,

Kala Tambang Mengubah Wajah Sorowako

Malam itu tak ada cahaya bulan, tetapi di langit mencuat kilatan merah serupa bara api. “Inilah kota tempat dimana bisa menikmati sunset tengah malam,” celetuk seorang teman.

Kami berada di dermaga kawasan permandian Pantai Ide di pesisir Danau Matano, Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kala itu, sekitar pukul 23.00. Semburat langit merah menemani kami bersenda gurau. Gelombang lembut menghantam kaki-kaki dermaga kayu lalu memercikkan air.

Keesokan hari, saya mendatangi tempat cahaya merah muncul. Yang terlihat hanyalah asap dan kendaraan berat hilir mudik. Inilah tempat pembuangan atau slag dump.

Slag dump berada di pabrik PT Vale (sebelumnya Inco), perusahaan nikel sejak 1968. Tempat pembuangan itu di pinggir Jalan poros utama Sorowako–Malili (Ibukota Luwu Timur).

Malam hari, mobil berat bernama haul master membawa mangkok berisi slag cair membara. Ketika mobil menumpahkan sisa limbah itu, slag mengalir serupa lava gunung merapi. Pantulan cahaya inilah yang membuat langit Sorowako memerah.

Mulut gua pemakaman Masyarakat Padoe di Desa Lioka, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto
Mulut gua pemakaman Masyarakat Padoe di Desa Lioka, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto

Sebelum mineral nikel ini dikelola, Sorowako adalah wilayah terpencil. Jalan berangkal batu atau tanah merah lengket. Kesohoran wilayah ini tercatat dalam mitologi I La Galigo sebagai penghasil bijih besi kuat dan berpamor dengan urat besi khas. Wilayah ini masuk kekuasan kerajaan Luwu.

Pada 1901, ahli etnografi juga misionaris berkebangsaan Belanda, Albert Kruyt, menemukan bijih nikel. Perlahan-lahan gelombang peneliti mulai menyambangi tempat ini. Dalam situs resmi PT Vale (www.vale.com) pada 1937, ahli geologi Inco Limeted, Flat Elves studi endapan nikel.

Selang 31 tahun, pada 1968 dilakukan penandatangan pertama kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dan Inco selama 30 tahun sejak mulai produksi komersial pertama kali. Pada 1970, sampel pertama bijih nikel ini dikirim 50 ton ke fasilitas penelitian Inco di Port Colborne, Ontario, Kanada. Hasilnya, dinyatakan dapat diolah.

Bagaimana sebenarnya proses pembentukan mineral nikel itu? Geolog PT Vale, Budhi Kumarawarman mengatakan,  endapan nikel laterit dibentuk melalui proses pelapukan ultra basah. Endapan ini hanya berkembang dengan baik di daerah tropis, dengan suhu panas tingi namun memiliki curah hujan tinggi.

Proses pelapukan ini dinamakan pula perkolasi (masuknya air tanah)  dari permukaan ke dalam lapisan-lapisan tanah laterit. Hal inilah yang membuat unsur nikel kaya unsur dan ekonomis ditambang.

Menurut Budhi, batuan ini terbentuk di tengah samudera Hindia yang terbawa ke utara dengan pergerakan lempeng.

Proses penambangan di PT Vale. Foto: Eko Rusdianto
Proses penambangan di PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Masa itu, Sulawesi Selatan merupakan bagian paparan Sunda, merupakan landas kontinen perpanjangan benua Eurasia di Asia Tenggara.

“Jadi nikel laterit terbentuk karena pelapukan batuan.  Pelapukan selalu terjadi di permukaan dimana batuan kontak dengan udara bebas. Hingga, nikel biasa dijumpai pada posisi tidak terlalu dalam.”

Inilah, katanya, singkapan batuan ultra basah ofiolit di bagian Timur Pulau Sulawesi (termasuk Sorowako), salah satu terbesar di dunia.

Kini, sejak Vale produksi, puluhan ribu ton nikel dalam matte dihasilkan. Dalam realease resmi Vale pada 2015, menargetkan memproduksi 80.000 metrik ton nikel.

Penggunaan nikel sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu, pembuatan stainless steel, seperti bahan konstruksi bangunan dan keteknikan, alat dapur, elektronik dan industri otomotif.

 

***

Ketika Vale memulai pembangunan pabrik dan segala kontruksi, pada 1978, sekitar 10.000 tenaga kerja Indonesia dan 1.000 pekerja asing dikerahkan membangun fasilitas pengolahan nikel dan pembangkit tenaga air bersama dengan jalan, fasilitas kota, pelabuhan, lapangan terbang dan infrastruk lain.

Masa inilah, gelombang orang-orang mendatangi wilayah Sorowako dan sekitar. Sorowako, tempat pabrik berdiri menjadi kota, bukan lagi daerah terpencil yang sulit dijangkau. Pembangunan jalan tambang menembus beberapa desa dibuat, kemudian hari menjadi jalan utama.

Alat-alat berat PT Vale, mengeruk bumi. Foto: Eko Rusdianto
Alat-alat berat PT Vale, mengeruk bumi. Foto: Eko Rusdianto

Di Sorowako, berdiri gedung pertemuan, hotel, rumah sakit hingga sekolah bertaraf internasional. Hal berbeda dirasakan wilayah tetangga, Tabarano di Kecamatan Wasuponda, yang menjadi jantung perdagangan dan pendidikan masa lalu.

Sebelum perusahaan mengubah wajah Sorowako, Tabarano tempat bermukim kepala adat, kepala distrik, dan pusat pemerintahan. “Kalau mau lihat keramaian dan mau lanjutkan sekolah masa itu, di Tabarona mi tempatnya,” kata Mahade Tosalili (warga Sorowako), beberapa waktu lalu.

Dulu, jalur utama adalah Malili menuju Sorowako, memutar ke Ussu, menembus Kawata, ke desa Wasuponda, lalu Desa Tabarano, melintasi Lioka, menuju Timampu dan Sorowako.

Jalur lain masyarakat Sorowako menuju Malili dari Desa Timampu, Lioka, Tabarano, ke Togo, menembus hutan di Desa Balambano. Lalu ke Desa Karebbe, berakhir di Malili. Jarak berjalan kaki selama dua hari. Itu jalur masa lalu.

Ketika Vale, membangun jalur tambang untuk logistik menembus pelabuhan pengangkutan nikel di Balantang Malili, rute lebih cepat. Dimulai Malili, menerobos hutan di kaki gunung Desa Karebbe, Balambano, terus Togo, Wasuponda, dan lurus mendaki ke Asuli, memotong di Gunung Hasan, berakhir di Sorowako.

Secara pertumbuhan ekonomi lebih baik. Namun, jalur ini mengubur sejarah masyarakat. Tabarano, pusat utama,  kini terpencil. Ke sana, harus menggunakan kendaraan roda empat 4 WD dan motor trail. Jika musim hujan, sangat sulit.

Di Desa Lioka, kampung tua masyarakat Padoe (salah satu anak suku wilayah itu) ikut tenggelam. Di Lioka, ada beberapa gua pemakaman (Puwesu) dengan peti jenasah berbentuk kerucut dan beberapa seripahan tembikar.

Masa lalu, orang-orang Padoe menganut kepercayaan Melahumoa–keyakinan mengkultaskan gunung, pohon, atau beberapa hal bersifat magis. Kini, gua-gua pemakaman itu sepi. Bahkan sebagai perlintasan tower listrik Vale. Jalan menuju gua pemakaman hanyalah setapak dengan tanah. Tak ada penanda. “Kalau menarik kabel dari tower itu, kami bisa menerangi gua,” kata Ali Bastian, tokoh adat Padoe, tinggal di Lioka.

“Seharusnya mereka (perusahaan dan pemerintah) tak melupakan kami. Sekarang kampung ini menjadi sepi, seperti mati.”

Bagaimana dengan lingkungan setelah ada tambang? Pembabatan hutan untuk mengupas nikel tak secepat laju penanaman pohon oleh perusahaan. Beberapa burung seperti julang Sulawesi hampir mustahil ditemukan. Padahal, hingga akhir 1980-an, julang Sulawesi–alo dalam bahasa lokal, sangat mudah dijumpai, karena bertengger di pohon-pohon belakang rumah.

Pembangunan tiga PLTA  di Batang Sungai Larona pun ikut mengubah permukaan air di Danau Matano. Tepian yang dulu berhampar pasir tempat kupu-kupu, kini tak ada lagi. Ombak pun makin tinggi.

Perubahaan pasang dan surut danau tak lagi berjalan alami, melainkan diatur sesuai keperluan PLTA dalam memutar turbin. “Dulu kalau air hujan banyak, mengalir ke Larona, lalu ke laut melalui Sungai Larona,” kata Nurtolu, warga Sorowako. “Sekarang tidak. Air bisa saja ditahan dulu karena ada pintu-pintu air.”

Sungai-sungai kecil yang bermuara ke Danau Matano, juga berubah. Anak sungai di samping rumah sakit perusahaan, membelah pemukiman warga di Sorowako, berhulu di pabrik, saat hujan air berwarna keruh dan membawa lumpur. Alhasil, tepian danau berlumpur dan menghilangkan beberapa spesies kerang–meti dalam bahasa lokal. “Dulu kalau mau ma’meti (cari kerang) turun di pinggir, banyak mi itu. Sekarang nda adami, karena banyak orang, baru lumpurmi semua,” kat Saenab (70),  warga Sorowako.

Tak hanya perubahaan hidrologi air. Di Timampu, Kecamatan Towuti, saya mengamati beberapa atap rumah menggunakan seng terlihat usang dan berkarat. Menurut beberapa penduduk, atap seng baru mudah lapuk. “Tidak tahu juga kenapa, tapi di Wondula tidak seperti itu,” kata Singkaru, warga Towuti. ”Ada yang bilang kalau itu dari asap pabrik,” katanya, sembari menunjuk lokasi pabrik perusahaan.

Sangkaan Singkaru dan beberapa warga lain, didasari posisi Timampu tepat di bawah lembah, sedang pembangunan pabrik di puncak gunung.

Deretan peti mati tua yang berbentuk kerucut di Gua Pemakaman Lioka. Foto: Eko Rusdianto
Deretan peti mati tua yang berbentuk kerucut di Gua Pemakaman Lioka. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,