,

Aturan Pembatasan Kepiting Pengaruhi Pendapatan Nelayan di Maros. Kenapa?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan PermenKP  No.1/Permen-KP/2015 tentang pembatasan ukuran tangkap lobster, kepiting dan rajungan. Peraturan ini ternyata berdampak pada menurunnya produktivitas nelayan Dusun Binanga Sangkara, Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Tak semua nelayan bisa mematuhi peraturan tersebut karena keterbatasan pada perahu yang digunakan. Mereka juga mengeluhkan kurangnya sosialisasi dan ketegasan kepada nelayan-nelayan lain serta pihak pembeli kepiting itu sendiri.

“Selama masih ada yang mau beli maka nelayan pasti tetap akan melakukan penangkapan tanpa melihat besar kecilnya kepiting yang mereka peroleh. Harusnya ada sosialisasi dan ketegasan juga ke pihak pembeli,” ungkap Rusman, Ketua Usaha Bersama (KUB) Binanga Sangkara, pada awal minggu kemarin.

Dia mengakui bahwa para nelayan sulit memenuhi standar ukuran kepiting minimal 10 cm yang ditetapkan oleh KKP. “Kita butuh perahu yang lebih besar agar bisa ke tengah laut, sementara perahu kami ukuran kecil berupa perahu katinting yang hanya bisa beroperasi di pinggir-pinggir saja,” ungkap Rusman.

Rajungan merupakan kepiting berukuran kecil, sehingga sulit untuk mendapatkan ukuran standar karena harus melaut ke tengah laut dengan kedalaman lebih dari 10 meter.

Metode penangkapan yang dilakukan selama ini dengan cara memasang alat tangkap yang disebut rakkang yang terbuat dari kawat dan tali. Umumnya nelayan di dusun tersebut memiliki 100 rakkang yang ditebar di pagi hari dan sorenya diambil kembali. Sehari mereka bisa mendapatkan 2-5 kg kepiting dari berbagai ukuran.

Rusman khawatir jika standar ini langsung dipaksakan bisa secara drastis bisa mempengaruhi tingkat penghidupan nelayan setempat, yang selama ini menggantungkan hidupnya dari usaha penangkapan kepiting.

Menurutnya, dalam pertemuan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maros, dirinya mengusulkan agar pembatasan ukuran ini dilaksanakan secara bertahap sambil menunggu kesiapan nelayan. Pertemuan itu menyepakati batas minimal 7 cm kepiting yang ditangkap.

Kepiting hasil tangkapan nelayan di Dusun Binanga Sangkara, Maros, Sulawesi Selatan. Nelayan sulit menerapkan peraturan KKP tentang pembatasan penangkapan kepiting minimal 10 cm karena keterbatasan perahu yang digunakan. Foto : Wahyu Chandra
Kepiting hasil tangkapan nelayan di Dusun Binanga Sangkara, Maros, Sulawesi Selatan. Nelayan sulit menerapkan peraturan KKP tentang pembatasan penangkapan kepiting minimal 10 cm karena keterbatasan perahu yang digunakan. Foto : Wahyu Chandra

Nelayan Dusun Binanga Sangkara juga sulit menerapkan larangan menangkap kepiting bertelur, khususnya di bulan-bulan tertentu. “Kalau bulan tujuh itu hampir semua kepiting bertelur dan jumlahnya banyak sekali. Kalau kami tidak ambil maka tak ada hasil sama sekali, jadi kadang masih diseleksi mana yang diambil dan mana yang dibuang kembali ke laut.”

Rusman juga mensyukuri adanya larangan penggunaan trawl karena berdampaknya langsung dengan peningkatan populasi ikan dan kepiting di daerah tersebut.

Meski protes dengan pembatasan ukuran tersebut, Rusman mengakui memang diperlukan adanya upaya perlindungan ekosistem kepiting agar tidak habis, mengingat besarnya jumlah tangkapan nelayan setiap hari. Khusus di Dusun Binanga Sangkara saja, total jumlah kepiting tangkapan nelayan bisa mencapai seratusan kilogram per harinya.

“Cuma memang harus ada solusi, jadi kami masih bisa tetap beraktivitas tanpa harus melanggar lagi,” tambahnya.

Solusi Kepiting

Mereka menawarkan solusinya dengan keramba budidaya kepiting rajungan di sekitar pesisir dusun tersebut.  “Hasil tangkapan yang kecil atau yang bertelur bisa disimpan di keramba sampai ukuran standar. Yang kecil-kecil baru lahir bisa keluar di sela-sela jaring,” katanya.

Hanya saja, tambah Rusman, keramba kepiting rajungan terhitung sulit dilakukan karena kerentanan jenis kepiting ini, yang hanya bisa hidup di habitat tertentu. “Kerambanya memang harus khusus dan disesuaikan dengan habitat alami agar tidak mati.”

Terkait kepiting bertelur ini, menurut Rusman, sebenarnya ada masalah yang lebih besar dan butuh penanganan serius, yaitu maraknya penggunaan alat tangkap ikan berupa bentangan jaring yang disebut tiku. Alat ini dipasang ketika air pasang hingga surut, bertujuan untuk memerangkap ikan yang terbawa arus.

Sayangnya, alat ini justru lebih banyak memerangkap kepiting yang sedang menuju mangrove untuk bertelur.

Menghadapi berbagai tantangan tersebut memaksa Rusman dan sejumlah nelayan lainnya untuk berpikir kreatif, mencari sumber penghasilan lainnya. Salah satu potensi yang kini dilirik adalah budidaya rumput laut.

Sejak setahun terakhir, mereka mencoba melakukan penanaman rumput laut di sejumlah lokasi sekitar pesisir Binanga Sangkara. Tantangannya pada kondisi pesisir yang dangkal dan berlumpur dan kurang bagus bagi pertembuhan rumput laut.

“Kita masih coba-coba dulu. Sudah ada sekitar tujuh hektar yang kami tanami meski hasilnya belum maksimal.”

Rusman berharap keberadaan budidaya rumput laut ini bisa menjadi sumber mata pencaharian alternative nelayan setempat, sehingga tidak lagi focus pada usaha penangkapan kepiting.

Usaha pengupasan kepiting

Tren penangkapan kepiting di Dusun Binanga Sangkara terjadi dua tahun terakhir menyusul adanya pembeli kepiting dalam jumlah yang besar. Kalau dulunya kepiting hanya merupakan tangkapan sampingan karena harga yang murah, kini justru menjadi tangkapan utama.

Sebuah kelompok perempuan bernama Ujung Parappa setiap harinya membeli kepiting tangkapan nelayan hingga seratusan kilogram untuk usaha pengupasan kepiting. Dagingnya kemudian dijual ke Kawasan Industri Makassar (KIMA) dengan harga yang lebih mahal.

Kepiting hasil tangkapan umumnya dijual di kelompok perempuan Ujung Parappa yang dikelola istri nelayan sendiri di Dusun Binanga Sangkara, Maros, Sulawesi Selatan. Keberadaan usaha kepiting ini dalam dua tahun terakhir berhasil meningkatkan penghasilan nelayan tersebut. Foto : Wahyu Chandra
Kepiting hasil tangkapan umumnya dijual di kelompok perempuan Ujung Parappa yang dikelola istri nelayan sendiri di Dusun Binanga Sangkara, Maros, Sulawesi Selatan. Keberadaan usaha kepiting ini dalam dua tahun terakhir berhasil meningkatkan penghasilan nelayan tersebut. Foto : Wahyu Chandra

Habsiah, ketua kelompok Ujung Parappa, mengakui keberadaan usaha pengupasan kepiting yang dilakukannya membantu peningkatan taraf hidup masyarakat di Binanga Sangkara.

“Dulu kampung sini sangat miskin, karena sebagian besar merupakan buruh nelayan. Apalagi dulu kepiting seperti tak ada harganya. Sekarung plastik paling tinggi dihargai Rp10 ribu. Malah sering terlilit utang di ponggawa pembeli kepiting mereka,” katanya.

“Jika dulu penghasilan nelayan masih rata-rata di bawah Rp1 juta per bulan, maka kini mereka bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp4 juta per bulan, belum termasuk tambahan pendapatan dari istri.”

Habsiah berharap jika aturan pembatasan penangkapan kepiting diberlakukan tegas, pemerintah perlu memberikan kompensasi berupa bantuan pengadaan perahu motor yang lebih besar. “Kalau masih pakai perahu yang sekarang susah kami dapat kepiting yang sesuai standar. Perahu kecil tidak bisa dibawa ke tengah laut karena ombaknya tinggi.”

Menjaga mangrove

Sebagai nelayan yang banyak menggantungkan hidup pada kepiting rajungan yang banyak bertelur di mangrove, Rusman dan nelayan lainnya berupaya menjaga kelestarian mangrove di daerah tersebut.

“Kita kadang melakukan penanaman mangrove dan sekaligus menjaga yang sudah ada,” ungkapnya.

Hanya saja, memang sebagian warga sendiri masih ada yang menebang mangrove, yang umumnya untuk kebutuhan pembuatan perahu. Sementara untuk kebutuhan bahan bakar sudah mulai berkurang.

Tantangan terbesar kelestarian mangrove di daerah tersebut adalah klaim warga terkait batasan kepemilikan kawasan mangrove.

Di Desa Ampekale sendiri sebenarnya sudah ada Peraturan Desa terkait Pengelolaan Mangrove yang ditetapkan sejak beberapa tahun lalu. Perdes ini lahir sebagai bagian dari program Restoring Coastal Livielihood (RCL) Oxfam, yang difasilitasi oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL). Sayangnya, Perdes ini belum tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh warga.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,