,

Nawa Sanga Bhuana, Simbol Penolakan Reklamasi dari Sembilan Penjuru Angin

Warga bertepuk tangan riuh ketika percikan api mulai menghanguskan eskavator. Alat pengurug yang diremas oleh tangan besi setinggi 13 meter itu sudah menjadi ikon perlawanan penolakan reklamasi di Teluk Benoa, Bali selama tiga tahun ini.

Percikan api ini dialirkan Gung Ama, seorang penari Barong yang melompat ke ke arah Linggam, rangka besi berwujud tangan itu. Para penari Barong ini memandu perhatian pengunjung dengan berteriak, menari, ditambah suara gong bertalu-talu.

Malam yang baru diguyur hujan terasa hangat. Suasana agak mencekam. Sampai akhirnya diakhiri dengan tepukan riuh karena api menghanguskan eskavator, simbol pengurugan laut dari bahan papan kayu itu.

Linggam itu dirancang oleh sejumlah pekerja kreatif Bali seperti arsitek eksentrik Yoka Sara dan Klik, dieksekusi Kedux dan Marmar, keduanya artis tattoo dan seniman, serta rekan-rekannya.

Aksi teatrikal tersebut merupakan bagian dari acara musik yang bertema Sanga Bhuana Art Event Bali Tolak Reklamasi 2015, pada akhir pekan kemarin di Pantai Padanggalak, Kesiman, Denpasar, akhir pekan ini. Puluhan musisi dan seiman berbagai genre beraksi pada acara yang bertempat di pantai yang terkikis karena abrasi, salah satunya dampak reklamasi Pulau Serangan menjadi lokasi langganan art event tolak reklamasi ini selama 3 tahun.

Perhelatan besar musik melawan rencana reklamasi yang ketiga di Bali dilakukan secara swadaya oleh simpatisan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI). Ribuan warga berkumpul melihat dan mendengar bagaimana publik menyuarakan kegelisahannya jika 700 hektar laut yang awalnya area konservasi akan berubah menjadi resor wisata milik investor.

Yoka Sara menyebut Nawa Sanga adalah konsep sembilan penjuru mata angin dalam filosofi Hindu, dan ini menjadi simbol perjuangan rakyat Bali melawan investor rakus dengan berbagai cara. Kesembilan penjuru mata angin ini atau sikap perlawanan disatukan dalam event akbar ini.

Aksi Band Nosstress di acara Nawasanga Art Event pada akhir pekan pertengahan Desember 2015, di Pantai Padanggalak, Kesiman, Denpasar. Foto : Luh De Suriyani
Aksi Band Nosstress di acara Nawasanga Art Event pada akhir pekan pertengahan Desember 2015, di Pantai Padanggalak, Kesiman, Denpasar. Foto : Luh De Suriyani

Selain musik pop, rock, metal, dan lainnya selalu hadir seni tradisional seperti bondres, tarian tradisional dari berbagai kelompok muda banjar di Bali, teater, seni lukis, dan lainnya. Mereka merespon kemarahan, protes, dan suara penolakan dengan caranya masing-masing. Misalnya Cok Sawitri, penulis dan penyair Bali.

Maut tak akan menjangkauku, ibu. Sebab nyanyian memintanya menari. Melupakan aku yang memanggil air sungai. Meluapkannya ke samudera yang tua. Menahan pasir-pasir dan batu batu
Dari sembilan arah
. Dari sebelas arah. Teluk teluk Bali itu biarkan menjadi. Samudera panas.
Samudera api
. Dengan batu api yang menyala. Bakar bakar mereka bahkan hingga ke balik mimpi! Hingga ketujuh kelahirannnya nanti. Samudera api!

Syair ini didramatisasi dengan suara gitar blues Made Maut dan permainan harmonika rekannya. Di depan panggung, penonton tepekur namun bergemuruh. Bahkan ada yang crowd surfing, meluncurkan tubuh di atas kepala seperti pertunjukkan musik metal.

Panggung tak dibiarkan sepi. Terus menerus terisi dengan musik, tari, dan juga orasi. Salah satunya Bendesa adat (pimpinan desa adat) Desa Kelan I Made Sugita. Berpakaian adat, laki-laki ini mengatakan warganya tak pernah surut dan konsisten menolak sejak awal rencana reklamasi ini digulirkan.

“Kami tak mau jadi budak di daerah sendiri. Rakyat kami perlu melaut dan laut juga tempat melasti (upacara agama). Saya mengajak bendesa adat lain konsisten menolak,” serunya. Kelan adalah salah satu desa di dekat area Teluk Benoa ini di Bali Selatan,” katanya.

Usai orasi, Sugita pada Mongabay mengatakan isu reklamasi ini selama 3 tahun mengurangi minat warga mencoblos di Pilkada 9 Desember lalu.  Menurutnya intrik elit politik yang berkepentingan dengan mega proyek ini membuat warga apatis. “Dari 3000-an pemilih yang datang 600-an. Mungkin sudah apatis dengan kondisi ini termasuk rencana reklamasi masih terus ada,” katanya.

Ia mengaku warganya sangat perhatian pada reklamasi ini, sampai-sampai pihak desa beberapa kali dicurigai menyeleweng ke investor. “Saya dikontrol warga. Kalau beberapa kali tak datang di acara-acara seperti ini dikira sudah dapat sesuatu,” Sugita tersenyum.

Sekelompok remaja menari Rejang di acara Nawasanga Art Event pada akhir pekan pertengahan Desember 2015, di Pantai Padanggalak, Kesiman, Denpasar. Foto : Luh De Suriyani
Sekelompok remaja menari Rejang di acara Nawasanga Art Event pada akhir pekan pertengahan Desember 2015, di Pantai Padanggalak, Kesiman, Denpasar. Foto : Luh De Suriyani

Sementara Ni Luh Made Intan Paramitha, dalam orasinya menyorot dampak lingkungan dan ketimpangan pembangunan serta kelebihan kamar akomodasi yang terus terjadi. “Jika teluk sedimentasi bukan diurug tapi dikeruk. Kenapa izin investasi ini dikeluarkan padahal Bali terus kelebihan kamar,” seru anak muda warga Badung ini.

Agung Anom pemilik Antida Music Productions yang juga salah satu penggagas even ini menyebut seni menjadi media untuk melawan ketidakadilan dan keprihatinan pada upaya perusakan lingkungan. “Tidak ada satu pun seniman yang dibayar, malah kita berkorban dengan cara masing-masing,” ujar ahli tata suara konser ini.

Art event ini juga menjadi medium menampung gerakan-gerakan konservasi lainnya. Misal ada stan-stan yang memperlihatkan gerakan Save Menjangan dari Yayasan Manik Bumi di Buleleng. Pulau Menjangan, lokasi wisata alam dan spiritual yang steril dari pemukiman beberapa waktu lalu mau diminta investor untuk pembangunan akomodasi.

Juga ada jejak perlawanan reklamasi dari berbagai daerah dan komunitas melalui pameran kaos-kaos kampanye. Tiap kelompok membuat desain dengan teks beragam. Tak hanya musik, fashion dimanfaatkan anak muda untuk bersuara.

Pantai Padanggalak makin ramai karena saat bersamaan ada rombongan upacara agama yang digelar beberapa komunitas adat. Beberapa banjar di Desa Kesiman sedang melaksanakan upacara Ngayut, bagian dari upacara Ngaben setelah kremasi.

Warga duduk menghadap sang Baruna untuk melarung sesajen dan abu jenazah diiringi puja dan harum dupa. Suara gong lamat-lamat. Laut adalah bagian dari keseharian umat Hindu di Bali. Karena itu menjadi sangat vital mudah terakses publik.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,