Yayasan Planet Indonesia Kalimantan Barat mendeteksi sebanyak 4.892 individu burung diperdagangkan di pasar bebas Kalimantan Barat (Kalbar). Data tersebut diperoleh dari hasil survei di 75 toko burung yang tersebar di delapan kota di Kalbar, yakni Pontianak, Singkawang, Sambas, Bengkayang, Ketapang, Sanggau, Sintang, dan Putussibau.
Terungkap pula sekitar 60 jenis dari ribuan jumlah burung yang diperdagangkan tersebut selama kurun waktu Agustus hingga Desember 2015. Burung kacer atau kucica kampung menempati peringkat terbanyak, disusul murai batu, dan kenari.
Direktur Eksekutif Yayasan Planet Indonesia, Adam Miller mengatakan, maraknya perdagangan burung ini tidak terlepas dari budaya masyarakat. “Ada kalimat populer yang berlaku bagi masyarakat Jawa. Bunyinya, seorang lelaki akan sungguh-sungguh menjadi lelaki jika ia memiliki sebuah rumah, istri, kuda, keris, dan burung peliharaan,” katanya di Pontianak, Jumat (12/2/2016).
Dia juga menjelaskan sistem distribusi burung di Indonesia. Melalui hasil pengamatan yang ia lakukan, Jawa adalah pulau terbesar bagi pemasaran burung. Sedangkan pulau-pulau lain berfungsi sebagai penyuplai.
“Hasil survei ini cukup mengejutkan. Ternyata pasar burung juga berkembang di daerah penyuplai. Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menemukan lebih dari empat ribu burung dijual di pasar lokal,” jelas Adam.
Selain mendata jumlah dan spesies burung yang diperjualbelikan, Planet Indonesia coba menganalisa pola pemasokan dan suplai burung. Untuk pasar lokal, angka tersebut hanyalah persentase kecil yang diperjualbelikan. Diperkirakan lebih banyak lagi yang dijual ke Pulau Jawa.
Untuk pasokan burung, sebut Adam, selain dari hutan Kalimantan, burung-burung juga diperoleh dari pulau lainnya seperti Papua. Bahkan, tidak sedikit burung dipasok dari luar negeri, khususnya Malaysia.
Di salah satu pintu perlintasan batas Indonesia-Malaysia, Planet Indonesia juga pernah menemukan aktivitas penyelundupan yang mamasok sekitar 6.000 individu burung setiap bulannya ke Indonesia.
“Keseluruhan adalah jenis songbird. Bayangkan, jika terdapat sepuluh penyelundup, berapa jumlah burung ilegal yang masuk ke sini? Alasan penyelundup, burung di hutan Kalimantan sudah habis. Terpaksa ambil dari luar negeri,” terangnya.
Adam membandingkan kondisi ini dengan pengalamannya ketika melakukan survei burung di kawasan Gunung Palung. Di taman nasional itu, ternyata lebih mudah bertemu dengan orangutan dibandingkan melihat cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus).
“Jika kondisi ini dikaji dalam skala nasional, perdagangan burung ternyata sudah masuk kategori marak. Bahkan, hampir tidak terkendali. Ini perlu perhatian para pihak terkait,” jelas Adam.
Dalam konferensi di Singapura September 2015, sejumlah lembaga yang memonitor perdagangan satwa menyatakan bahwa tingkat perdagangan satwa di Asia, khususnya burung, mencapai titik tertinggi. Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara dengan tingkat perdagangan dan penyelundupan tertinggi.
“Ini sudah menjadi masalah nasional. Penangkapan dan penyelundupan burung akhir-akhir ini di Jawa Timur telah digalakkan. Pada November 2015, pemerintah berhasil menangkap penyelundup yang membawa lebih dari 2.500 burung di Surabaya. Harus ada tindakan sesegera mungkin, atau akan banyak spesies burung yang punah,” tegas Adam.
Penegakan hukum
Managing Director Planet Indonesia Kalimantan Barat, Novia Sagita menambahkan, maraknya perdagangan burung, bukan hanya disebabkan oleh budaya, namun juga masalah hukum. “Meskipun Indonesia memiliki hukum konservasi yang memadai, penegakan hukum di daerah-daerah habitat burung hampir tidak ada,” jelasnya.
Dalam monitoring, kata Novia, ditemukan bahwa para penangkap dan penjual burung tidak merasa takut. Mereka tanpa segan menginformasikan lokasi, proses penangkapan, dan penjualannya.
Sebagai contoh adalah Pak Lek Sumo. Pedagang burung di Kota Singkawang ini tidak segan menjelaskan asal-usul 50 individu burung yang dijualnya. “Kebanyakan berasal dari Sanggau Ledo dan Bengkayang. Sebagian saya beli, sebagian hanya burung titipan. Kita yang menjualkan,” katanya ketika ditemui Planet Indonesia, Kamis (30/7/2015).
Pria 58 tahun ini mengaku menampung burung dari anaknya yang juga membuka toko burung di Kabupaten Bengkayang. Jenis burung yang ia jual mayoritas adalah jenis kacer dan murai.
Burung-burung tersebut cukup digemari para hobiis. Apalagi jika kicauannya dipertandingkan. “Saya hanya menjual burung yang kicauannya dipertandingkan. Burung yang dilarang seperti elang, tidak pernah masuk ke toko saya,” ucap Pak Lek Sumo.
Ia juga menuturkan bahwa alasannya membuka toko burung adalah atas dasar hobi, tidak semata-mata karena bisnis. Makanya, berbagai piagam perhagaan ia terima dari hasil kompetisi kicau burung.
Toko miliknya adalah satu di antara belasan toko burung di Kota Singkawang. Beberapa toko bahkan menjual burung dalam jumlah ratusan. Ini dapat dijumpai di sepanjang Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Pajintan. Tidak hanya di kota seribu kelenteng, perdagangan burung juga marak dan mudah ditemui di kota-kota lain di Kalimantan Barat.