Sudah 17 tahun, sengketa antara PT. Permata Hijau Pasaman (PHP) dengan masyarakat Nagari Kapa, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat terjadi. Sudah berlarut-larut keprihatinan yang diungkapkan masyarakat pemilik lahan yang terkena dampak pembangunan perkebunan sawit oleh perusahaan. Sudah berkali-kali pemerintah gagal mengupayakan penyelesaian sengketa yang terjadi, ungkap salah seorang perwakilan masyarakat Nagari Kapa yang diwawancarai Mongabay di Padang pada Kamis, (14/5/2015). Ada persoalan apa di Nagari Kapa?
Nagari Kapa merupakan salah satu Nagari yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, tempat tinggal 4.454 Kepala Keluarga dengan berjumlah 18.704 jiwa (BPS,2010). Hampir keseluruhan lahan di Nagari ini telah diusahakan, mulai dari pemukiman, peladangan, perkebunan sawit swadaya milik masyarakat dan perkebunan sawit milik perusahaan.
Zainul Abidin Dt. Majo Bosa, salah seorang ninik mamak Nagari Kapa kepada Mongabay mengatakan ada empat jenis pengelompokan kepemilikan tanah di nagari Kapa; pertama, tanah yang dikuasai langsung oleh adat yaitu tanah yang dimiliki secara bersama oleh masyarakat. Biasanya tanah ini merupakan kawasan hutan, rawa, kawasan perairan. Kedua, tanah hak milik yang dikuasai oleh seorang datuk, dikenal dengan nama tanah bosa/kampung. Ketiga, tanah milik kaum kerabat berdasarkan garis keturunan seorang ibu atau dikenal dengan nama tanah pusaka tinggi. Keempat, tanah yang dimiliki secara pribadi yang diperoleh melalui pembukaan lahan baru atau melalui pembelian, tanah seperti ini dikenal dengan tanah pusaka rendah.
Kewenangan pengelolaan tanah adat berada di tangan pucuk adat dan datuk, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tanah ulayat. Apabila ada diantara anak, cucu dan kemenakan yang hendak mengelola tanah ulayat maka mereka harus memperoleh izin dari pucuk adat dan membayar uang siliah jariah/uang adat, seperti kata pepatahnya “adaik diisi, limbago dituang”. Setelah itu barulah mereka dapat mengelola lahan tersebut dengan status hak pakai, maka terhadap pengelolaannya berlaku ketentuan adat “ka rimbo babungo kayu, ka lauik babungo karang, ka sawah babungo ampiang, ka sungai ba bungo pasie,” artinya si pengelola mesti menyisihkan sebagian dari hasil pengelolaannya untuk diserahkan kepada ninik mamak, tambahnya.
Di Nagari Kapa, tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak ada pemiliknya. Untuk mengusahakan tanah-tanah di Nagari Kapa, pengelola harus mendapatkan persetujuan dari pucuk adat dan para ninik mamak. Lantas bagaimana halnya dengan PT. PHP yang mengusahakan lahan di Nagari Kapa?
Dalam buku yang berjudul “Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan” yang diterbitkan oleh Forest People Programme, Sawit Watch dan TUK Indonesia, tentang berbagai penelitian terhadap permasalahan pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia.
Salah satu penelitian dilakukan terhadap persoalan konflik sawit yang terjadi antara masyarakat Nagari Kapa dengan PT. PHP Pasaman. Konflik berawal pada 1997, ketika pucuk adat dan ninik mamak di Nagari Kapa menyerahkan tanah ulayat kepada Bupati Pasaman untuk dijadikan tanah negara dan selanjutnya diserahkan lahan tersebut kepada perusahaan untuk kegiatan perkebunan sawit dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak pengusahaannya.
Penyerahan itu ternyata tidak dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan masyarakat Nagari Kapa sehingga banyak diantara masyarakat Nagari tidak mengetahui proses penyerahan, luasan, lokasi dan sebagainya. Akhirnya banyak kalangan anak nagari (masyarakat kampung) dirugikan karena merasa kehilangan tanah, termasuk dari kalangan bundo kanduang yang notabene sebagai pemilik ulayat. Bahkan mereka mengangap penyerahan lahan yang dilakukan oleh pucuk adat dan ninik mamak pada saat itu kepada perusahan hanya mewakili kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan masyarakat Nagari Kapa.
Konflik juga terjadi akibat persoalan plasma. Sekitar tahun 2000, masyarakat Nagari Kapa berunjuk rasa menuntut untuk menyerahkan kebun plasma yang menjadi kewajiban perusahaan, dengan menghalangi kegiatan perusahaan untuk memanen tandan buah segar lahan perkebunannya. Hingga pada tahun 2004, perusahaan menyerahkan lahan plasma seluas 353 hektar dan pada tahun 2009 seluas 344 hektar kepada masyarakat Nagari Kapa.
Ketidakjelasan luas izin konsesi perkebunan juga membuat masyarakat menuntut pengukuran ulang lahan perusahaan. Selanjutnya ada upaya penyingkiran sejumlah tokoh-tokoh ninik mamak yang menolak menyerahkan lahan kepada pemerintah.
Buku itu juga menyebutkan perusahaan mengaku telah memberikan seluruh kebun plasma kepada masyarakat yang menjadi kewajiban perusahaan. Tetapi masyarakat tidak puas dengan luasan kebun plasma yang telah diserahkan. Masyarakat juga mempermasalahkan rendahnya harga tandan buah segar yang dibayarkan oleh koperasi, terkait tanggung jawab perusahaan. Perusahaan juga mengaku telah membayar uang siliah jariah kepada ninik mamak saat pertama kali datang untuk mengusahakan lahan perkebunan di Nagari Kapa.
PT. PHP merupakan anak perusahaan Wilmar Group, dengan luas perkebunan berdasarkan SK HGU No.65/HGU/BPN/2004 sekitar 1.600 hektar, yang terletak di Nagari Kapa dan sebagian lahannya masuk dalam administrasi Nagari Sasak Ranah Pesisir.
Lahan merupakan tanah gambut di tepi pantai barat Pasaman Barat, yang dikeringkan lalu ditanami sawit. Akibat pengeringan lahan, masyarakat kesulitan mencari ikan, kepiting, udang sebagai mata pendaharian mereka.
Berdasarkan SK Menteri Negara Penanaman Modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor: 49 V/PMA/1999 tentang Perubahan Status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), Perusahaan ini awalnya PMDN, berubah status menjadi Penanaman Modal Asing (PMA). Sahamnya dimiliki oleh; Keyflow Limited (British Virgin Islands), Caffery International Limited (UK), HPR Investment Limited (British Virgin Islands), Banoto Investment Limited (British Virgin Islands), Wilmar Plantation Limited (British Virgin Islands) dan PT. Kartika Prima Vegetable, terakhir dikabarkan dijual kepada PT. Karya Prajona Nelayan.
Sejak pertengahan tahun 1992, perusahaan telah memperoleh beberapa perizinan untuk usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintah. Pertama, berdasarkan rekomendasi Gubernur Sumbar dan Bupati Pasaman (kini Pasaman Barat), perusahaan diberikan rekomendasi pencadangan lahan seluas 12.000 hektar di Nagari Sasak, Kecamatan Pasaman. Kedua, pada tahun 1995 melalui rekomendasi dari Bupati Pasaman dan Gubernur Sumbar diberikan izin membuka lahan seluas 4.000 hektar di Nagari Sikilang, Kecamatan Pasaman. Ketiga, tahun 1998 dua proposal pembangunan perkebunan sawit yang diajukan kepada Bupati Pasaman kembali disetujui untuk dibangun di Nagari Kapa yaitu seluas 1.600 hektar dan di Nagari Maligi seluas 3.500 hektar. PT. PHP memiliki dua perusahaan yang terdiri I dan II dengan total lahan perkebunan seluas 5.450 hektar.
Kegiatan perkebunan PT. PHP terdiri perkebunan sawit, pengelolaan tandan buah segar (TBS) dan pengolahan minyak biji inti sawit. Kapasitas produksinya mencapai 135.250 ton TBS, 28.600 ton CPO dan 6.900 ton minyak kernel sawit per tahun. Sekitar 25 persen atau sebanyak 7.150 ton CPO yang dihasilkan dijual dalam pasar domestic, dan 75 persen atau sebanyak 21.450 ton dijual di pasar international.
Terpisah, Simon Siburat Perwakilan Wilmar Group dalam acara pemantauan publik atas terlaksananya kebijakan Wilmar tentang larangan deforestasi, larangan konversi lahan gambut dan larangan eksploitasi manusia serta persoalan sosial yang pelakunya perusahaan sawit di Sumbar mengatakan persoalan konflik masyarakat Nagari Kapa, Kabupaten Pasaman Barat dengan PT. PHP sudah disampaikan masyarakat kepada lembaga Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) di Malaysia beberapa waktu yang lalu dan kami akan tunduk dengan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Bahkan guna menindaklanjuti komplain masyarakat tersebut, dalam waktu dekat lembaga RSPO akan mengunjungi pemkab Pasaman Barat guna meminta klarifikasi mengenai masalah ini.
Simon menambahkan Wilmar berkomitmen untuk tidak melakukan pengelolaan perkebunan di lahan gambut dan untuk lahan gambut yang sudah di land clearing maka tidak akan diusahakan dan dibiarkan menjadi hutan kembali. Selanjutnya tidak akan membuka lahan baru serta tidak akan bekerjasama dengan perusahaan supplier penghasil tandan buah segar (TBS) jika diketahui perusahaan mitra tersebut tidak ramah terhadap lingkungan.
“Kami telah menyediakan layanan pengaduan secara online melalui website perusahaan, maka melalui layanan ini masyarakat dan stakeholder lainnya dapat menyampaikan komplain secara langsung dengan perusahaan,” ucapnya kepada Mongabay pada Rabu, (10/6/2015).
Menurut Prof. Afrizal, MA, pakar antropologi dari Universitas Andalas kepada Mongabay pada Senin (18/05/2015), memandang kasus konflik masyarakat dengan Nagari Kapa dengan PT. PHP akibat ketidakjelasan proses penyerahan lahan untuk pembangunan perkebunan sawit. Dimana Ninik Mamak terindikasi berperan sendiri-sendiri tanpa mengikutsertakan masyarakat nagari. Seharusnya keputusan penyerahan ulayat yang menjadi kewenangan pucuk adat dan ninik mamak, setelah melalui musyawarah di tingkat nagari.
“Saya melihat, hal ini yang tidak dilakukan semenjak awal. Akhirnya konflik ini berlarut-larut sampai sekarang, mulai dari persoalan penyerahan lahan, persoalan plasma dan sebagainya. Pemerintah juga terlihat kurang berperan dalam menginisiasi percepatan penyelesaian konflik masyarakat dan cenderung membiarkannya. Lihatlah, sudah 17 tahun konflik ini terjadi tanpa penyelesaian,” katanya.
Afrizal menambahkan sepantasnyalah Pemerintah Pasaman Barat memfasilitasi penyelesaian sengketa perkebunan di daerah sentral perkebunan sawit Sumbar itu. Hampir seluruh wilayah Pasaman Barat terdapat perkebunan, dengan berbagai kasus yang terjadi. PT PHP selayaknya selalu melibatkan masyarakat, baik dalam rapat konsultasi pengambilan keputusan, pengembangan program pemberdayaan, termasuk membangun mekanisme penyelesaian konflik.