Antonius Anam belum bisa bernafas lega. Sore itu, dia tampak kasak-kusuk. Bahkan, pakaian yang dikenakan pun seadanya. Baju kaos berkerah dengan dada terbuka berpadu celana pendek. Tapi dia tak menghiraukan semua itu.
Di hadapan para jurnalis yang mengunjungi kediamannya di Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kepala Dusun Subah ini melontarkan ide-idenya. “Tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali mengamankan kawasan adat yang masih tersisa,” kata Anam, Selasa (9/6/2015).
Ikhwal pernyataan yang juga disaksikan para pegiat lingkungan dari Lembaga Gemawan, Swandiri Institute, dan Yayasan Perspektif Baru ini tidak terlepas dari kisruh status Desa Subah. Desa berpenduduk 2.207 jiwa ini masuk dalam kawasan hutan produksi konversi (HPK). Alih-alih mendapatkan sertifikat tanah, lantaran status demikian, perizinan industri ekstraktif pun tembus hingga kolong rumah warga.
“Persoalan ini yang terus mengganjal pemikiran kami. Kalau melihat status kawasan, tanah tempat rumah warga desa berdiri sekarang jelas tanah milik negara. Kami hanya numpang. Padahal, sejak dulu juga nenek moyang kami sudah berdomisili di desa ini,” ucapnya.
Kekhawatiran Anam kian memuncak ketika izin industri masuk. Kondisi lingkungan kian tak bersahabat. Air sungai tercemar limbah, dan ikan-ikan sulit dicari. Selain industri pertambangan, di sekitar Desa Subah juga sudah dikelilingi perkebunan kelapa sawit.
Anam, dan sejumlah tokoh masyarakat setempat sudah berkali-kali melakukan upaya agar kawasan adat, tempat keramat, dan sumber-sumber kehidupan warga seperti mata air tidak digarap oleh perusahaan. Namun toh, langkah itu kerapkali tersandung lantaran lemahnya pengetahuan warga desa.
Warga Subah hanya mampu menyelamatkan sebagian Bukit Satok. Itu pun sebatas Pedagi. Pedagi adalah tempat keramat yang digunakan untuk ritual kepercayaan masyarakat setempat saat musim panen.
Di dalam Pedagi ada makam-makam para pendahulu. Selain itu, ada pula batu pemujaan. Lantaran pentingnya, kawasan itu dipertahankan warga Desa Subah dari ancaman konsesi perusahaan.
Hingga suatu masa, Lembaga Gemawan bersama para peneliti Swandiri Institute hadir di tengah-tengah masyarakat Desa Subah pada 2013. “Kawan-kawan kala itu tidak datang dengan tangan kosong. Sebuah teknologi mereka tawarkan untuk membantu melakukan pemetaan partisipatif,” kata Anam.
Jauh sebelumnya, masyarakat adat di Desa Subah hanya mengandalkan pengakuan adat untuk menguasai sebuah kawasan. Namun, untuk memetakan kawasan adat, tidak bisa hanya dengan modal telunjuk saja.
Warga butuh peta. Langkah itu dilakukan sebagai modal dasar untuk diajukan kepada pemerintah guna melepaskan kawasan dari beban izin perusahaan. Namun sampai sekarang, langkah tersebut belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan warga desa.
Daya dukung lingkungan pun kian lemah saban waktu. Sungai dan danau tak lagi jadi surga bagi para nelayan. “Saya sudah tidak bisa mengandalkan mata pencarian sebagai nelayan semata. Sekarang harus cari penghasilan sampingan seperti menoreh karet,” kata Sukarjo (40), warga Dusun Subah.
Sukarjo sudah jadi nelayan sungai sejak 1990. Kala itu, penghasilan sebagai nelayan sudah cukup, bahkan lebih untuk menghidupi keluarga. “Kita bisa dapat penghasilan total rata-rata Rp10 juta per bulan. Tapi sekarang, untuk dapat Rp2 juta per bulan pun sulit,” ungkapnya.
Rencana hutan adat
Sekretaris Desa Subah, Toni, membenarkan pernyataan Sukarjo. Menurutnya, mayoritas warga Desa Subah, kini berada dalam pusaran persoalan ekonomi. “Makanya, kita coba dorong kawasan seluas 12 ribu hektar menjadi hutan adat. Kawasan-kawasan itu meliputi perbukitan sebagai sumber air, pedagi, dan tembawang,” ucapnya.
Toni mengakui bahwa perusahaan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Ini pula yang menjadi landasan warga desa untuk berbuat sesuatu demi kelangsungan hidup mereka. “Kita pun akhirnya menerima bantuan program pemetaan partisipatif dari kawan-kawan Gemawan dan Swandiri dengan drone,” katanya.
Meski bentuknya mungil dan sederhana, kehadiran drone di tengah masyarakat adat Dayak Tobag di Desa Subah sangat bermanfaat. Teknologi pesawat tanpa awak ini mampu memberikan bantuan cukup berarti. Bentuknya berupa peta rencana hutan adat.
Peneliti Swandiri Institute, Arif Munandar menyebut luas pemetaan hutan adat di Desa Subah yang dilakukan melalui drone sudah mencapai 3.000-an hektar. “Kita menilai, kawasan-kawasan itu sangat penting untuk dilindungi melalui adat,” katanya.
Kepala Desa Subah, Kanisius Kimleng mengapresiasi langkah warganya. “Meski saya kurang aktif mengurusi inisiatif hutan adat dengan drone, tapi semuanya lancar. Saya sudah diwakili Pak Sekdes dan Pak Kadus. Jadi, kami berbagi tugas agar semua urusan pemerintahan desa berjalan,” ucapnya.