Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.389.510 hektar yang membentang di Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat merupakan salah satu taman nasional kebanggaan di Sumatera. Taman nasional ini ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Asean pada 2003, dan bersama Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO pada Juli 2004.
Di Bengkulu, berdasarkan SK Menhut No 748/Menhut-II/2012, luasan taman nasional ini sekitar 345.841,30 hektar atau 35,8 % dari luas total hutan Bengkulu (924.631 hektar). Wilayahnya membentang di Kabupaten Mukomuko (150.036 hektar), Bengkulu Utara (71.702,70 hektar), Rejang Lebong (25.815,60 hektar), dan Lebong (98.287,2 hektar).
Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia Programme (2015) menyebutkan luas kawasan TNKS yang dirambah hingga 2014 mencapai 130.322,2 hektar. Perambahan itu diantaranya berupa kebun/pertanian campuran seluas 89.486,75 hektar dan semak sekitar 21.178,26 hektar. Untuk wilayah Rejang Lebong (dan Lebong), luas yang dirambah sekitar 26.528,65 hektar.
Sementara itu, berdasarkan dokumen Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi Bengkulu 2014 – 2033 disebutkan, tutupan TNKS di Rejang Lebong yang telah berubah menjadi semak belukar seluas 620,8 hektar dan pertanian campuran seluas 4.794,9 hektar. Sementara di Lebong berupa semak belukar seluas 1.180 hektar dan pertanian campuran seluas 18.467,2 hektar.
Khusus di Lebong, keberadaan TNKS yang luasnya setara 51 persen wilayah Lebong (192.924 hektar), bersentuhan langsung dengan 113 desa/kelurahan. Tidak adanya pemisah antara desa/kelurahan dan kawasan TNKS inilah yang dianggap sebagai faktor pemicu perambahan atau perusakan TNKS.
Namun, di lain pihak, Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang di Lebong justru menolak disebut sebagai perambah. Malahan, mereka menilai, pihak TNKS yang telah merampas wilayah adat mereka. Kondisi ini ditengarai akibat pemasangan patok batas TNKS yang tidak diumumkan sebelumnya, serta tanpa melibatkan masyarakat. Hingga kini, konflik belum terselesaikan.
“Ada dua skema untuk menyelesaikan konflik ini. Yakni, pengakuan wilayah adat yang berimplikasi wilayah atau hutan adat yang masuk kawasan TNKS dikeluarkan, atau pengelolaan hutan adat yang masuk TNKS dilakukan kolaboratif antara MHA Rejang dan TNKS,” ujar Direktur Yayasan Akar, Erwin S Basrin.
Sejak 1990-an, sambung Erwin, MHA Rejang telah berupaya menyelesaikan konflik tersebut. Namun, belum adanya keberpihakan negara dalam bentuk aturan membuat perjuangan tersebut jauh dari harapan. Kendati demikian, semangat tersebut berkobar pasca-keluarnya MK No 35/PUU-X/2012 dan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa dan aturan turunannya.
“Pertengahan Oktober ini, kami akan memfasilitasi MHA Rejang Marga Suku IX untuk mengajukan draf naskah akademik dan perda ke DPRD. Para anggota dewan menyatakan siap mendukung untuk dimasukkan dalam Prolegda 2016.”
Hasil penelitian yang kami lakukan, pola pengelolaan hutan masyarakat Rejang selaras dengan nilai pengelolaan yang berkelanjutan, baik ekonomi dan ekologi. Artinya, bila hutan adat MHA Rejang yang masuk TNKS dikeluarkan, pengelolaannya tetap selaras dengan kepentingan atau fungsi TNKS,” kata Erwin.
Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Tradisional Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Joni Purba mengatakan, memperoleh pengakuan wilayah dan hutan adat di kawasan taman nasional dapat saja dilakukan oleh MHA. Pengakuan bisa diperoleh melalui perda atau SK Kepala Daerah yang mengakui keberadaan MHA dan hutan adat.
“Hanya saja, perubahan status hutan negara menjadi hutan adat tidak merubah fungsi hutan. Pemanfaatan hutan adat sebagai pelindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya,” kata Joni saat memaparkan Materi Pengakuan MHA dan Hutan Adat dalam Bimbingan Teknis Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan Hutan Adat Wilayah Sumatera di Kabupaten Kerinci, belum lama ini.
“Intinya, pemda memiliki kewenangan untuk membuat produk hukum daerah yang mengakui MHA, hak dan wilayah adatnya. Sesuai pasal 12 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2O15 Tentang Hutan Hak dinyatakan bahwa menteri dapat memfasilitasi pemerintah daerah untuk menyusun produk hukum yang mengakui masyarakat hukum adat,” papar Joni.