Catatan AMAN Sulsel 2015: Harapan dalam Ketidakpastian

Meski kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Sulawesi Selatan masih tetap berlangsung di sepanjang tahun 2015, namun di sisi lain telah ada upaya untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di beberapa daerah.

Demikian salah poin dari catatan akhir tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sulawesi Selatan, Kamis (31/12/2015).

Sardi Razak, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Sulsel, menjelaskan bahwa konflik memang masih dihadapi masyarakat adat di Sulsel, meski intensitasnya mulai berkurang.

Salah satu yang mengemuka adalah kriminalisasi terhadap Bahtiar bin Sabang, warga komunitas adat Turungan Baji di Kabupatan Sinjai, yang divonis pidana penjara selama 1 tahun subsider 1 bulan pada Juni 2015 silam. Bahtiar dituduh mencuri sebanyak 40 pohon kayu di kebunnya sendiri, yang ternyata juga diklaim Dinas Kehutanan Sinjai sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas.

Setelah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Sinjai, Bahtiar kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi di Makassar. Namun, harapan Bahtiar kandas ketika keluar putusan dari Pengadilan Tinggi pada 18 Agustus 2015, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sinjai.

Bahtiar kini tengah berjuang untuk mendapatkan keadilan melalui pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung.

Tidak hanya konflik, di tahun 2015 beberapa daerah di Sulsel menunjukkan adanya harapan baik, seiring dengan mulai munculnya upaya serius dalam melakukan perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat.

“Terlepas dari adanya kasus kriminalisasi tersebut, kita bisa optimis dengan adanya harapan di daerah lain. Di Kabupaten Bulukumba misalnya, telah ada penetapan Perda Masyarakat Adat terhadap komunitas adat Ammatoa Kajang pada November lalu, dan kemudian menyusul Kabupaten Enrekang yang kini tengah berproses. Ada juga daerah lain, seperti Toraja dan bahkan Sinjai sendiri yang mulai mewacanakan Perda,” ungkap Sardi.

Ditetapkannya Perda Masyarakat Adat Kajang sendiri, menurut Sardi, menjadi prestasi tersendiri, karena menjadi salah satu daerah yang pertama di Indonesia memiliki Perda Masyarakat Adat, meski prosesnya berlangsung lama, sekitar 2,5 tahun.

Bahkan, setelah penetapan Perda, wilayah adat Kajang yang telah dipetakan bahkan telah mendapat kunjungan dari tim Verifikasi wilayah adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang didampingi oleh BPKH dan BPDAS serta Dishut Bulukumba pada pertengahan Desember 2015 lalu.

“Setelah kunjungan verifikasi ini biasanya akan dilanjutkan dengan pengesahan. Kemungkinan akan segera terbit beberapa minggu mendatang. Ini menjadi tonggak baru bagi upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Sulsel.”

Warga Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Perda Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, yang ditetapkan pada November 2015 lalu diharapkan menjadi tonggak penting bagi pengakuan dan perlindungan adat di Sulsel. Foto : Wahyu Chandra
Warga Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Perda Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, yang ditetapkan pada November 2015 lalu diharapkan menjadi tonggak penting bagi pengakuan dan perlindungan adat di Sulsel. Foto : Wahyu Chandra

Di Kabupaten Sinjai, yang merupakan daerah asal Bahtiar bin Sabang, adanya keinginan Pemda setempat untuk mendorong Perda Masyarakat Adat, dinilai Sardi, sebagai kemajuan besar dan diharapkan akan berdampak positif.

“Dengan adanya komitmen untuk mendorong Perda ini setidaknya ke depan kita tak akan lagi mendengar adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat karena selama ini kan dalih Pemda selalu merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk Perda.”

Tidak hanya terkait pembuatan Perda, di beberapa daerah lain, seperti Kabupaten Mamasa dan Majene Sulawesi Barat, yang masih dalam wilayah kerja AMAN Sulsel, Pemda menunjukkan itikad baik dalam memfasilitasi pembentukan pengurus daerah AMAN di daerah tersebut.

Sedangkan Pemprov Sulsel menunjukkan komitmen kepeduliannya. Terlihat dari pernyataan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo , yang mendukung penuh keberadaan masyarakat adat pada Dialog Regional Percepatan Hutan Adat, yang diselenggarakan oleh HuMa pada Juli 2015.

“Adanya statemen positif ini setidaknya akan mendorong bagi SKPD-SKPD terkait agar lebih peduli dan memasukkan kepentingan masyarakat adat dalam program-program yang mereka jalankan. Selama ini kan mereka sepertinya bingung dalam implementasinya karena belum adanya status yang jelas dari pemerintah daerah.”

Setelah adanya statemen itu, menurut Sardi, kemudian terlihat dari perubahan sikap dari sejumlah instansi terkait seperti BPN, Dishut dan BPKH yang mulai melakukan dialog dan pendekatan kepada masyarakat adat.

“Memang belum ada implementasi, namun setidaknya kami sudah diajak berdialog dan diminta untuk secara bersama merumuskan kebijakan dan berbagai program yang terkait dengan masyarakat adat.”

Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, pada Dialog Regional Percepatan Hutan Adat pada Juli 2015 silam telah berkomitmen terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Foto : Wahyu Chandra
Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, pada Dialog Regional Percepatan Hutan Adat pada Juli 2015 silam telah berkomitmen terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Foto : Wahyu Chandra

Di Sulsel sendiri, ada 97 komunitas adat yang tergabung dalam AMAN, dan diperkirakan meningkat signifikan pada 2016.

Sepanjang 2015, AMAN Sulsel juga telah melakukan berbagai upaya advokasi terhadap masyarakat adat, seperti pelaksanaan training legislasi dan pelatihan etnografi bagi komunitas agar dapat mendokumentasikan sendiri wilayahnya.

“Kita juga melakukan pelatihan pemetaan dan mendorong lahirnya peta komunitas yang partisipatif, serta sosialisasi berbagai regulasi nasional yang relevan dengan perjuangan masyarakat adat.”

Terkait pemetaan partisipatif sendiri, menurut Syafruddin, Ketua Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif (UKP3), hingga saat ini terdapat 43 komunitas yang telah melakukan pemetaan. Dari angka tersebut, sebanyak 11 komunitas telah rampung dan memiliki peta wilayah adat, dan selebihnya 32 komuntas yang sedang masih dalam berproses dan diharapkan rampung pada 2016 mendatang.

Menurut Syafruddin, hingga saat ini luas kawasan adat yang telah dipetakan seluas 49 ribu hektar, sementara luas kawasan indikatif seluas 326 ribu hektar. Kawasan adat ini juga ternyata bersinggungan dengan hutan lindung sebanyak 147 ribu hektar, hutan produksi terbatas seluas 28 ribu hektar dan 2.195 hektar hutan produksi. Selain itu ada juga dua kawasan yang bersinggungan dengan kawasan suaka alam seluas 2.189,43 hektar.

“Di tahun 2016 kita berharap bisa merampungkan pemetaan di 10 komunitas lagi selain 32 komunitas di Toraja yang belum rampung di tahun 2015,” tambah Syafruddin.

Dengan kondisi yang terjadi di tahun 2015, Sardi mengakui belum bisa memastikan bagaimana kondisi masyarakat adat pada tahun 2016 mendatang.

“Kita masih sulit memprediksi apa yang akan terjadi, karena di satu sisi konflik belum terselesaikan dengan bagus, karena bentuk konkrit penyelesaiannya belum ada. Di sisi lain komitmen-komitmen pemerintah sudah ada meski belum sampai ke taraf implementasi.”

Potensi konflik tersebut, tambahnya, terkait dengan masih berlakunya UUP3H dan UU sektoral lainnya yang berimplikasi pada pertarungan perebutan klaim hak di wilayah masyarakat adat.

Perda provinsi

Meski masih wacana, Sardi berharap pada 2016 mendatang Pemprov Sulsel diharapkan mulai mendorong lahirnya Perda Masyarakat Adat.

“Sudah ada wacana untuk mendorong kembali Perda Masyarakat Adat di tingkat provinsi. Ini sebenarnya pernah diwacanakan tapi kemudian redup. Ini sepertinya akan digulirkan kembali.”

Upaya mendorong perda ini menurut Sardi telah mulai didiskusikan dengan beberapa instansi terkait. Keberadaan perda di level provinsi ini diharapkan bisa menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam perumusan program yang terkait masyarakat adat.

“Dengan Perda di tingkat provinsi ini diharapkan bisa menjadi alat dorong bagi pemda kabupaten untuk melakukan hal yang sama. Namun dari semua itu, yang paling penting ini menunjukkan adanya kepedulian pemerintah terhadap eksistensi masyarakat adat.”

Selain itu, dengan adanya Perda ini kelak, diharapkan SKPD terkait akan memiliki standar yang jelas tentang apa yang bisa mereka lakukan dalam menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat adat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,