,

Ketika Kekeringan Melanda Danau Limboto

Siang itu di danau Limboto, seorang nelayan mengayuh sepeda bututnya dengan keranjang penuh ikan di bagian belakang. Imran nama nelayan itu. Sejak subuh ia berada di danau. Ini di luar kebiasaannya. Jika turun menjala subuh, mestinya ia pulang pagi atau paling telat pukul 10.00 Wita.

Ketika pulang, ia berpapasan dengan dua nelayan. Keduanya adalah nelayan pencari ikan yang menggunakan alat setrum.

“Bagaimana, dapat?” tanya Imran.

Bo (cuma) sadiki. Hanya ikan yang kecil, manggabai,” salah seorang di antara mereka menjawab. Ia menyebut manggabai yang merupakan nama lokal salah satu jenis ikan yang kini terancam punah di Danau Limboto.

“Tidak apa. Asal ada ikan.”

Mereka bercakap sambil berjalan. Imran mendorong sepeda, sedang keduanya berjalan kaki menenteng alat setrum ikan.

“Danau sekarang semakin dangkal. Apalagi musim kemarau saat ini, danau semakin kering.”

“Susah kalau memancing atau pakai jala. Mending pakai setrum,” kata nelayan setrum itu kepada saya.

Sejak pertengahan September 2015, Danau Limboto telah mengering. Tanah berlumpur yang merupakan dasar danau terbelah. Bibir danau semakin jauh. Salah satu perahu bahkan tertambat di tengah-tengah dasar danau yang kering. Seolah terperangkap. Tidak jauh dari situ, beberapa ekor sapi digembalakan. Sementara di tempat lain, tanah danau yang kering mulai dijadikan perkebunan; ditanami kacang-kacangan.

“Jika kekeringan masih lama, air danau makin surut,” kata nelayan-nelayan itu.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, kekeringan ekstrim akan melanda Gorontalo lebih dari 60 hari, terhitung sejak 26 Agustus 2015. Diprediksi, hujan baru turun akhir Oktober atau November.

“Hampir semua wilayah di Gorontalo mengalami kekeringan ekstrim,” kata Fathuri, Prakirawan BMKG Gorontalo.

Perahu tertambat di Danau Limboto yang kering. Foto: Christopel Paino
Perahu tertambat di Danau Limboto yang kering. Foto: Christopel Paino

Meski mengalami kekeringan, di Danau Limboto masih banyak dijumpai burung yang mencari makan. Sebut saja gagang-bayam belang atau Black-winged Stilt (Himantopus himantopus). Burung yang menyukai rawa, genangan air, dan danau yang dangkal ini dengan mudahnya terlihat.

Amsurya Warman Asa, Senior Wallacea Program Officer Burung Indonesia mengatakan, banyaknya burung yang datang ke Danau Limboto termasuk burung migran menandakan bahwa Gorontalo memiliki khas dan keunikan tersendiri bagi burung-burung yang datang dari belahan dunia lain.

“Dengan segala persoalan yang terjadi di danau, burung merupakan entry point atau titik masuk dalam upaya penyelamatan danau. Ada banyak potensi yang bisa didorong, seperti ekowisata, dengan memperkenalkan Gorontalo sebagai tujuan burung migran, dan sebagai daerah yang memiliki keragaman burung.”

Sebelumnya, akademisi Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Hasyim menilai bahwa manusia telah mempercepat kerusakan Danau Limboto. Kerusakan non-teknis lebih disebabkan oleh kebijakan pengelolaan danau dan pengelolaan sumber daya alam secara umum oleh pemerintah daerah. Bahkan saat ini, katanya, meskipun sedang dilakukan pengerukan danau, hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, karena di daerah hulu, hutannya tidak diperbaiki.

Belum lagi, pemerintah di Kabupaten Gorontalo sedang gencar kerja sama dengan perusahaan perkebunan sawit di daerah yang merupakan hulu Danau Limboto.

“Belum ada sawit saja danau rusak, apalagi kalau ada. Danau Limboto sakit karena kegiatan di sekitarnya, bukan karena aktivitas di dalamnya,” tegas Hasyim.

Data lama yang hingga saat ini masih menjadi rujukan luasan dan kedalaman danau adalah dari Badan Lingkungan Hidup Gorontalo. Mereka menyebut luas danau Limboto pada 1932 adalah 8.000 hektar dengan kedalaman 30 meter. Tahun 1970 luasnya 4.500 hektar dan kedalamannya 15 meter.

Tahun 2003, luas danau 3.054,8 hektar, kedalamannya menyusut jadi  empat meter. Pada 2010, luas danau 2.537,2 hektar dengan kedalaman tinggal 2 – 2,5 meter. Lalu pada 2012, luas danau tersisa 2.500 hektar dengan kedalaman 1,876 – 2,5 meter.

Sapi-sapi yang digembalakan di Danau Limboto. Foto: Christopel Paino
Sapi-sapi yang digembalakan di Danau Limboto. Foto: Christopel Paino

David Bobihoe, Bupati Kabupaten Gorontalo yang kini telah habis masa jabatannya, kepada Mongabay beberapa waktu lalu mengungkapkan, kondisi danau 30 tahun yang lalu dan sekarang memang jauh berbeda. Danau semakin dangkal. Namun, ia mengaku pernah punya usul memanfaatkan sedimen danau untuk dijadikan batu bata.

Tapi hasilnya, batu bata dari sedimen danau itu pecah. Ia lalu mengusulkan kepada Kementerian Perindustrian untuk mencari solusi, misalkan zat kimia apa yang mampu merekatkan sedimen danau menjadi batu bata. Sayang, kata David, tidak ada tindak lanjutnya.

“Kalau sedimentasi danau itu bisa jadi batu bata, masyarakat pasti akan berbondong memanfaatkannya. Penyelamatan danau akan dilakukan oleh masyarakat langsung lewat pemberdayaan ekonomi,” ujarnya.

Menurutnya lagi, pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana penyelamatan danau Limboto. Sebab, kalau daerah yang melakukannya, sulit dan perlu proses panjang.

“Danau ini harus menjadi perhatian pemerintah pusat. Sekerang yang harus dipikirkan bukan lagi memperlebar danau atau memperdalam. Cukup kita pertahankan saja yang ada sekarang. Kalau perlu dibikin delta di tengahnya untuk dijadikan tempat wisata, dipinggirnya dikeruk.”

Sejak tiga tahun terkahir, Danau Limboto yang merupakan 1 dari 15 danau kritis di Indonesia terus mendapat perhatian pemerintah pusat melalui proyek revitalisasi. Proyek ini meliputi pengerukan endapan lumpur, pembangunan pintu air sungai, serta pembangunan tanggul di pinggir danau dengan alokasi dana sekitar Rp 700 milyar.

“Kalau hanya mengandalkan dana APBD terus terang itu mustahil. Bayangkan, APBD kita hanya 1,4 trilyun, pasti tidak akan cukup,” kata Rusli Habibie, Gubernur Gorontalo.

“Kami berharap, penyelamatan Danau Limboto benar-benar serius, tidak hanya sebatas proyek,” kata Irwan Mopangga, nelayan di Danau Limboto.

Proyek revitalisasi Danau Limboto adalah pembuatan tanggul. Proyek ini menelang biayan Rp 700 milyar. Foto: Christopel Paino
Proyek revitalisasi Danau Limboto adalah pembuatan tanggul. Proyek ini menelan biaya Rp 700 milyar. Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,