Ishak Agam menatap laut yang sedang bergelombang. Sudah sejak akhir Desember 2015 cuaca di teluk Palu, Sulawesi Tengah seperti itu. Diperkirakan, kondisi itu berlangsung hingga Maret. Beberapa meter dari tempat duduknya, perahu-perahu bergoyang diterjang ombak.
Kondisi itu membuat nelayan enggan melaut, memilih tinggal di rumah, atau menjalani profesi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup, sambil sesekali memantau kondisi perahu.
Sudah 27 tahun Ishak berprofesi nelayan tradisional di kelurahan Talise, kota Palu. Biasanya, menjelang petang pergi melaut mencari ikan katombo dan ikan batu, kemudian kembali pagi-pagi sekali.
Hasil tangkapannya langsung habis terjual di pantai. Hanya saja, meski pembeli cukup banyak, ikan agak sulit diperoleh.”Hasil tangkapan sudah berkurang. Dulu, sekali melaut bisa dapat Rp100.000. Sekarang sudah susah,” ujarnya.
Sore itu, 2 Februari 2016, ia sedang minum kopi sambil memantau perahu yang diparkir di tengah laut. Biasanya, jika tidak melaut karena cuaca buruk, ia bekerja sebagai buruh bangunan, namun sore itu ia hanya memantau perahu saja. Ishak khawatir jika ombak makin kuat, perahu bisa mengalami kerusakan. Maklum, ia pernah mengalaminya sekali.
Dulu, ketika cuaca buruk, demikian Ishak menceritakan, perahu bisa diletakkan ke tempat yang lebih aman. Kini, hal tersebut sulit dilakukan. Sebagian pantai sudah ditimbun. Bagian lainnya dipagari beton. Akibatnya, ketika musim ombak, perahu bisa rusak.
“Coba lihat saja perahu-perahu itu,” ia menuding beberapa perahu yang mengalami kerusakan. Ada yang tergeletak di atas timbunan. Ada yang terapung tak berdaya di tengah laut. “Semua itu hancur karena diterjang ombak. Susah cari tempat aman saat cuaca buruk.”
Berdasarkan informasi yang ia dengar, lewat proyek reklamasi di dekat ruang tambat perahunya, akan ada pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan. Namun upaya itu menimbulkan protes. Beberapa kali sempat disaksikannya sejumlah kelompok menggelar demonstrasi penolakan reklamasi di teluk Palu. Tapi, ia tidak begitu memahami perkembangan kasusnya.
Ishak sendiri mengaku bingung atas munculnya izin pembangunan dengan cara menimbun laut. Sebab, di kota Palu masih banyak tanah kosong yang bisa dimanfaatkan. Pemerintah kota sendiri tidak pernah menyosialisasikan hal itu.
“Saya sudah tidak tahu mau mengadu kemana lagi. Pemerintah seperti tidak peduli pada nelayan. Ini malah ruang gerak dipersempit,” sesal Ishak.
Kini, ruang tambat perahu sudah bergeser hingga 400 meter. Ishak mengatakan, pernah ada ganti rugi Rp1,5 juta untuk tambatan perahu yang digusur. Dia mengaku terpaksa menyetujuinya karena sudah tidak ada pilihan lain.
Ditakutkan, jika reklamasi semakin melebar, sudah tidak ada lagi lokasi yang tepat untuk dijadikan tempat parkir perahu. “Kami hanya rakyat kecil. Harusnya dibantu. Bukan sebaliknya. Sekarang, kami sedang berusaha mempertahankan sisa ruang tambatan perahu,” kata Ishak.
Keluhan Pedagang
Di bagian kanan dan kiri area reklamasi, berbaris kios-kios dagangan warga. Mereka menjual menu seperti mie ceplok, nasi campur, kopi, teh hangat dan lain sebagainya. Nyaris tiap hari, kios-kios ini dikunjungi penduduk kota, dengan puncak keramaian di hari Sabtu. Suasana dan keindahan pantai menjadi daya tarik bagi warga di kota Palu untuk bersantai bersama sahabat, kekasih maupun keluarga.
Di sana, seorang ibu separuh baya sedang mempersiapkan dagangannya. Ketika ditemui Mongabay, ia bersedia diwawancarai, namun enggan namanya dipublikasi.
Dia mengeluhkan debu-debu dari aktifitas penimbunan. Kegiatan berdagangnya sering terganggu. Ada juga pembeli yang mengeluhkan hal tersebut. “Dulu, katanya jam 4 sore sudah tidak lagi kerja. Tapi, kenyataannya, truk-truk masih bawa pasir ke pantai,” sesalnya.
Dia tidak begitu tahu nasibnya kedepan. Pemerintah kota tidak pernah langsung menemui pedagang untuk memberi penjelasan terkait kelangsungan usaha mereka. Namun, dalam suatu pertemuan paguyuban pedagang di sana, ia mendapat informasi bahwa nantinya ketika proyek reklamasi rampung, para pedagang akan difasilitasi dan diberi tempat.
“Saya berharap masih boleh berdagang nantinya. Hanya ini mata pencaharian saya,” ungkapnya.
Petani Garam
Selain nelayan dan pedagang, kelompok petambak garam juga memiliki interaksi yang cukup erat dengan pantai. Dengan air dari pantai, yang kemudian di salurkan ke tambak, mereka bisa memproduksi garam. Menurut Badrun, petambak garam dari Desa Talise, reklamasi Teluk Palu membuat petambak garam resah.
Jika wilayah timbun semakin meluas, kata dia, saluran air bisa tertutup dan air asin tidak lagi mengaliri tambak. Itu berarti usahanya dalam bahaya. “Kalau bisa, jangan ditimbunlah aliran airnya,” harapnya.
Penimbunan saluran air juga dikhawatirkan menyebabkan banjir. Sebab, air hujan dapat tersumbat, lalu meluap.
Badrun meminta pemerintah kota Palu lebih bijak menata pembangunan dan tidak mengorbankan masyarakat kecil. Sepengetahuannya, petambak garam di kota Palu hanya ada di kelurahan Talise, tempatnya bekerja. “Kalau reklamasi semakin meluas, kerja petambak garam akan semakin sulit. Padahal, di Sulawesi Tengah petambak garam hanya ada di sini. Masyarakat akan sulit dapat garam. Harus ambil dari Makassar,” terang dia.
Memang, tidak jauh dari tempat tambat perahu nelayan, kios-kios dagang warga dan juga tambak garam, sebuah daratan baru telah tercipta. Teluk Palu direklamasi. Di jalur masuk area reklamasi, sebuah perahu nampak tergeletak tepat di samping eskavator. Sementara itu, truk-truk pengangkut material lalu-lalang. Pasir-pasir berjajar di area reklamasi. Bentuknya seperti gugusan gunung dengan tinggi sekitar 1 meter. Eskavator terlihat sibuk merapikan material yang ditumpahkan dari truk-truk tadi. Di sana, ada juga sejumlah pekerja yang sedang duduk bercerita di sebuah pondok.
Ketika Mongabay mendatangi lokasi aktivitas reklamasi, tidak seorangpun dari pekerja yang bersedia memberi keterangan. Salah seorang di antara mereka mengatakan, sebaiknya langsung bertemu public relations. Sayangnya, saat itu yang bersangkutan sedang tidak berada di lokasi.
Proses Cacat Hukum
Reklamasi di teluk Palu dimulai pada Kamis, 9 Januari 2014. Belakangan diketahui, areal reklamasi adalah seluas 38,33 hektar, dengan PT. Yauri Properti Investama (Yauri) sebagai pihak yang menggarap proyek ini.
Penerbitan izin reklamasi teluk Palu sejak awalnya mendapat penolakan keras. Sebab, izin reklamasi yang diterbitkan pemerintah kota Palu dinilai cacat hukum. Kelompok penolak kemudian membentuk Koalisi Penyelamatan Teluk Palu. Mereka di antaranya, Serikat Nelayan Teluk Palu, Walhi Sulteng, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulteng, Himpunan Pemuda Al-Khairat, FPI Sulteng, JATAM Sulteng, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng, PBHR (Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat) Sulteng dan juga KIARA.
Malahan, pada 31 Oktober 2014, Ombudsman Perwakilan Sulteng sempat melayangkan surat ke Walikota Palu, perihal saran pelaksanaan reklamasi pantai Teluk Palu. Menurut Ombudsman, telah ditemukan adanya mal-administrasi dalam pelaksanaan reklamasi Teluk Palu.
Antara lain, sesuai Keputusan Walikota Palu No.650/2288/DPRP/2012 tanggal 10 Desember 2012 tentang penetapan lokasi pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, pada poin ketiga huruf c, yang dinilai bertentangan dengan izin pelaksanaan reklamasi No.520/3827/Disperhutla yang diterbitkan 23 Desember 2013 tentang rencana peruntukan lokasi sebagai kawasan Central Business Equator Commerce Point.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Ombudsman Sulteng menyarankan Walikota Palu agar menghentikan proses pelaksanaan reklamasi pantai Teluk Palu guna menghindari masalah hukum dan lingkungan. Serta, menelaah seluruh dokumen reklamasi dan menyesuaikannya dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak Ada Itikad Baik
Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng, tidak begitu yakin reklamasi nantinya akan dapat memfasilitasi masyarakat pesisir dan nelayan tradisional. Ia menilai, pemerintah kota bisa dipercaya sepanjang menunjukkan hal baik. Dalam reklamasi teluk Palu, itikhad baik itu tidak disaksikannya.
Dia menambahkan, di sekitar teluk Palu ada nelayan, petambak garam dan pedagang yang bisa kehilangan basis produksinya. Artinya, ketika ada lapangan pekerjaan baru yang dibuat, pemerintah harus juga menghitung jumlah orang yang kehilangan pekerjaannya.
“Kondisi ekonomi masyarakat di kota Palu semakin membaik kalau misalnya pemerintah, baik kota maupun provinsi, mengintervensi lebih kuat kelompok masyarakat yang sejauh ini kehidupannya bergantung pada sumberdaya laut. Misalnya, intervensi tambak garam, model pengelolaan garam dan infrastrukturnya diperbaiki.”
“Sementara, pembukaan lapangan pekerjaan hasil reklamasi itu lebih dominan soal bisnis. Lalu dampak ekologis, sosial, kultur dan sebagainya tidak dihitung sama sekali,” tegas Ahmad, pada Selasa (02/02/2016).
Muhammad Nasrum, staf pengajar jurusan Antropologi Universitas Tadulako memperkirakan, reklamasi di teluk Palu akan membatasi pemanfaatan ruang terbuka bagi masyarakat. Hal itu disebabkan, proyek pembangunan di teluk Palu nantinya memiliki target konsumen yang jelas dan spesifik. “Kita bisa tahu, siapa saja yang nantinya bisa mengakses rumah sakit internasional, hotel dan pusat perbelanjaan.”
Lewat penilaian tersebut, Nasrum juga tidak yakin pembangunan itu akan mendatangkan keuntungan bagi investor. Ia menghimbau, sebaiknya pemerintah kota Palu mendorong produktifitas dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam bidang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. “Kita harus dorong agar reklamasi di teluk Palu tidak terealisasi,” tegas Nasrum, yang juga merupakan Dewan Pakar Celebes Institut, Kamis (04/02/2016).
Peningkatan PAD
Menanggapi kritikan tersebut, Akram, Kabag Humas Pemkot Palu menyatakan, berbagai pihak seharusnya berkaca dari progam pembangunan di tempat lain. “Kalau kita lihat Makassar saja reklamasi, Balikpapan saja reklamasi. Kita lihat negara-negara lain, Saudi saja reklamasi. Kenapa sih ketika di kota Palu dilaksanakan reklamasi dijadikan permasalahan. Pertanyaannya ada apa,” tanya Akram saat ditemui Mongabay di ruangannya, Selasa (09/02/2016).
Pemerintah kota Palu menilai, proyek reklamasi ini akan berkontribusi positif bagi masyarakat karena dapat meningkatkan PAD. “Karena setiap fasilitas yang dibangun untuk kepentingan umum, PAD-nya akan naik,” ujarnya.
Ia menegaskan, proyek tersebut tetap harus memperhatikan keterlibatan masyarakat dalam mengakses hasil-hasil pembangunan. Areal untuk masyarakat harus tetap dibuka. “Jangan setelah reklamasi masyarakat susah masuk ke dalam.”