.

“Sebenarnya di sini dulu banyak jati lokal, yaitu jati merah, hanya saja pertumbuhan lambat, bisa sampai 20 tahun. Jati putih cuma 6-8 tahun,” kata Nawir.

Dalam sehektar mereka bisa menanam sampai 1.000 bibit jati putih, dengan jarak antartanaman sekitar tiga meter. Itupun harus berdampingan dengan tegakan tanaman lain yang menurut aturan tak boleh ditebang sebelum waktunya. “Aturan tegakan yang ada tak bisa ditebang sebelum jati besar.”

Salah satu usaha  Koperasi Bulu dewata adalah pembibitan jati putih. Para petani anggota dilatih  membibit dan pemeliharaan tanaman. Foto: Wahyu Chandra
Nawir Abidin, Ketua Koperasi Bulu Dewata, sedang menunjukkan salah satu usaha Koperasi yaitu pembibitan jati putih. Para petani anggota dilatih membibit dan pemeliharaan tanaman. Foto: Wahyu Chandra

Menurut dia, tanaman lain yang lebih tinggi bisa menganggu pertumbuhan jati putih karena menghalangi sinar matahari.

“Bandingkan tanaman yang tak dinaungi dengan ternaungi. Ini lebih besar dan lebih tinggi, padahal ditanam saat bersamaan.”

Melihat sekeliling, terlihat sejumlah pohon tampak lebih subur dibanding pohon lain. Namun pertumbuhan jati putih ternyata juga dipengaruhi faktor lain, yaitu tanaman rambat yang menjadi parasit, bisa menghambat pertumbuhan.

“Jadi harus rutin dibersihkan, tanaman rambat menghambat pertumbuhan jati.”

Pembentukan Koperasi Bulu Dewata sebagai pengelola HTR di Desa Massewae memiliki cerita tersendiri. Pada 2010, Sulawesi Community Foundation (SCF), organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang kehutanan sosialisasi HTR di Kantor Bupati Pinrang. Mereka mengundang berbagai stakeholder terkait, termasuk masyarakat di sekitar hutan. Nawir, ketika itu sebagai Kepala Desa Massewae, hadir dan tertarik konsep HTR.

Sumber ketertarikan dia, tujuan HTR beroreintasi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, khusus masyarakat miskin.“Alasan lain karena saat itu banyak yang ingin masuk untuk sawit dan kepentingan bisnis lain.“

Setelah pertemuan itu, dia pun bergerak cepat. Dia mengumpulkan sejumlah warga mendirikan koperasi, yang diberi nama Bulu Dewata berarti Gunung Tuhan. Setelah itu, Nawir mengajukan usulan ke Dinas Kehutanan dan mengurus akte pendirian di notaris.

“Seluruh pendanaan swadaya. Cukup banyak uang pribadi saya mengurus itu.”

Setelah ada koperasi, mereka mengajukan proposal penerbitan izin HTR ke bupati, dalam proposal dilampirkan data-data koperasi dan peta kawasan hutan.

Awal pengusulan 600 hektar, namun oleh tim Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produski (BP2HP), setelah verifikasi di lapangan, hanya 313 hektar.

Sukses pendirian koperasi dan perizinan, mereka mengajukan pinjaman dana dari Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kehutanan. Lalu BLU verifikasi kelembagaan dengan kriteria penilaian pada koperasi, lokasi, pengurus, izin, peta dan lain-lain.

Akhirnya, BLU memutuskan memberi pinjaman seluas 163 hektar menggunakan pola rencana kerja tahunan (RKT) jangka waktu delapan tahun.

Dalam memenuhi bibit, koperasi membuat usaha pembibitan. Petani anggota dilatih membibit sekaligus pemeliharaan tanaman yang baik.

Menurut Awaluddin, fasilitator SCF, Koperasi Bulu Dewata termasuk sukses di Sulsel dalam pengelolaan HTR. Sebenarnya, ada empat koperasi serupa namun tidak berjalan baik karena salah memahami konsep HTR.

“Ada yang mengira bisa langsung menebang pohon setelah izin keluar padahal tidak seperti itu. Mereka bahkan mengeluarkan uang banyak demi izin itu.”

Jati induksi ini jati lokal yang diberi perlakuan khusus. Bagian tanaman  yang dipotong adalah akar agar bisa tumbuh lebih banyak lagi anakan akar, yang akan mempercepat pertumbuhan jati. Foto: Wahyu Chandra
Jati induksi ini jati lokal yang diberi perlakuan khusus. Bagian tanaman yang dipotong adalah akar agar bisa tumbuh lebih banyak lagi anakan akar, yang akan mempercepat pertumbuhan jati. Foto: Wahyu Chandra

Berkah bagi petani

HTR merupakan skema pengelolaan hutan bagi masyarakat untuk bisnis atau usaha hasil hutan. Program ini dicanangkan pemerimtah 2007. Salah satu syarat pengelolaan hutan ini ada izin pengelolaan hutan dari pemerintah, bisa diajukan individu ataupun kelompok, koperasi ataupun lembaga berbadan hukum lain.

Namun biasa izin HTR diberikan kepada koperasi dengan pertimbangan jika individu, ketika warga pemilik izin meninggal, hak otomatis terputus, tak bisa diwariskan kepada anggota keluarga lain. Luasan lahan diajukan pun terbatas.

“Kalau koperasi, tanggungjawab ada pada koperasi, bukan individu. Meskipun anggota kelompok meninggal, izin pengelolaan tetap berlaku selama koperasi masih ada,” kata Nawir.

Pemberian izin pengelolaan HTR di Desa Massewae ini, mejadi berkah bagi warga. Selama ini, warga mengelola kebun pada hutan produksi sembunyi-sembunyi.

“Sejak plang dipasang pemerintah sekitar 1980-an, tak ada lagi warga terang-terangan berkebun di hutan. Kebun-kebun dibiarkan tak terawat dan hanya dikunjungi ketika ada hasil. Setelah ada HTR warga bisa lebih tenang dan leluasa.”

Warga sekitar hutan, yang selama ini petani subsisten yang hidup pas-pasan kini punya harapan perekonomian lebih baik di masa mendatang.“Kalau hasil kelak bagus, akan sangat berdampak pada kesejehteraan mereka.”

Keanggotaan koperasi ini didasarkan pada klaim kepemilikan lahan di hutan. Umumnya, luas lahan bekisar 50 are hingga satu hektar.

Selain jati putih, tanaman lain yang coba dikembangkan Koperasi Bulu Dewata adalah jati lokal yang dinduksi. Artinya, ketika masih dalam bentuk bibit, akar jati lokal dipotong, diberi enzim penumbuh dan dikembangkan di lokasi yang kedap udara dengan plastik khusus.

Salah satu petani yang cukup sukses induksi ini adalah Ismail, juga pengurus di Koperasi Bulu Dewata. Proses induksi tanaman ini, menurut Ismail, meski terlihat mudah namun sebenarnya memerlukan keahlian tersendiri.

“Banyak sudah coba lakukan tetapi selalu gagal. Kalau saya sendiri selalu bagus hasilnya.”

Pengetahuan induksi ini diperoleh Ismail setelah mendapatkan pelatihan dari SCF, yang mendatangkan pelatih dari Universitas Gajahmada  (UGM) Yogyakarta beberapa tahun silam.

Kelebihan jati hasil induksi ini, memiliki akar serabut jauh lebih banyak dibanding jati biasa. Jika jati biasa hanya memiliki cabang akar 15 buah, jati induksi bisa 100 percabangan akar.

Ismail kemudian menunjukkan beberapa tanaman jati induksi meski belum setahun namun setinggi empat sampai lima meter.

Namun, jati induksi yang diberi nama ‘Jati Dewa’ atau di tempat lain disebut ‘Jati Super’ ini, belum banyak dibudidayakan warga. Hingga kini Ismail baru menginduksi bibit 50 pohon, sebagian ditanam sendiri dan sebagian dibagikan ke petani lain.

“Warga masih enggan karena belum lihat hasil. Tapi memang ini juga susah kalau dikerjakan sendiri petani. Saya juga baru bisa produksi terbatas karena terkendala peralatan pendukung.”

Data Dinas Kehutanan Sulsel, terdapat areal pencadangan HTR 40.353 hektar di 12 kabupaten. Di kabupaten ini luas pencadangan 8.100 hektar. Sebanyak 14 koperasi telah memperoleh SK.IUPHK-HTR atas hutan 2.927 hektar.

Koperasi Bulu Dewata mengembangkan pertanaman jati putih sebagai usaha hutan yang hasilnya cukup menjanjikan. Dalam satu hektar mereka bisa menanam hingga 1.000 bibit jati. Setelah dua tahun, tanaman-tanaman itu kini sudah setinggi 4-5 meter. Foto: Wahyu Chandra
Koperasi Bulu Dewata mengembangkan pertanaman jati putih sebagai usaha hutan yang hasilnya cukup menjanjikan. Dalam satu hektar mereka bisa menanam hingga 1.000 bibit jati. Setelah dua tahun, tanaman-tanaman itu kini sudah setinggi 4-5 meter. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,