,

Catatan HLH : Mengenaskan, Ratusan Gajah Sumatera Terbunuh Sejak Tahun 2012

PBB dalam Sidang Umum tahun 1972, telah menetapkan tanggal 5 Juni yang merupakan hari pertama Konferensi Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm, Belanda pada 1972, sebagai Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia

Tahun ini, HLH sedunia mengusung tema “Go Wild for Life-Zero Tolerance for the Illegal Wildlife Trade”. Tema tersebut tidak aneh, karena didasari tingginya angka perdagangan satwa dilindungi, yang mengakibatkan beberapa jenis satwa berstatus terancam punah.

Bercermin di Indonesia, contohnya gajah sumatera (Elephas maximus) sudah masuk dalam kategori Critically Endangered (CR-IUCN Redlist).

Jika kita membuat peringkat satwa yang nasibnya paling mengenaskan, mungkin gajah sumatera adalah satwaliar yang menduduki peringkat teratas. Salah satu mamalia terbesar di dunia, yang hanya dijumpai di Pulau Sumatera ini nasibnya benar-benar di ujung tanduk.

Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mencatat sedikitnya 150 ekor gajah terbunuh semenjak tahun 2012 hingga Februari 2016 ini. Data kematian gajah sebelum tahun 2012 diperkirakan jauh lebih besar.

Kondisi ini tak urung menyebabkan populasi gajah menurun drastis hingga 70% dalam kurun 20-30 tahun. Populasi gajah sumatera yang awalnya sekitar 4800-5000 ekor di tahun 1980-an, menurun menjadi sekitar 2800 ekor di tahun 1990-an, dan hanya tersisa sekitar 1970-an di tahun 2013. Hal ini, menurut Sunarto, menjadikan status keterancaman gajah sumatera dinaikkan dari yang tadinya Endangered menjadi Critically Endangered.

Menurut catatan yang dihimpun dalam Workshop Konservasi Gajah pada tahun 2014 dan beberapa catatan dari FKGI, tercatat 28 gajah terbunuh di tahun 2012, 33 ekor di tahun 2013, 46 ekor di tahun 2014, 40 ekor di tahun 2015 dan 3 ekor pada 2 bulan pertama tahun 2016. Sekian kasus kematian gajah tersebut terkonsentrasi di Aceh, Riau dan Lampung, yang justru merupakan habitat terpenting gajah sumatera.

Sunarto, peneliti gajah sumatera dari World Wildlife Fund (WWF), mengungkapkan bahwa semenjak tahun 2012 sampai tahun 2014, kasus kematian gajah seringkali juga dibarengi dengan hilangnya gading. Diduga sangat erat kaitannya antara kasus kematian gajah dengan perburuan untuk gading.

“Motifnya menurut saya adalah perburuan. Selama masih ada demand (terhadap gading gajah) dari masyarakat, entah itu untuk pipa atau hiasan, perburuan akan tetap terjadi,” ungkapnya.

Biasanya pembunuhan gajah menumpang dengan isu-isu konflik antara manusia dengan gajah untuk menutupi modus perburuan. Mereka biasanya menggunakan racun. Namun di beberapa tempat, seperti di Aceh dan Riau, mereka sudah mulai menggunakan senjata api rakitan.

Gading gajah yang disita dari pelaku di Riau beberapa waktu lalu. Foto: WWF
Gading gajah yang disita dari pelaku di Riau beberapa waktu lalu. Foto: WWF

Jaringan perburuan pun sudah sangat profesional dan rapih. Bergerak dengan sistem sel, mereka selalu merekrut orang lokal di lokasi-lokasi yang masih ada populasi gajah. Belum lagi jika ada berita tentang konflik, informasi ini bisa menjadi info gratis bagi para pemburu.

“Jaringan perburuan satwaliar bukan jaringan biasa. Mereka sangat terorganisir dan bahkan bisnis ini merupakan bisnis terbesar yang hampir setara dengan jaringan perdagangan senjata dan narkoba,” jelas Sunarto lebih lanjut.

Kehilangan Habitat

Sunarto mengungkapkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, banyak terjadi kepunahan lokal. Kantong-kantong populasi gajah yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatera bagian timur tidak mampu bertahan akibat deforestasi. Padahal kawasan timur Sumatera yang didominasi oleh kawasan hutan dataran rendah merupakan habitat ideal untuk gajah.

“Gajah merupakan satwa yang memiliki kebutuhan habitat yang sangat spesifik, yaitu lansekap yang cenderung datar.  Sayangnya, kawasan-kawasan yang ideal untuk gajah telah berubah menjadi perkebunan, HTI dan juga pertambangan,” jelasnya lebih lanjut.

Kawasan konservasi yang terdapat di Sumatera memang sebagian besar berupa perbukitan hingga pegunungan. Taman Nasional Kerinci Seblat yang luasnya lebih dari 1 juta hektar, hampir tidak ada populasi gajah yang hidup di dalamnya. Juga di Leuser, hampir seluruh populasi terkonsentrasi di luar kawasan konservasi yang berupa perkebunan dan area produksi lain.

Gajah sumatera juga disinyalir bukan merupakan satwa yang tinggal di kawasan hutan primer, dilihat dari struktur giginya. Contohnya di Afrika dan India, mereka lebih cenderung hidup di kawasan savana atau daerah yang relatif terbuka dengan kondisi pakan tertentu yang cukup seperti rumput dan akasia.

Bahkan di Provinsi Riau, menurut data WWF, lebih dari 70% habitat gajah berada di hutan tanaman industri dan perkebunan sawit, yang notabene monokultur. Seringkali keberadaan gajah ini menimbulkan konflik dengan perusahaan.

“Masalahnya memang tanaman yang ditanam orang di habitat gajah sangat sesuai dengan kesukaan gajah,” komentar doktor lulusan Virginia Tech ini.

PR Besar Melawan Kepunahan Gajah Sumatera

Menurut Sunarto, upaya-upaya yang bisa menghindarkan gajah sumatera dari kepunahan ada beberapa yang harus dilakukan secara komprehensif. Pertama dan mendesak adalah bagaimana mempertahankan gajah-gajah tetap bisa bertahan hidup di HTI maupun sawit.

Sudah saatnya perusahaan tersebut memegang peranan penting dalam peningkatan populasi gajah. Definisi kawasan lindung untuk konservasi gajah sudah saatnya diubah, karena faktanya populasi gajah justru kebanyakan di  wilayah produksi. Meskipun ada peningkatan paradigma perusahaan dalam pengelolaan konflik gajah, namun pengelolaan konflik saat ini masih jauh dari ramah terhadap gajah.

“Di Baleraja, hampir-hampir yang membangunkan gajah dari tidurnya adalah bunyi meriam. Saat ini perusahaan mulai mempekerjakan orang khusus untuk mengusir gajah. Bisa dibayangkan betapa stress-nya gajah-gajah tersebut,” ungkapnya.

Gajah sumatera ini ditemukan mati keracunan di kebun masyarakat di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, pertengahan Februari 2016. Foto: Junaidi Hanafiah
Gajah sumatera ini ditemukan mati keracunan di kebun masyarakat di Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, pertengahan Februari 2016. Foto: Junaidi Hanafiah

Berikutnya adalah meningkatkan upaya monitoring. Pihaknya sedang mengupayakan adanya monitoring intensif terhadap setiap populasi gajah yang tersisa, baik melalui penjagaan, optimalisasi teknologi maupun pelibatan aktif masyarakat lokal. Optimalisasi teknologi salah satunya adalah pemasangan GPS Collar yang sudah beberapa diterapkan untuk memantau pergerakan gajah.

Patroli pengamanan gajah dari perburuan juga mendesak untuk dilakukan. Pemetaan jaringan perburuan, modus operasinya dan informasi penting lainnya bisa didapatkan dari para pelaku yang sudah tertangkap. Para pelaku perburuan tersebut harus bisa dimanfaatkan untuk menguak informasi seluas-luasnya agar jaringan perburuan dan perdagangan bisa dibasmi. Upaya patroli dari pemerintah sudah sangat positif, namun masih banyak yang harus ditingkatkan.

“Dalam situasi kritis seperti ini, seharusnya tidak ada lagi gajah yang tidak termonitor. Selain itu, jangan sampai kita gagal menetapkan kawasan lindung bagi gajah,” tutupnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,