Jalan meliuk-liuk, dan menanjak, kala kami menuju Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan dari Kota Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara. Beberapa ruas jalan aspal berlubang, membuat hentakan keras pada kendaraan. Kiri kanan tumbuh pepohonan kecil. Ada rumpun bambu, dan tanaman merambat. Selama perjalanan, tampak satu pos jaga polisi kehutanan, tak ada petugas.
Kanopi hutan dari jarak beberapa ratus meter terlihat kecil-kecil, tak ada pohon ukuran besar. Saya menuju hutan warga yang dikelola lestari. Sebelumnya, kawasan ini marak illegal logging. Kini, warga tergabung dalam koperasi, yang memanfaatkan hutan sembari menjaganya. Beragam sertifikat dan penghargaan sudah mereka terima.
Di Konawe Selatan dan Kendari, kawasan hutan seluas 115.000 hektar. Terdiri dari hutan lindung, produksi dan industri. Kawasan inilah pada dekade 1980-an, melalui Departemen Kehutanan melaksanakan program reboisasi dengan tanaman monokultur. Ribuan bibit jati ditanam melibatkan masyarakat. Beberapa satwa endemik seperti anoa, rusa dan julang Sulawesi memilih berpindah tempat.
Pada 1998, Indonesia dihantam krisis ekonomi. Uang sulit, keadaan politik dan ekonomi tak menentu. Krisis ini menumbangkan rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa. Di sana, pohon-pohon reboisasi menjadi target penjarahan.
Warma Sahmedi, transmigran asal Jawa Tengah yang mendatangi Konawe Selatan sejak 1980, melihat peluang dan melirik bisnis ilegal ini. Awalnya, dia hanya terdesak kebutuhan ekonomi dan ingin menambah penghasilan. Lahan hanya seluas setengah hektar, ditanami padi atau tanaman musiman lain seperti jagung. “Bisnis kayu itu hanya masalah keberanian dan nekat. Tak ada modal, hanya omong,” kata Warman.
“Jadi mulai kenal dengan sesama pelaku illegal logging itu. Trus saya cari orang yang mau kerja. Saya juga mulai kenal beberapa polisi (yang saat itu) bermain kayu.”
“Tahun 1998, saya punya 10 anggota. Setiap ada permintaan pembeliaan, dikawal polisi menuju pelabuhan. Biasa ada dua orang, bayar bisa Rp300.000. Itu 1998, uang itu susah. Itu sudah banyak.”
Warma, melakoni usaha kotor dari bisnis kayu, sejak 1997 hingga 2003. Saat itu, setiap satu meter kubik, dihargai Rp800 ribu. Kayu-kayu di kapalkan menuju Surabaya, atau hanya beredar di pembeli lokal. “Jadi dalam hutan ramai. Ada banyak orang yang melakukan aktifitas illegal itu,” katanya.
“Soal sekarang, jika aparat mau hentikan pencurian kayu itu, saya kira mudah sekali. Lakukan lacak bala, liat potongan kayu dan liat dimana tegakan, apakah itu dalam kawasan hutan negara atau hutan milik. Agak repot, tapi kalau mau pasti bisa.”
Berhimpun dalam Koperasi
Akhir 2003, di Kantor Kecamatan Laeya, ada pertemuan Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Untuk Hutan (Jauh). Puluhan masyarakat hadir, termasuk Warma. “Saya dengar, ada usaha buat kelompok dan melestarikan alam. Awalnya saya ragu, tapi ikut-ikut saja,” katanya. “Waktu pertemuan itu, saya masih ada pekerja yang cari kayu dalam hutan. Jadi dengar-dengar dan pura-pura ngerti mi saja.”
Ternyata, pertemuan itu cukup membekas di benak Warma. Alam, pohon, gunung, air dan semua isi harus lestari untuk menunjang kehidupan generasi mendatang. Dia memikirkan anak-anaknya, melihat pembukaan lahan dan perambahan hutan. Hati bergetar. Pelahan, pada 2004, dia setop illegal logging.
Di Konawe Selatan, pada 1972 beroperasi PT Kapas. Dalam perbincangan masyarakat perusahaan ini milik koloni Soeharto dan saham asing. Perusahaan ini, membudidayakan kapas di lahan 3000 hektar.
Di tengah lahan, ada landasan pacu pesawat yang hingga sekarang masih terlihat. Perusahaan ini beroperasi hingga 2000. Konsesi sampai 2019.
Muslimin, bekas karyawan di Kapas mengatakan, masa awal Kapas berdiri, masyarakat mendapat dampak baik. Kehidupan meningkat, jalan penghubung menuju Kendari dibangun. Namun, permintaan kapas tinggi membuat pembukaan lahan ke hutan marak. Luasan tanaman plasma masyarakat luas. “Boleh dikata, seluruh Sulawesi Tenggara-lah.”
Ketika, Kapas, hengkang, lahan-lahan menjadi terbengkalai. Masyarakat yang menggantungkan hidup dari penjualan kapas kehilangan sumber pendapatan. “Jadi saya kira ada andil juga keterdesakan masyarakat berpikir pragmatis masuk hutan berburu kayu,” kata Muslimin.
Akhirnya, dengan pendampingan JAUH, perlahan-lahan masyarakat mengerti penting menjaga alam. “Kampanye kami bukan sekadar mengatakan stop illegal logging. Stop illegal logging dan mari menjadikan legal dan sah,” kata Abdul Halik, anggota JAUH.
Hasilnya, melalui kesepakatan bersama, pada Maret 2004 dibentuklah Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL). Tahap awal anggota 54 orang. Mereka dibekali pengetahuan merawat dan mengembangkan jati putih di lahan sendiri. Dari mulai jarak tanam, pemilihan pohon untuk ditebang, hingga penomoran – atau sistem lacak bala.
Pada 2005, KHJL mendapatkan sertifikat ekolabel internasional Forest Stewardship Council (FSC) –lembaga sertifikasi independen bermarkas di Jerman. Sertifikat ini semacam acuan dan dokumen resmi masyarakat yang menyatakan hasil kayu legal, bukan perambahan dalam hutan. “Saya kira kamilah satu-satunya di Indonesia dan Asia Tenggara tahun itu mendapatkan sertifikat FSC,” kata Halik.
KHJL juga mengantongi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Pemerintah Indonesia. Praktik produksi kayu baik ini, akhirnya menempatkan KHJL sebagai koperasi pertama di Indonesia yang mengelola hasil hutan dengan ramah lingkungan. Salah satu bukti, KHJL 2009 mendapatkan penghargaan Conde Nast Traveller Award Kategori Lingkungan di New York. Social Entrepreneurship Award dari Scoll and Schwab Foundation pada 2011 di London, Inggris.
Bagaimana koperasi menjalankan praktik lestari? Warma Sahmedi, kini Wakil Ketua KHJL mengatakan, meskipun amanat FSC cukup ribet dan ketat, anggota koperasi melaksanakan dengan baik.
FSC, bukan hanya mengenai dokumen legalitas kayu utama, melainkan proses lacak bala, verifikasi lapangan saat penebangan, pemilihan kayu tepat, hingga perlakuan untuk satwa. “Jika ingin menebang pohon, tapi di salah satu tangkai ada sarang burung yang sedang bertelur atau sudah jadi anakan, pohon itu tak boleh ditebang. Ditunggu sampai burung meninggalkan sarang.”
FSC berlaku lima tahunan dan setiap tahun audit. Untuk pembaharuan setifikat perlu anggaran sampai Rp200 juta. “Jadi ada beberapa teman dalam kelompok bilang, koperasi ini cari uang hanya untuk membiayai sertifikat dan biaya audit,” kata Ketua KHJL, Haris SP.
Namun, keuntungan dengan mendapatkan sertifikat FSC, kayu koperasi sesuai standar internasional yang diperlukan negara pengimpor kayu, baik untuk furnitur ataupun bahan bangunan. Bahkan, dengan FSC harga kayu makin baik.
Hingga 2011, harga kayu jati putih (Gmelina arborea) mencapai Rp4.000.000 per m3. Ukuran puncak 13-14 sentimeter Rp1.750.000, 15-19 sentimeter Rp2.500.000, dan 20 sentimeter lebih Rp2.750.000 per m3.
Selain harga kayu tren meningkat, kini anggota KHJL 747 orang dengan lahan 754 hektar. Dalam perhitungan koperasi, setiap hektar lahan ditanami jati Putih 1.200-2.000 pohon usia panen antara 20-25 tahun.
Pertimbangan usia panen itu, didasarkan ukuran diameter pohon minimal 30 sentimeter. Untuk perawatan praktis hanya perlakuan khusus di tiga tahun pertama. Selama masa itu, masyarakat juga menanami tanaman tumpang sari di antara pohon, seperti jagung, padi, bahkan jahe.
Keberhasilan pengelolaan kayu ini, KHJL dipercaya pemerintah atas nama Menteri Kehutanan pada 2009, untuk mengelola hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 4.639,95 hektar.
Saat ini, KHJL telah menanam 20 hektar sebagai demplot pembelajaran masyarakat. Di demplot itu, ditanam berbagai jenis kayu, seperti jati putih, jati lokal, biti, jabon, sengon, dan lain-lain.
Anggota KHJL, Abdul Majid Siong, mengajak saya melihat tanaman-tanaman ini. Dia menunjukkan, jati putih yang kambiun batang terkelupas. “Ini rusak, dimakan sapi. Jadi hama satu-satunya boleh dibilang hanya sapi.” Dia juga memperlihatkan bagaimana memangkas tangkai pohon yang mengganggu.
Industri pengolahan
Pada 2007, KHJL membangun industri pegolahan kayu bernama PT Konsel Jaya Lestari (KJL). Industri ini berdiri di Desa Lambakara, Kecamatan Laeya, Konawe Selatan.
KJL, memproduksi kayu balok kecil, ukuran luas antara 4-6,5 sentimeter Rp2.000.000, ukuran 9-13 sentimeter Rp4.000.000 per m3.
Masa awal, produksi kayu diekspor ke Jawa dan Eropa. Dengan penerapan SVLK, beberapa pembeli mulai melupakan hasil hutan KHJL. “Di Jawa tentu ada banyak kayu memiliki SVLK, kalau ke Kendari lagi, biaya transportasi mahal,” kata Sultana, Direktur KJL.
Kondisi ini mulai 2010, berimbas pada produksi KJL. “Jika awal berdiri, ada empat mesin berfungsi, kini hanya satu.”
Rendahnya permintaan kayu, bukan berarti KHJL ataupun KJL patah semangat. Produksi dan penanaman kayu tetap berjalan. “Dulu ada istilah, tebang satu tanam 10. Sekarang tebang satu tanam satu hektar,” kata Sultana, berkelakar. “Kami yakin, industri kayu akan berjalan baik. Bahan baku kayu selalu dibutuhkan. Produksi kayu kami, benar-benar bersih dan legal.”
Prinsip legal hasil kayu dari KHJL ini bukanlah hisapan jempol. Pada 2013, dalam perjumpaan dengan perusahaan kayu dari luar Sulawesi Tenggara, Warma menemukan cerita memilukan. “Jadi mereka membeli kayu KHJL satu kontainer. Kayu ini dicampur kayu lain, jadi 50 kontainer, berhasil diselundupkan keluar Indonesia.” “Jadi kayu kami digunakan mempercepat proses legalisasi. Miris.”