Hari Perikanan, Momentum Evaluasi Kebijakan Sektor Pesisir

Hari Perikanan, setiap 21 November, mesti menjadi momentum evaluasi kebijakan, terutama sektor pesisir dan perikanan dari berbagai ancaman, seperti privatisasi dan reklamasi pantai.

Karman, dari Konsultasi dan Bantuan Hukum, Fakultas Hukum Unisbank Semarang mengatakan, evaluasi ini penting guna mengukur apakah pemerintah menjalankan mandat konstitusi mensejahterakan nelayan, petambak juga petani garam tradisional.

Dia menilai, kebjakan pemerintah masih jauh dari cita cita menjadikan negeri bahari dalam menopang kesejahteraan masyarakat pesisir. “Kebijakan sektor pesisir dan perikanan justru memunculkan semangat industri perikanan. Bangsa Indonesia sebagai negeri bahari justru banjir ikan impor,” katanya, kepada Mongabay.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012, menunjukkan, kuota impor perikanan 331.893 ton menjadi 337.360 ton pada 2009.  Periode 1976-2012, perdagangan ikan dan produk perikanan dunia naik 8,3% per tahun secara nominal dan 4,1% secara riil. Ekspor perikanan US$129.800 juta pada 2011, naik 17% pada 2010. Pada 2012, turun jadi US$129.200 juta.

Abdul Halim Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, data FAO 2014, perikanan berkontribusi 40% atau US$135 miliar dari total produk pangan yang diperdagangkan. Data Kiara (September 2015), mencatat produk-produk perikanan yang diperdagangkan adalah udang, salmon, tuna, kod, cumi-cumi, gurita, dan kepiting.

Rantai perdagangan ikan dunia, katanya, belum memihak masyarakat perikanan kecil, terutama negara-negara berkembang. Padahal, mereka berkontribusi 40% dari produksi perikanan tangkap global.

Kesulitan masyarakat perikanan kecil terlibat dalam sistem perdagangan ikan nasional dan internasional, katanya, maupun berkompetisi dengan pelaku pasar lain antara lain, ongkos produksi tinggi, dan intervensi teknologi minim. Juga, harga jual rendah, ketidakpastian status wilayah tangkap tambak/lahan budidaya, serta keterbatasan pendokumentasian hasil tangkapan atau budidaya yang bisa diakses konsumen.

“Perlu peran besar negara memfasilitasi pelaku perikanan skala kecil mengatasi permasalahan, khusus perempuan nelayan.”

Lokasi Pantai Pede di Labuan Bajo yang akan diprivatisasi oleh perusahaan milik Setya Novanto. Foto: Tommy Apriando
Lokasi Pantai Pede di Labuan Bajo yang akan diprivatisasi oleh perusahaan milik Setya Novanto. Foto: Tommy Apriando

Privatisasi sumber daya laut

Masalah lain yang banyak dihadapi nelayan kecil, adalah privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut. Halim menambahkan, privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut semata-mata untuk kepentingan komersial telah menggusur masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka terhadap sumber-sumber kehidupan. “Ini pelanggaran HAM.”

Pelanggaran ini, katanya, ada legalisasi pemerintah di banyak negara dengan label seperti kawasan konservasi laut (marine protected areas), investasi pulau-pulau kecil, dan pembangunan hunian tepi laut (water front city).

“Target luasan kawasan konservasi laut 20 juta hektar merupakan praktek pelanggaran HAM masyarakat pesisir. Pemerintah mengklaim telah berhasil mencapai 16,5 juta hektar,” kata Abdul Halim.

Data Kiara September 2015 mencatat, sedikitnya 30 kabupaten, kota dan provinsi di Indonesia menjalankan reklamasi pantai untuk pembangunan hunian tepi laut. Saat sama, pemerintah, melalui KKP mendorong investasi asing di 40 pulau-pulau kecil selama 2015-2016.

Pemerintah, katanya, menjadi aktor utama pelanggaran HAM masyarakat pesisir lintas profesi. Ironisnya, privatisasi dan komersialisasi ini didukung APBN 2015 dan 2016.

“Saatnya pemerintah mengakhiri privatisasi dan komersialisasi sumber daya laut dan kembali ke konstitus. Mengelola sumber daya laut untuk kemakmuran rakyat.”

Satu contoh reklamasi di Semarang. Eti Oktaviani, Divisi Advokasi LBH Semarang, bagian Koalisi Layar Nusantara mengatakan, Semarang terancam perubahan kultur budaya bahari ketika walikota merekomendasikan reklamasi wilayah pesisir Tugurejo 200 hektar untuk kawasan industri. Dengan begitu, memperluas pesisir Semarang dari 21,6 km, 60% bukan lagi milik publik tetapi berpindah ke pemodal.

“Hari Perikanan menjadi momentum bagi negara termasuk Semarang untuk evaluasi kebijakan yang berorientasi keadilan dalam mengakses sumber daya pesisir dan perikanan,” katanya.

Sedangkan Ribut Bachtiar, Ketua Serikat Nelayan Indonesia Cirebon mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam sebagai prioritas legislasi Presiden bersama DPR pada 2015.

“Sudah terlampau lama masyarakat pesisir lintas profesi tidak mendapatkan skema perllindungan dan pemberdayaan negara. Dengan ada draf DPR, tinggal selangkah lagi.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,