Tampaknya usia Segara Anakan di Cilacap, Jawa Tengah bakal lebih panjang. Sebab, laguna yang terancam hilang akibat sedimentasi ke areal payau tersebut bakal dikeruk. Menurut rencana, pengerukan untuk menyelamatkan Segara Anakan dimulai di Plawangan Barat yang merupakan perairan perbatasan antara Cilacap dengan Pangandaran, Jawa Barat. Sebab, Plawangan Barat merupakan wilayah ruaya ikan-ikan tertentu.k
Kepala Dinas Kelautan Perikanan dan Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan (DKP2SKSA) Cilacap Supriyanto mengungkapkan setelah bertahun-tahun tidak ada upaya, maka mulai tahun ini penyelamatan bakal dilakukan. “Tahun 2016 tengah dilakukan studi amdal dan pengerukan dimulai pada 2017 mendatang. Menurut rencana, volume lumpur yang dikeruk mencapai sekitar 2,5 juta meter kubik (m3). Pelaksananya adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy,” ujar Supriyanto pada Senin (25/7).
Kawasan yang bakal dikeruk sedimennya adalah di Plawangan Barat. Sebab, Plawangan Barat merupakan ruaya atau pintu masuk ikan dan udang dari Segara Anakan ke laut dan sebaliknya. Sedimentasi di areal setempat juga sudah cukup parah, karena sedimentasi sudah kelihatan apalagi kalau air surut. Bahkan, tidak jarang perahu kandas di lokasi setempat. “Tahun ini, studi amdal serta pemasangan berbagai macam peralatan untuk pengerukan. Pelaksanaannya pada 2017, dengan mengeruk sekitar 2,5 juta m3,” katanya.
Ia mengungkapkan laguna Segara Anakan sebetulnya hanya tinggal menunggu hilang, jika tidak ada upaya penyelamatan yang serius. Pasalnya, setiap tahunnya tercatat ada sekitar 1 juta m3 lumpur yang masuk laguna pemisah antara daratan Cilacap dengan Pulau Nusakambangan itu. Sedimentasi tersebut berasal dari dua sungai besar yang bermuara Segara Anakan yakni Sungai Citanduy dan Cimeneng.
Data dari DKP2SKSA Cilacap menyebutkan tahun 1903 silam, luasan Segara Anakan masih luas, mencapai 6.450 hektare (ha). Tahun 1984 lalu, luasannya merosot tajam dan hanya tercatat 2.906 ha. Kemudian pada tahun 2000 lalu, mencapai 1.200 ha. Saat ini kisarannya hanya 800 ha. “Luasan secara pasti, saat sekarang juga tengah dipetakan. Hanya saja yang pasti, Segara Anakan kian menyempit, karena lumpur yang masuk semakin banyak,” jelas Supriyanto.
Supriyanto mengatakan keberadaan laguna Segara Anakan sangat penting. Karena laguna merupakan kawasan asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosistem mengrove, juga tempat mencari makan (feeding ground). Kawasan mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar serasah dari daun dan dahan pohon mangrove sebagai makanan bagi biota di wilayah tu. Kawasan mangrove itu juga sebagai tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Mangrove juga menjadi pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya.
Ia menambahkan kalau Segara Anakan kian meluas dan hutan mengrove semakin baik, maka ada dampak positif bagi populasi ikan. Ujungnya adalah hasil tangkapan ikan dapat mengalami peningkatan.
Laboratorium Mangrove
Pada bagian lain, Supriyanto juga mengatakan kalau penyelamatan Segara Anakan dari sedimentasi juga harus diikuti dengan pemulihan hutan mangrove. “Antara Segara Anakan dengan hutan mangrove tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling tali temali, sehingga ketika bicara penyelamatan Segara Anakan, maka tidak dapat dilepaskan dari menyelamatkan hutan mangrove,” katanya.
Salah satu upaya yang terus menerus dilakukan adalah melakukan penanaman di kawasan hutan bakau yang rusak atau telah hilang. “Bahkan, saat sekarang telah ada arboretum yakni semacam kebun botani yang mengkoleksi pepohonan. Arboretum tersebut diinisiasi oleh dinas dan dibantu masyarakat khususnya warga Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kampung Laut,”ujarnya.
Pengelola Arboretum di Lempong Pucung, Ujung Alang, Heri Wahyono, mengatakan kalau dirinya bersama kelompok Krida Wana Lestari mengungkapkan pada awalnya arboretum atau laboratorium mangrove tersebut merupakan kolaborasi dari pemkab, swasta dan kelompok. “
Saat sekarang sudah ada 35 jenis mangrove yang ada di kawasan arboretum tersebut. Area setempat juga digunakan untuk lahan pembenihan mangrove yang dikelola oleh kelompok. Jadi setiap harinya ada aktivitas kelompok, untuk terus menghijaukan mangrove. Dan sampai sekarang telah hijau seluas 160 ha,” ujarnya.
Anggota kelompok, juga mendapatkan penghasilan dari mengembangkan bibit mangrove. Sebab, bibit bakau tidak hanya untuk menghijaukan wilayah Kampung Laut saja, melainkan ke daerah lainnya. “Kami sering mendapat pesanan bibit mangrove ke luar daerah. Tahun 2015 lalu ada pesanan sebanyak 250 ribu bibit, sedangkan dari awal tahun hingga sekarang mencapai 200 ribu bibit. Lumayan untuk penghasilan para anggota kelompok,” katanya.
Di lokasi setempat, kini juga telah dibuat jalanan kayu yang membelah rimbunnya arboretum. Menurut Wahyono, pengunjung bisa menikmati sejuknya mangrove yang melihat burung-burung beterbangan di antaranya pepohonan bakau yang telah menghijau. “Kami masih belum menarik tiket masuk wisata mangrove di sini. Biarlah mereka menikmati dengan gratis terlebih dahulu. Yang penting dapat menumbuhkan kecintaan mereka terhadap mangrove,”ujarnya.
Yang tak kalah penting, lanjutnya, adalah mengadakan operasi pembabatan hutan mangrove. “Sebelumnya kami mendapat bantuan kapal untuk melakukan operasi rutin guna mengurangi penebangan liar hutan mangrove. Kami memang tidak memiliki kewenangan untuk menangkap, namun sudah menjadi kewajiban kami untuk menegur dan memberikan pengertian kepada mereka akan arti pentingnya hutan mangrove”.
“Berkali-kali kami memergoki dan mereka cukup memahami mengapa kami melarang. Kami juga meminta kepada aparat terkait untuk terus melakukan pemantauan dan pengawasan, karena masih banyak oknum yang melakukan penebangan,” tandasnya.(***)