,

Studi: Masa Depan Konservasi Pulau Kalimantan Dapat Diselamatkan Lewat Kerjasama Tiga Negara

Tiga negara yang berbagi pulau Kalimantan (Borneo), yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei dapat menyelamatkan kerugian ekologis hingga US$ 43 milyar setara jumlah nominal, jika mampu mengkoordinasikan upaya konservasi dan pembangunan ekonomi lingkungan mereka, demikian disebutkan dalam jurnal terbaru Nature Communications.

Dalam skenario ini, masing-masing negara yang berbagi pulau Kalimantan dapat mengatur alokasi lahan secara optimal, sehingga setengah dari pulau Kalimantan masih tetap berbentuk hutan, tempat habitat dari berbagai spesies endemik seperti orangutan dan gajah kalimantan hidup. Upaya tersebut dapat dilakukan jika masing-masing negara teguh dalam janji konservasi yang selaras dengan strategi pembangunan ekonomi masing-masing.

Penulis utama laporan ini, Rebecca Runting, dari Australian Research Council’s Centre of Excellence for Environmental Decisions (CEED) University of Queensland, menyebutkan bahwa untuk mencapai agar target tujuan konservasi ini dapat bertemu diantara tiga negara, maka diperlukan kemauan untuk berbagi informasi dan mereformasi rencana penggunaan lahan yang ada.

Kalimantan, merupakan pulau terbesar ketiga di dunia, merupakan rumah bagi lebih dari 14 ribu spesies tanaman dan 1.600 hewan darat. Sebuah laporan yang dirilis tahun lalu menunjukkan bahwa diantara tahun 1973 dan 2013, hampir sepertiga dari hutan hujan tropis di pulau Kalimantan telah hancur akibat kebakaran, industri penebangan maupun dikonversi menjadi perkebunan sawit serta hutan tanaman industri (HTI).

Kalimantan sendiri, adalah satu-satunya pulau di dunia dimana dalam satu pulau terbagi menjadi tiga jurisdiksi negara berdaulat.

“Rencana penggunaan lahan di pulau Kalimantan tidak efisien, dan jika terus berorientasi untuk capaian ekonomi jangka pendek, maka akan merugikan tujuan konservasi jangka panjang,” jelas Runting dalam pernyataannya kepada Mongabay.com. “Kolaborasi antara tiga negara dan reformasi penggunaan alokasi lahan akan membuka jalan bagi pencapaian berbagai target secara efektif.”

Lebih lanjut, Runting menyebutkan baik Indonesia dan Malaysia berencana untuk menambah lahan yang akan dibuka untuk perkebunan sawit dan HTI seluas 7,1 juta hektar dalam dua puluh tahun kedepan.

Capung merah endemik Kalimantan (Neurothemis fluctuans). Foto: Rhett Butler.

Salah satu skenario yang ditelusuri dalam penelitian ini adalah dokumen Heart of Borneo initiative, sebuah konservasi trilateral dan perjanjian pembangunan berkelanjutan yang disepakati pada tahun 2005, yang bertujuan untuk melindungi 22 juta hektar wilayah pegunungan tengah di Kalimantan.

Pendekatan dari para peneliti menyebutkan bahwa pendekatan terpadu yang disarankan akan jauh lebih efektif jika tidak hanya berfokus di wilayah pegunungan namun mencakup pula wilayah-wilayah dataran rendah dimana berbagai hidupan keragaman hayati ditemukan.

Dalam skenario optimal yang disarankan oleh peneliti, maka lahan seluas 8,6 juta hektar yang dijadwalkan untuk ditebang, 4,3 juta hektar konsesi sawit yang belum ditanami dan 1,3 juta hektar konsesi hutan tanaman yang belum ditanami harus dilindungi dan dikelola dalam peruntukan yang jelas.

Hutan hujan tropis Kalimantan terbukti memiliki 60 persen lebih banyak karbon tersimpan (carbon sequestering) dalam biomassa di atas tanah dibandingkan dengan rata-rata di hutan Amazon. Menurut para peneliti, rencana ekspansi perkebunan sawit di Kalimantan, akan memberikan kontribusi pelepasan emisi CO2 sebesar lebih dari sepertiga dari emisi sektor total lahan di Indonesia.

Peneliti lain dalam studi ini, Dr Erik Meijaard dan juga penggagas Borneo Futures Initiative kepada Mongabay.com menyebutkan jika kolaborasi lintas perbatasan di Kalimantan dapat dilakukan, maka di masa depan hal serupa dapat dilakukan di wilayah lain di dunia.

“Temuan dari Kalimantan dapat berlaku untuk wilayah Amazon dan Kongo basin dan bagian lain dari dunia di mana deforestasi dan penggunaan lahan intensif saat ini sedang berlangsung,” jelas Meijaard. “Kolaborasi di tingkat perencanaan lingkungan dan bantuan internasional dapat membantu untuk memperlambat degradasi lingkungan, dampak negatif terhadap kekayaan keanekaragaman hayati dan dampak bagi kehidupan masyarakat.” – Diterjemahkan oleh Ridzki R. Sigit

Sumber artikel asli: Report: Borneo could save billions while still meeting conservation and development goals. Mongabay.com

Rujukan:

  • Gaveau DLA, Sloan S, Molidena E, Yaen H, Sheil D, et al. (2014) Four Decades of Forest Persistence, Clearance and Logging on Borneo. PLoS ONE 9(7): e101654. doi:10.1371/journal.pone.0101654
  • Runting, R. K., Meijaard, E., Abram, N. K., Wells, J. A., Gaveau, D. L., Ancrenaz, M., … & Wilson, K. A. (2015). Alternative futures for Borneo show the value of integrating economic and conservation targets across borders. Nature communications, 6.
  • Slik, J. W. F., Aiba, S. I., Brearley, F. Q., Cannon, C. H., Forshed, O., Kitayama, K., … & van Valkenburg, J. L. (2010). Environmental correlates of tree biomass, basal area, wood specific gravity and stem density gradients in Borneo’s tropical forests. Global Ecology and Biogeography, 19(1), 50-60.
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,