Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan viral enam pemuda yang mengunggah foto dengan bekantan mati. Belakangan diketahui, enam pemuda tersebut merupakan pekerja penggergajian kayu di belantara hutan Kalimantan Timur. Belum jelas, apakah sawmill tempat mereka bekerja itu legal atau tidak.
Tak lama berselang, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur berhasil menangkap keenam pemuda tersebut. Mereka adalah Adam, Apri, Ato, Inal, Intat, dan, Bayong. Mereka berasal dari Dusun Semantir, Desa Mekar Sekuntum, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Keenamnya dibekuk di Kutai Kartanegara, 14 Juni 2016, oleh SPORC Brigade Enggang dan BKSDA Kalimantan Timur, di sekitar camp tinggal mereka di Sektor Senoni, Desa Lebak Silong, Kecamatan Sebuluh, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Kepala BKSDA Kalimantan Timur, Sunandar, mengatakan, keberhasilan investigasi kasus pembunuhan bekantan tersebut atas kerja sama BKSDA Kalimantan Barat (Kalbar) dan Balai Penegakan Hukum KLHK Kalimantan, serta Kepolisian. Keenamnya mengaku memburu bekantan untuk dimakan. “Kami mengamankan barang bukti berupa senjata api, tulang-tulang juga ada potongan tangan, yang diduga tangan bekantan,” kata Sunandar. Terkait potongan tangan tersebut, akan dilakukan uji forensik.
“Dari barang bukti yang didapat, seharusnya keenamnya bisa ditahan dan dilakukan penegakan hukum. Namun, ada informasi mereka masih di bawah umur,” kata Sunandar lagi. Kasus ini, kata dia, ditangani oleh Balai Penegakan Hukum KLHK Kalimantan. Bekantan masuk dalam daftar satwa yang dilindungi, mengacu Undang-undang Nomor 05/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, diperkuat dengan PP No 07/1999.
Kasus perburuan
Di Kalimantan Barat, kasus perburuan akhir 2013 lalu ketika dua warga Pontianak menyantap orangutan, juga membuat heboh. Sempat ditahan, namun keduanya dibebaskan lantaran proses penangkapannya dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Pontianak. Pengadilan mengabulkan gugatan praperadilan Ignatius Mandor dan Hanapi, warga yang memakan daging orangutan tersebut. Hingga kini, tidak diketahui kelanjutan kasusnya.
Saat itu, anggota DPR RI, Karolin Margaret Natasa, mendukung upaya pembebasan dua warga pemakan daging orangutan tersebut. Karolin yang juga putri Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, menyatakan, kedua warga Pontianak tersebut tidak mengetahui jika menyantap orangutan bisa dijerat hukum. Ketidaktahuan masyarakat, menurutnya adalah kelalaian pemerintah dalam sosialisasi satwa dilindungi. “Jangan karena kelalaian pihak tertentu, rakyat menjadi korban,” katanya saat itu.
Melihat lebih jauh kasus perburuan satwa dilindungi, hingga kini masih ditemui di pedalaman Kalimantan. Mariamah Achmad, Manajer Kampanye Konservasi dan Pendidikan Lingkungan Yayasan Palung, menyatakan miris dengan kenyataan ini. “Ketika melakukan diskusi dengan masyarakat atau berkunjung ke sekolah saat Ekspedisi Pendidikan Lingkungan, kami sering mendapatkan fakta bahwa masyarakat dan anak-anak mengaku masih mengonsumsi daging orangutan,” katanya.
Dia mengambil contoh, saat berkunjung ke salah satu SMP di Nanga Tayap, Juni 2015. Saat ditanya, siapa yang pernah memakan daging orangutan sekitar 20 siswa mengacungkan tangan. Mariamah atau biasa disapa Mayi jelas terkejut. Terlebih ketika hal yang sama ditanyakan di SMP Sungai Laur. Belasan anak mengacungkan tangannya. Ada banyak cerita lainnya, kisah Mayi, misal pada saat diskusi masyarakat di kampung-kampung sekitar hutan, banyak testimoni yang menyebutkan mereka masih berburu satwa liar untuk dimakan.
Tak hanya itu, saat Yayasan Palung melakukan sosialisasi di SMP dan SMA di Kota Ketapang, Mayi mendapatkan jawaban yang sama. “Jadi sebenarnya bukan hanya terjadi di pedalaman Kalbar saja,” katanya.
Edward Tang, staf Yayasan Palung juga punya pengalaman survei untuk Wilmar dengan lembaga survei Diameter di Kabupaten Landak dan Sanggau. Dikatakan Edward, masyarakat melihat orangutan terakhir awal 1980. Populasinya saat itu masih besar, “Sekarang sudah habis karena diburu untuk dimakan.” Saat pemutaran film di Desa Betenung, Nanga Tayap, informasi yang diperoleh, hinga tahun lalu mereka masih memakan daging orangutan. “Setelah banyak sosialisasi. Mereka mulai meninggalkan orangutan, beralih ke jenis-jenis monyet,” kata Mayi.
Mayi mengatakan, Yayasan Palung melakukan edukasi tentang pentingnya orangutan dari aspek ekologi, pendidikan, dan ekonomi kepada masyarakat melalui pemutaran film, program radio dan diskusi. “Kita berupaya menciptakan generasi muda yang peduli hutan dan konservasi orangutan, dengan mendampingi kelompok relawan muda.”
Yayasan Palung juga mendorong aparat untuk penegakan hukum terhadap perburuan satwa liar dilindungi. “Kami memberikan data kejahatan terhadap satwa liar yang terjadi di masyarakat atau konsesi perusahaan kepada BKSDA, dan melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dengan program hutan desa dan kerajinan hasil hutan bukan kayu,” ungkapnya.