Mengintip Rumah Bambu ala Masyarakat Ngada

Kabupaten Ngada terkenal dengan bambunya yang tumbuh liar dimana-mana. Bisa di katakan Ngada merupakan “Kabupaten Sejuta Bambu“. Bambu yang tumbuh liar ini sejak zaman dahulu dimanfaatkan masyarakat untuk membangun rumah. Tiang konstruksi, dinding hingga atap rumah semuanya berbahan baku bambu.

Keunggulan rumah bambu bagi masyarakat di perdesaan Ngada adalah materialnya yang tersedia dan melimpah. Berbeda jika mereka harus membeli bahan bangunan untuk rumah tembok.

Umumnya bambu yang digunakan berasal dari jenis bambu betung (Dendrocalamus asper) atau yang disebut oleh masyarakat Ngada dan Nagekeo sebagai bambu bheto. Bambu ini memiliki ukuran lingkar batang yang cukup besar, dan biasanya tumbuh secara alami tanpa ditanam oleh masyarakat. Jenis bambu ini dapat tumbuh hingga mencapai panjang 25 meter dengan diameter maksimal hingga 13-16 centimeter.

Sebagai perbandingan jika untuk membangun rumah tembok, warga membutuhkan 50-100 juta rupiah, untuk rumah bambu warga cukup mengeluarkan 1-2 juta rupiah dengan sistem gotong royong, sedangkan berkisar 3-5 juta rupiah jika menggunakan tukang.

Rumah yang terbuat dari bambu dapat bertahan hingga 10 tahun, sementara untuk atap bambu bisa bertahan sampai 5 tahun. Bahkan bambu pun dipakai sebagai pengganti besi cor yang dicampur bersama semen.

“Kalau tiang cor nya memakai bambu biasanya lebih kuat. Selain itu kalau harus beli besi lagi tentu butuh uang sehingga lebih baik dimanfaatkan bambu yang sudah tersedia di sekitar rumah,“ ujar Paulus Monga, warga Dusun Woga, Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa yang ditemui Mongabay-Indonesia pertengahan bulan Desember lalu.

Menurut penuturan Paulus, zaman dahulu hampir seluruh warga di Kabupaten Ngada menggunakan bambu bheto untuk konstruksi rumahya. Selain atap, bambu bheto juga digunakan sebagai tiang bangunan, rangka atap, dan juga dibelah untuk dinding rumah.

Konstruksi rumah bambu di kecamatan Mataloko kabupaten Ngada. Foto: Ebed de Rosary
Rumah bambu masyarakat yang ada di Mataloko, Ngada. Foto: Ebed de Rosary

Menurut kepercayaan masyarakat, bambu yang dipotong pada saat memasuki periode waktu fase malam bulan gelap akan lebih baik kualitasnya, karena tidak cepat rusak dimakan rayap atau anai-anai. Batang bambu yang dipotong umumnya yang paling tua yang dapat dilihat dari warnanya yang kecoklatan.

Untuk membangun sebuah rumah standard, estimasi dibutuhkan sekitar 50 sampai 100 batang bambu bheto. Sementara untuk atap dibutuhkan sekitar 20 hingga 30 batang bambu.

Dalam penggunaan bahan baku bambu, pangkal bambu biasanya dijadikan tiang rumah, bagian tengah kerap dijadikan atap, sementara bagian ujung bambu umumnya dibelah untuk dijadikan dinding rumah.

Bentuk atap rumah bambu masyarakat Ngada, biasanya dibedakan menjadi atap dua air, yaitu bentuk atap rumah berbentuk segitiga dengan dua penampang kemiringan. Serta atap empat air, yaitu atap berbentuk piramida dengan empat penampang kemiringan.

“Kalau untuk rumah bisanya menggunakan konstruksi dua air yang lebih mudah dibuat, sementara kalau bangunan kantor atau rumah adat bisa empat air. Panjang bambu disesuaikan dengan panjang atapnya,“ jelas Paulus. Panjang bambu untuk atap biasanya berkisar antara 2,5-4 meter tergantung dari panjang atap.

Agar mampu mengalirkan air hujan, untuk atap bambu maka bagian terbuka dari bambu biasanya diletakan menghadap ke atas yang difungsikan sebagai tempat aliran air hujan. Sesudahnya di kiri kanannya disusun bambu belah dengan bagian terbuka menghadap ke bawah sehingga tidak ada celah bagi air hujan merembes. Dalam konstruksi dua air, bagian ujung atap tepatnya di sambungan umumnya dipasang seng atau rumput ilalang sebagai penguat.

Sejalan dengan modernisasi dan kepraktisan, saat ini perlahan atap bambu tergeser oleh atap seng yang lebih mudah diperoleh. Meski diakui atap dari seng terasa lebih panas jika dibandingkan dengan atap dari bambu untuk orang yang tinggal dibawahnya.

Selain digunakan menjadi bahan pembuatan rumah, bambu juga digunakan untuk alat tradisional bombardom. Alat ini terdiri dari dua elemen yaitu bambu ukuran diameter besar dan bambu kecil, dimana bambu kecil digunakan untuk meniupkan udara ke bambu besar.

Alat musik ini ditiup secara bergantian antara dua nada yang berbeda. Bombardom biasanya mengiringi alat musik bambu lainnya seperti seruling khas Ngada yang disebut Foi Doa (seruling ganda) yang dimainkan pada saat pesta adat atau penerimaan tamu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,