Pemerintah melalui Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli, bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sepakat mengeluarkan kebijakan moratorium reklamasi Teluk Jakarta. Kenyataan di lapangan, hingga reklamasi terus berjalan.
Riza Damanik Direktur Eksekutif Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/5/16) merasa prihatin terhadap moratorium reklamasi yang tak jelas.
“Kita melihat, jangankan mencabut izin atas berbagai prlanggaran, upaya menghentikan kegiatan juga tak terlihat,” katanya. Dia menilai, penegakan hukum bagi pelanggaran juga tak dilakukan.
Audit kepatuhan pengembang
Dia berharap Gubernur Jakarta segera audit kepatuhan terhadap perusahaan-perusahaan yang mendapatkan konsesi reklamasi Teluk Jakarta tanpa pandang bulu.
“Audit kepatuhan referensi jelas. KLHK jelas menggambarkan berbagai pelanggaran-pelanggaran. Ini bisa jadi rujukan check and recheck oleh Gubernur Jakarta. Hasil audit kepatuhan dapat untuk mengevaluasi seluruh proyek termasuk bila perlu penyegelan, sampai pencabutan izin,” katanya.
Desakan lain, Presiden segera mengeluarkan Inpres tentang moratorium reklamasi di seluruh Indonesia. Di dalam Inpres, katanya, ada tiga kepentingan. Pertama, Presiden instruksikan penghentian reklamasi seluruh Indonesia. Penghentian ini diharapkan memperjelas atau mencegah perluasan kerusakan lingkungan maupun penggusuran masyarakat pesisir. Kedua, memperjelas status hukum pelanggaran-pelanggaran dan sanksi terhadap pelaku usaha ataupun pemerintah daerah dan aparatur negara lain yang melanggar.
Ketiga, untuk mendudukkan strategi poros maritim membangun kota-kota pantai di Indonesia. Dimana, nelayan di wilayah pesisir bisa bermusyawarah, gotong-royong, menyiapkan strategi pembangunan di wilayah mereka. Juga pembangunan lebih adil, beradab, berbasis kearifan lokal.
Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Institut Hijau Indonesia mengatakan, dengan reklamasi masih berlangsung menunjukkan negara tak berdaya terhadap korporasi. Presiden, katanya, harus tegas memerintahkan Mendagri berikan teguran keras kepada Gubernur Jakarta supaya moratorium reklamasi dipatuhi.
Dia juga meminta pemerintah pusat segera meningkatkan status bukan hanya moratorium tetapi penegakan hukum terhadap kerusakan lingkungan dan pelanggaran.
Pengacara publik LBH Jakarta Tigor Hutapea mengatakan, moratorium langkah awal baik dalam menangani permasalahan reklamasi tetapi ada catatan-catatan khusus. Dia melihat, dalam moratorium ini tak melibatkan warga dan kurang terbuka.”Kita tak tahu bagaimana, siapa tim, apa langkah-langkah tim?”
Dia merasa tak ada guna moratorium kala pembangunan pulau masih berjalan. “Ini jadi pertanyaan bagaimana daya kekuatan moratorium. Jangan sampai hanya alat menghentikan gerakan nelayan penolak reklamasi,” katanya.
Ketua KNTI Jakarta Muhammad Tahir mengatakan, reklamasi sama sekali bukan untuk nelayan. Nelayan kesulitan akses. Reklamasi, katanya, membuat penderitaan nelayan. “Wilayah tangkap ikan diurug. Kualitas air makin pekat, arus makin berkurang. Lingkungan rusak. Sebagian hutan mangrove untuk pembangunan mal. Memang reklamasi menghalalkan segala cara.”
Solusi salah
Mengenai keputusan pemerintah pusat akan mengintegrasikan reklamasi dengan Giant Sea Wall (GSW), Tigor menilai, sebagai solusi salah, tak memperhatikan lingkungan Jakarta. Ia akan menghabiskan Rp500 triliun.
Padahal, ada solusi murah dan berperspektif lingkungan dalam menanggulangi banjir di Jakarta, seperti pembenahan sungai-sungai dan hulu Jakarta.
Riza juga menyayangkan Presiden, tak menerima informasi lengkap terkait proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau GSW.
Tanggul raksasa ini, katanya, setidaknya membutuhkan 300 juta metrik ton pasir, 17 pulau reklamasi 500 juta metrik ton. Jika digabungkan, lebih 800 juta metrik ton pasir dikeruk buat mengamankan kedua proyek ini.
“GSW solusi tak sejalan dengan substansi yang diharapkan yakni tak banjir lagi Jakarta.”
Hasil studi, katanya, menyebutkan banjir dan penggenangan di Jakarta lebih karena penurunan muka tanah. Ia berpotensi menggenangi sekitar 32.000 hektar lahan pada 2100 jika dibiarkan terus. Sedang akibat kebaikan muka air laut, mendapati genangan lahan sekitar 1.000 hektar.
Dua menyebutkan dua skenario bisa dilakukan pemerintah mengatasi masalah lingkungan Jakarta daripada bikin GSW. Pertama, kurangi beban bangunan-bangunan di Jakarta. Kedua, hentikan atau kurangi pengambilan air tanah yang makin tak terkendali.
“Pemerintah tak boleh lagi berpura-pura seolah-olah situasi baik-baik saja. Kerusakan lingkungan terus terjadi, pemiskinan masyarakat nelayan, akses terhadap laut makin jauh. Itu realitas yang terjadi.”
Reklamasi 17 pulau hanya satu bagian dari rencana besar bernama Garuda Project. Dalam rancangan itu, lebih satu juta keluarga bermukim di pulau-pulau reklamasi. Ada juga GSW.
Chalid mengatakan, kalau itu terjadi, urbanisasi akan makin banyak ke Jakarta. Pemakaian air tanah makin besar, penurunan permukaan tanah smakin cepat. baniir makin luas.
Garuda Project sedang dalam kajian Bappenas selama enam bulan ke depan. Bappenas, katanya, harus membuka debat publik melibatkan banyak pihak yang konsen lingkungan hidup Jakarta. “Agar seluruh masukan jadi bahan pertimbangan mengambil keputusan.”