,

Peringati Hari Lingkungan Hidup, Aktivis dan Jurnalis Serukan Penyelamatan Lingkungan di Sulsel

Suasana Car Free Day di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu (5/6/2016) tak seperti biasanya. Puluhan orang tampak antrian menandatangani sebuah spanduk panjang yang digelar di jalan.

Tak jauh dari bentangan spanduk tersebut, beberapa orang secara bergantian berorasi, bicara tentang alam yang semakin terdegradasi, dampak dari eksploitasi yang berlebihan. Lalu ada aksi teatrikal tentang kekerasan yang terjadi terkait konflik sumber daya alam yang marak terjadi belakangan ini.

Mereka adalah aktivis dari Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar, mahasiswa, dan jurnalis yang tergabung dalam the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), yang meski tak direncanakan, menggelar aksi bersama pada peringatan Hari Lingkungan Hidup (HLH) se-dunia setiap 5 Juni.

Menurut Muhammad Al Amin, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye WALHI Sulsel, dalam sejarahnya, HLH ditetapkan dalam Sidang Umum PBB tahun 1972 untuk menandai pembukaan Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran global dan menggugah kepedulian masyarakat dunia untuk menyuarakan perlindungan terhadap bumi, pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan serta gaya hidup yang ramah lingkungan.

Dalam perkembanganya, degradasi lingkungan hidup akibat salah kelola dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran telah terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali di Sulsel.

“Selain berkontribusi secara langsung terhadap kualitas lingkungan hidup, banyaknya aktivitas eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan profit yang memicu konflik pengelolaan sumber daya alam terus mewarnai dinamika pembangunan di Sulsel,” ungkapnya.

Amin mencontohkan konflik agraria yang belum diselesaikan pemerintah. Ditambah lagi rencana aktivitas tambang, perluasan perkebunan skala besar hingga aktivitas reklamasi untuk kepentingan bisnis properti terus berlangsung.

“Kondisi tersebut semakin diperparah dengan semakin lemah dan hilangnya peran pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik,” lanjutnya.

Sementara peran negara menguat dalam memuluskan kepentingan investasi yang membuat rakyat kehilangan hak dan akses atas sumber kehidupan, rentan dengan risiko bencana ekologis, dan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Korban Kerusakan lingkungan

Menurut Amin, saat ini dari sekitar 4.5 juta hektar daratan di Sulsel, sekitar 2,1 juta hektar merupakan wilayah kawasan hutan. Selebihnya adalah wilayah perkotaan dan pemukiman, pertanian, perkebunan serta konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan skala besar dengan komoditas sawit dan tebu.

Dalam konteks keadilan, menurutnya, seharusnya masyarakat Sulsel bisa menikmati kesejahteraan dari pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki.

“Kenyatanya konsesi perkebunan dan pertambangan lebih cepat menguasai lahan dan merusak lingkungan hidup masyarakat dibanding produksi yang dihasilkan oleh masyarakat.”

Dalam beberapa dekade, wilayah pesisir Sulsel dinilai semakin rusak akibat eksploitasi dan perubahan fungsi lahan yang masif.

Peserta aksi dalam rangka memperingatai Hari Lingkungan Hidup 2016 memegang spanduk di acara Car Free Day di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu (5/6/2016) . WALHI Sulsel mencatat sejumlah kasus konflik SDA di Sulsel periode 2014-2016, berdampak pada 6.188 jiwa terdiri dari 1.007 nelayan dan 5.161 petani dan masyarakat adat. Foto : Wahyu Chandra
Peserta aksi dalam rangka memperingatai Hari Lingkungan Hidup 2016 memegang spanduk di acara Car Free Day di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu (5/6/2016) . WALHI Sulsel mencatat sejumlah kasus konflik SDA di Sulsel periode 2014-2016, berdampak pada 6.188 jiwa terdiri dari 1.007 nelayan dan 5.161 petani dan masyarakat adat. Foto : Wahyu Chandra

Di perkotaan, perluasan ruang dengan melakukan penimbunan ataupun reklamasi telah menjadi kecenderungan baru melalui jargon “water front city”,  yang merusak pesisir dan wilayah kelola nelayan.

“Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan harus menjual kapalnya dan menjadi pekerja informal.”

Menurut Amin, masyarakat Sulsel saat ini dominan tinggal dan mencari penghidupan di desa, dengan berprofesi sebagai petani maupun nelayan. Ini menandakan bahwa masyarakat Sulsel masih menggantungkan hidup di sawah, kebun, dan laut.

“Ini artinya, penghidupan mereka juga sangat ditentukan oleh baik-buruknya kualitas lingkungan hidupnya. Kalau lingkungan hidupnya baik, maka produksi masyarakat juga akan baik, yang artinya pula penghidupan mereka juga ikut baik.”

Begitu juga sebaliknya, beberapa daerah di Sulsel, kondisi lingkungan hidup mengalami kerusakan yang berakibat pada menurunnya sumber penghidupan masyarakat.

“Hal ini diakibatkan adanya industri ekstraktif maupun kegiatan pengerukan dan pengurugan yang dilalukan oleh perusahaan di sekitar wilayah kelola masyarakat.”

Menurut data WALHI Sulsel, sepanjang 2014-2016 sejumlah kasus pencemaran lingkungan hidup dan konflik, berdampak pada 6.188 jiwa terdiri dari 1.007 nelayan dan 5.161 petani dan masyarakat adat.

Beberapa kasus ini antara lain, kegiatan tambang pasir ilegal di Desa Mandalle, Kecamatan Bajeng Barat, Kabupaten Gowa dimana 1 orang meninggal, 24 petani terdampak. Kemudian, kasus tumpahan minyak PT Vale di laut, tepatnya di Desa Lampia, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur. “Akibat tumpahan minyak ini sekitar 97 nelayan tidak dapat melaut akibat tercemarnya wilayah tangkap mereka.”

Kasus lain, menurut Amin, adalah perampasan tanah di Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo oleh PTPN, dimana sekitar 3000 warga di Desa Awota, Awo, Paojepe, Lubawang, Ciromanie, Bellereng, Inrello dan Lalliseng kehilangan hak atas tanah mereka.

Amin juga menyinggung kasus eksplorasi PT Conch berupa aktivitas tambang batu gamping di Desa Sambueja dan Simbang, Kecamatan Simbang, Desa Toddolimae, Kecamatan Tompobulu di Kabupaten Maros, di mana 135 petani tercemar sumber airnya.

“Kasus lain adalah reklamasi pantai dan pembangunan CPI, Kelurahan Mariso, Lette, Panambungang, Tamalate di Kecamatan Mariso dan Kecamatan Tamalate, Kota Makassar dimana 964 nelayan kehilangan pekerjaannya, dan 43 KK nelayan digusur dari tempat tinggalnya.”

Proses reklamasi Pantai Makassar untuk area Centerpoint of Indonesia (CPI) atau COI masih terus berlangsung, meski belum mendapat izin dari KKP. Pemprov Sulsel menggandeng PT Ciputra Group bekerjasama dengan PT Yasmin. Dari 157 hektar pantai yang ditimbun, hanya 50 hektar yang akan dikelola oleh Pemprov Sulsel, selebihnya akan dikelola oleh swasta dengan mekanisme HGU. Foto: Wahyu Chandra
Proses reklamasi Pantai Makassar untuk area Centerpoint of Indonesia (CPI) atau COI masih terus berlangsung, meski belum mendapat izin dari KKP. Pemprov Sulsel menggandeng PT Ciputra Group bekerjasama dengan PT Yasmin. Dari 157 hektar pantai yang ditimbun, hanya 50 hektar yang akan dikelola oleh Pemprov Sulsel, selebihnya akan dikelola oleh swasta dengan mekanisme HGU. Foto: Wahyu Chandra

Lalu ada juga krisis air berupa tidak adanya akses air bersih bagi masyarakat pesisir, tepatnya Kelurahan Cambayya, Camba Berua, Buloa, Tallo, Bangkala, Kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Talllo, Kota Makassar, dengan 870 perempuan sulit mengakses air bersih.

“Selain itu kasus tambang batu gamping dan pembangunan pabrik semen PT Conch, Kelurahan Sepee, Kecamatan Barru Kabupaten Barru, dimana 28 warga telah menyatakan protes terhadap potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tambang tersebut.”

Kasus terakhir adalah pembangunan bendungan dan PLTA, di wilayah adat Seko di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, dengan 1027 masyarakat adat Seko telah menyatakan menolak keberadaan bendungan dan PLTA tersebut.

Dengan sejumlah kasus-kasus tersebut WALHI Sulsel kemudian mengajukan sejumlah tuntutan. Pertama, mendesak pemerintah Sulsel untuk melakukan moratorium pertambangan di kawasan karst. Kedua, mendesak pemerintah Sulsel untuk melakukan moratorium aktivitas reklamasi di pesisir sulawesi selatan.

“Tuntutan ketiga, kami mendesak pemerintah Sulsel dan Kota Makassar untuk memberikan akses air bersih kepada masyarakat, terutama kepada kaum perempuan. dan keempat adalah mendesak pemerintah Sulsel untuk melakukan penegakan hukum lingkungan terhadap pelaku perusakan lingkungan.”

Tuntunan terakhir, lanjut Amin, adalah mendesak pemerintah Sulsel agar menyelamatkan warga Sulsel dari kerusakan lingkungan.

 Aksi Jurnalis

Momen HLH juga digunakan oleh puluhan jurnalis, yang menyatakan sikap atas kondisi lingkungan di Sulsel dan mendeklarasikan terbentuknya the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Sulsel.

Menurut Darwin Fatir, Ketua Harian SIEJ simpul Sulsel, pembentukan organisasi ini adalah respons atas yang terjadi di Sulsel terkait dengan situasi lingkungan hidup dan konflik-konflik pengelolaan sumber daya alam yang masih sering terjadi.

“Banyak isu terkait lingkungan yang kerap luput dari pengamatan jurnalis, atau bahkan tidak sedikit yang sudah mencoba menuliskannya, namun terkendala kebijakan internal redaksi, bahkan intervensi eksternal pun kadang harus dihadapi,” ungkap Darwin.

Kondisi inilah yang menurutnya menjadi tantangan bagi jurnalis dan semua pihak terkait untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. “Kami hadir di sini bukan untuk menjadi musuh bagi yang berseberangan dengan misi penyelamatan lingkungan, namun untuk menjadi sahabat yang saling mengingatkan pentingnya menyelamatkan lingkungan,” tambah Darwin.

Menurut Suriani Mappong, Koordinator SIEJ Simpul Sulsel, degradasi lingkungan hidup yang ditandai dengan kerusakan hutan, tanah, air dan udara di seluruh daerah di Indonesia, termasuk Sulsel bukanlah suatu hal baru diketahui. Namun upaya penyelamatan lingkungan baik dengan lahirnya kebijakan dan implementasinya di lapangan, belum mampu mengejar kerusakan lingkungan yang terus terjadi.

“Sejumlah hasil penelitian tentang kerusakan lingkungan, pernyataan dan kecaman aktivis lingkungan di lapangan, belum menjadi senjata ampuh untuk menggugah kesadaran menjaga lingkungan,” tambah Suriani.

Menurut Suriani, eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan tertentu dan ketidakberdayaan melawan tekanan negara-negara adidaya, menjadi bagian yang menentukan penyelamatan lingkungan.

“Menelaah rentetan fenomena itu, maka jurnalis sebagai sebagai fungsi kontrol dan mediator antara masyarakat dan pemerintah selaku pengambil kebijakan berkewajiban mendukung dan menyelamatkan lingkungan melalui karya jurnalistiknya.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,