Beginilah SLUP, Bentuk Partisipasi Masyarakat Mengelola Wilayahnya

Yulius Sigi kini bisa bernafas lega. Kini ia dan warga Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, lainnya kini memiliki kepastian wilayah kelola. Batas-batas wilayah telah dipetakan dengan baik dan rinci sejak dilaksanakannya kegiatan Sustainable Land Use Planning (SLUP) di daerahnya 2015 silam.

“Sekarang malah lahan yang bisa dikelola bertambah karena sudah jelas batas-batas dan wilayah mana saja yang bisa dikelola oleh masyarakat,” ungkapnya dalam diskusi antara Pemda Luwu Utara dengan media atas fasilitasi Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), pada awal Juni, di Kantor Bupati Luwu Utara (Lutra).

SLUP merupakan salah satu metode perencanaan wilayah yang mengarusutamakan masyarakat adat atau lokal sebagai pelaku utama perencanaan. Metode yang dikembangkan JKPP ini bertujuan untuk mendukung dan memberi masukan kritis terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten atau kota melalui penjabaran kondisi dan bentuk pengelolaan wilayah yang telah ada dalam masyarakat.

Berbagai kegiatan dalam SLUP antara lain pemetaan partisipatif, membangun kesepakatan batas antara desa dan membangun model-model kelola ruang serta meminta masyarakat menunjukkan sistem kelola ruang yang sudah ada.

Senada dengan Yulis, Camat Rampi, Haenuddin, mengatakan SLUP bisa menjadi solusi konflik antar desa karena kejelasan batas antar desa dan merupakan keputusan bersama.

Keberhasilan pelaksanaan SLUP di Luwu Utara, mendapat perhatian Pemda Lutra yang kemudian direplikasi di Kecamatan Tana Lili dan Seko.

Replikasi SLUP

Bupati Lutra, Indah Putri Indriani, mengatakan berkomitmen dan mendukung program SLUP sejak diperkenalkannya tiga tahun lalu. “Memang tak ada MoU pada waktu itu, tapi memang dari awal kita sudah komitmen dengan program ini. Kita juga memberi ruang untuk sosialisasi,” katanya.

Indah menilai dokumen SLUP yang dihasilkan sangat berguna bagi desa dan kecamatan. Selama ini peta desa yang ada hanya dijadikan lampiran dari dokumen tata ruang, namun ia melihat peta keluaran SLUP jauh lebih lengkap dan benar-benar dibutuhkan karena berisi informasi ruang kelola masyarakat.

Indah berharap dokumen keluaran SLUP ini bisa disinkronkan dengan rencana tata ruang kabupaten dan berharap ada payung hukum berupa perda yang memudahkan direplikasikan di kecamatan lain di Lutra.

Dokumen SLUP juga membantu efektivitas pelaksanaan dana desa saat Pemdes menyusun rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).

“Selama ini Pemdes masih meraba-raba apa yang mau dilakukan padahal kalau sudah punya dokumen tata guna dan ruang yang dibuat sendiri akan membantu dalam pembangunan, bukan hanya secara fisik tapi juga perekonomian.”

Salah satu ciri dari pelaksanaan SLUP adalah pelaksanaan pemetaan partisipatif. Masyarakat dilatih melakukan pemetaan dengan menggunakan peralatan pemetaan seperti GPS dan peralatan gambar. Masyarakat dianggap lebih tahu wilayah-wilayah kelola mereka dengan batas-batasnya. Foto: Wahyu Chandra
Salah satu ciri dari pelaksanaan SLUP adalah pelaksanaan pemetaan partisipatif. Masyarakat dilatih melakukan pemetaan dengan menggunakan peralatan pemetaan seperti GPS dan peralatan gambar. Masyarakat dianggap lebih tahu wilayah-wilayah kelola mereka dengan batas-batasnya. Foto: Wahyu Chandra

Indah berharap hadirnya dokumen SLUP ini bisa menjadi motivasi bagi aparat Pemda bahwa ini adalah bagian dari tugas mereka. “Selama ini masih ada mindset bahwa ini proyek dari NGO dan Pemda hanya berperan dalam hal mediasi. Padahal ini fungsi pemerintahan, bagaimana membangun dari pinggiran dengan model jaring laba-laba. Bagaimana mereka bisa menguatkan desa kalau tidak tahu daerahnya sendiri?”

SLUP bisa jadi model demokratisasi, dimana desa bisa mengusulkan apa yang terbaik di wilayahnya sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal setempat. Dia berharap replikasi SLUP ke daerah lain  segera dilakukan, dan mendukung kebijakan nasional one map policy. “Ini bisa menjadi bahan informasi untuk pemerintah pusat dalam pelaksanaan kebijakan satu peta. Ini juga bisa menjadi dasar pertimbangan program.”

Indah berharap pelaksanaan program di desa harus selalu dikordinasikan dengan Pemda, karena banyak program, termasuk dari kementerian tanpa melibatkan Pemda.

Dia juga berharap Perda RTRW yang kini sedang dalam proses penetapan nantinya bisa menjadi dasar untuk mengambil kebijakan pemetaan, dan melahirkan regulasi lainnya terkait penataan tata ruang lahan.

“Ini biayanya tak besar tapi kita ingin ada tanggung jawab. Bisa gunakan dana desa dan kami akan support dengan APBD. Apalagi dana desa di Lutra ini cukup besar, antara Rp960 juta – Rp 1,4 miliar pertahun.”

Meski antusias,  Indah mengakui upaya replikasi program SLUP ke desa dan kecamatan lain tidak bisa dilakukan bersamaan, karena keterbatasan sumber daya manusia. “Kita siapkan dulu fasilitatornya. Kita nantinya akan gunakan tenaga penyuluh dan aparat pemerintah lainnya serta pendamping desa. Namun pelibatan pendamping desa tentunya harus hati-hati juga agar mereka tidak meninggalkan tupoksinya.”

Sinkronisasi Perspektif

Kepala Divisi Advokasi JKPP, Imam Hanafi mengatakan SLUP diperkenalkan sejak 2013 lalu di tiga daerah, yaitu Kecamatan Rampi, Kecamatan Timpa, Kabupaten Kapuas, Kalteng dan Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalbar.

Kecamatan Rampi barada diantara pegunungan dengan aksi darat yang sulit diakses dari Masamba, ibukota Kabupaten Lutu Utara, Sulsel. Butuh waktu 2 hari 1 malam untuk menempuh daerah ini melaljui jalur darat. Foto: SLPP Tokalekaju-JKPP
Kecamatan Rampi barada diantara pegunungan dengan aksi darat yang sulit diakses dari Masamba, ibukota Kabupaten Lutu Utara, Sulsel. Butuh waktu 2 hari 1 malam untuk menempuh daerah ini melaljui jalur darat. Foto: SLPP Tokalekaju-JKPP

SLUP sendiri bisa dipahami sebagai penatagunaan lahan berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat, dengan memperjelas status penguasaan ruang dan sistem kelola oleh masyarakat, melalui pendekatan kartu metrik dan peta.

“Ini terkait dengan penyediaan data, kemudian penyampaian dan penyamaan perspekstif tentang ruang antara masyarakat dan pemerintah daerah, serta bagaimana harapan masyarakat ke depan terkait ruang dan wilayah hidupnya.”

“Kenapa ini penting dikomunikasikan, karena sampai saat ini pola penataan ruang masih bersifat top down. Namun bukan sekedar tata cara menyusun penataan ruang yang bersifat dari atas ke bawah masalahnya, tapi lebih pada adanya ketidaksinkronan antara perencanaan dari pemerintah daerah dengan apa yang ada di masyarakat.”

Imam mencontohkan sejumlah kasus di lapangan, dimana sebuah kawasan kadang terjadi pertentangan dalam hal klaim masyarakat dengan pemerintah.

“Setelah kita analisa overlay memang kadang ada pertentangan, misalnya daerah yang diklaim oleh masyarakat sebagai wilaya produksi ternyata kemudian diklaim pemerintah sebagai kawasan lindung atau konservasi atau sebaliknya. Hal-hal seperti ini perlu dibangun komunikasi antara pemerintah dan masyarakat untuk menyamakan perspektif tentang cara pandang terhadap ruang dan fungsi ruang itu sendiri.”

Sedangkan Kordinator Simpul Layanan Pemetaan Paritsipatif (SLPP) Tokalekaju, Zainal Abidin, mengatakan pelaksanaan SLUP di Rampi merupakan kolaborasi bersama JKPP atau SLPP Tokalekaju, Pemda Lutra dan masyarakat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,