,

ProFauna: Unggahan Foto Buruan Satwa di Media Sosial, Bukti Rendahnya Budi Pekerti Kita

Maraknya tampilan foto di media sosial mengenai perburuan satwa liar, hingga secara vulgar mengolahnya menjadi masakan, menjadi keprihatinan semua pihak. Pengunggah foto satwa liar dianggap tidak memiliki etika serta pendidikan yang cukup untuk menyayangi makhluk hidup.

Ketua Protection of Forest and Fauna (Profauna) Indonesia, Rosek Nursahid mengungkapkan, ramainya postingan foto satwa liar hasil buruan oleh generasi muda menjadi bukti lemahnya pendidikan konservasi satwa liar oleh lembaga pendidikan. Seharusnya, lembaga pendidikan terlibat dalam mengedukasi serta membekali generasi muda agar memiliki kesadaran menyayangi dan menjaga kelestarian satwa.

“Mahasiswa atau pelajar, kan generasi muda terdidik. Tapi, mereka justru menunjukkan tidak memiliki etika menyayangi satwa. Ini cermin kegagalan edukasi tentang konservasi alam,” ujar Rosek Nursahid kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (21/10/15).

Rosek juga menilai, generasi muda kini kehilangan karakter dan budi pekerti cara mencintai alam dan lingkungan. Pendidikan yang keliru, menyebabkan generasi muda terjerumus pada praktik perdagangan satwa liar yang berujung pada hukum. “Seharusnya mereka lebih ditekankan bagaimana menyayangi satwa. Ini soal pembentukan budi pekerti serta karakter.”

Penjelasan Rosek erat kaitannya dengan postingan foto binatang satwa yang mati diburu. Salah satunya, kucing hutan (Felis bengalensis) yang dipajang di Facebook milik mahasiswi Universitas Jember, Ida Tri Susanti, yang mengunggah satwa dilindungi itu pada 12 September 2015. Selain itu, ada juga beruang madu atau burung elang, yang diposting oleh pelaku.

“Pemahaman selama ini hanya mengenai jenisnya, misalnya orangutan di Kalimantan harus dilestarikan. Sebenarnya bukan sekadar itu, harus lebih ke penanaman empati kasih sayang bahwa satwa tidak pantas diburu, terlebih dibunuh.”

Foto kucing hutan, satwa dilindungi, hasil buruan yang diunggah di akun Ida Tri Susanti. Sumber: Facebook
Foto kucing hutan, satwa dilindungi, hasil buruan yang diunggah di akun Ida Tri Susanti. Sumber: Facebook

Profauna mendesak aparat penegak hukum atau polisi untuk lebih proaktif dalam menangai kasus perburuan satwa liar, terutama yang dipamerkan ke media sosial. Cyber Crime Unit yang dimiliki kepolisian harus melakukan antisipasi pencegahan dan penindakan cepat agar kasus pengunggahan satwa liar hasil buruan tidak terus terulang.

Pun begitu, Rosek juga mengakui bahwa pengawasan dan pengamanan yang longgar di kawasan habitat satwa liar, menjadi salah satu faktor masih maraknya aksi perburuan satwa liar. Minimnya tenaga pengamanan seperti polisi kehutanan membuat pemburu bebas keluar masuk hutan lindung maupun taman nasional. “Hal yang penting diperhatikan juga adalah soal kepemilikan senjata api yang digunakan untuk berburu. Harus ada pembatasan bahkan pelarangan agar tidak salah digunakan.”

Yohanes Gani, pengamat media sosial di Manukung, Kalimantan Barat menuturkan, harusnya media sosial digunakan sebagai tempat berkomunikasi dan menampilkan hal positif untuk membangun masyarakat. Bukan sebaliknya, sebagai penyebar keburukan dan hal-hal yang tidak berguna.

Dengan kewarasan kita, harusnya kita bisa sadar apa yang hendak kita tampilkan. Apakah aku pantas membuat status semacam ini? Ini merupakan gambaran diri kita, apakah kita orang bodoh, tidak berpendidikan, berwawasan sempit, picik, sakit jiwa, atau sebaliknya sebagai sumber pengetahuan. “Maka, bijaklah sebelum mengunggah sesuatu atau membuat status, agar kita dihargai oleh orang lain,” jelas Yohanes.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,