Sungai Tallo Tercemar, Petambak Udang di Pulau Lakkang Beradaptasi

Abdul Haris (45) berjalan cepat di depan menyusuri pematang tambak. Ia mengajak mengunjungi tambak udang dan ikan miliknya yang berjarak seratusan meter dari rumahnya.

Tak butuh waktu lama hingga akhirnya kami tiba di lokasi yang dituju. Di sekitar tambaknya seluas 1 hektar lebih berdiri sebuah pondok sederhana yang telah agak lapuk. Haris meminta kami menunggu sementara ia ke tengah tambak menggunakan rakit yang terbuat dari styrofoam persegi berukuran 1×3 meter.

Sekitar 10 menit kemudian Haris datang kembali dengan jaring yang berisi belasan ikan bandeng seukuran empat jari tangan orang dewasa. Dengan rasa puas ia menyatakan ikan-ikan itu akan menjadi makan siang kami hari itu. Benar saja, tak berapa lama kemudian istrinya datang membawa peralatan pembakaran ikan dan bumbu-bumbu dapur.

Tambak Haris kini menjelang masa panen. Tambak itu sebenanya diperuntukkan untuk udang, namun Haris sengaja menaruh ratusan benih ikan bandeng. Tak seperti udang, Haris membudidayakan ikan bandeng sekedar untuk konsumsi pribadi.

“Jumlah ikan bandeng tak banyak, karena hanya untuk konsumsi sendiri atau untuk kerabat dan teman-teman. Mereka sering datang untuk bakar-bakar ikan,” ungkap Haris ketika Mongabay berkunjung ke tambaknya yang berada di Pulau Lakkang, Kelurahan Lakkang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada pertengahan Juli 2016.

Pulau Lakkang adalah sebuah pulau kecil yang unik di Kota Makassar, yang dikelilingi oleh aliran Sungai Tallo. Dikatakan unik, karena Lakkang merupakan pulau kecil di tengah kota,sehingga kadang juga disebut sebagai desa di tengah kota.

Haris, yang merupakan Ketua Kelompok Bonto Perak I, salah satu kelompok budidaya udang di Pulau Lakkang mengajak saya mengunjungi tambaknya untuk menunjukkan bagaimana pengelolaan tambak dan masalah pencemaran sungai yang mereka hadapi.

“Masalah terbesar kami di pulau ini adalah air sungai yang tercemar. Seringkali air sungai berwarna hitam dan berbau. Bisa dua atau tiga kali dalam setahun.”

Menurutnya, ada tiga sumber pencemaran ini, yaitu buangan limbah dari pabrik gula Makassar Te’ne, limbah rumah tangga dan limbah solar hasil buangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun yang paling parah adalah limbah dari pabrik gula PT Makassar Te’ne.

Karena beragam cara telah ditempuh untuk memprotes buangan limbah tersebut tidak digubris perusahaan dan pemerintah, maka warga hanya bisa pasrah dan beradaptasi dengan kondisi yang ada.

“Kita hanya bisa menyesuaikan dengan kondisi saja. Kalau kondisi sungai mulai terlihat ada indikasi tercemari maka kami langsung tutup pintu air. Kadang malah sudah terlanjur masuk ke tambak dan membuat semua isi tambak mati,” tambahnya.

Haris kemudian menunjukkan pintu air yang dia maksud, yang langsung terhubung dengan aliran Sungai Tallo. Pintu air itu digunakan bersama dengan petambak lainnya, yang airnya dikontrol setiap hari.

Terkait limbah rumah tangga, dampak pencemaran biasanya sangat terasa di saat hujan deras, karena limbah-limbah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai melalui saluran-saluran pembuangan mengalir ke arah laut setelah sebelumnya melewati kawasan Pulau Lakkang.

Pintu air yang menghubungkan sungai Tallo dan tambak. Meski kondisi sungai tercemari, para petambak di Pulau Lakkang masih bisa panen dengan cara mensiasati aliran air yang masuk ke tambak. Ketika air sungai berwarna hitam dan bau segera dilakukan penutupan pintu air. Foto: Wahyu Chandra
Pintu air yang menghubungkan sungai Tallo dan tambak. Meski kondisi sungai tercemari, para petambak di Pulau Lakkang masih bisa panen dengan cara mensiasati aliran air yang masuk ke tambak. Ketika air sungai berwarna hitam dan bau segera dilakukan penutupan pintu air. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Haris, sebelum adanya pencemaran tersebut, Sungai Tallo ini kaya dengan ikan-ikan dan kepiting, yang biasanya bergerombol di sekitar kawasan mangrove. Sebagian besar warga pun dulunya merupakan nelayan tangkap.

“Sejak tiga tahun lalu, mulai jarang yang tangkap ikan karena sebagian besar ikannya mati. Kepiting rajungan yang biasanya banyak di sela-sela mangrove kini bahkan tak ada lagi. Padahal dulu itu adalah salah satu sumber mata pencaharian warga sekitar sini.Dulu bahkan banyak ikan baronang dan cakalang, sekarang tak ada lagi.”

Ruslan (40), Ketua Kelompok Harapan Jaya 2 Lakkang, juga tenyata memiliki keluhan yang sama. Menurutnya, pencemaran yang terjadi Sungai Tallo sudah sangat parah dan tidak ada solusi penyelesaian selain menutup pintu air ketika tingkat pencemaran air meningkat.

“Buangan limbah dari perusahaan biasanya tak langsung kelihatan, baru muncul seminggu kemudian. Paling parah kalau habis hujan deras, karena limbah di dasar sungai terangkat ke atas. Jangankan ikan, biawak saja yang biasanya lebih tahan pencemaran akan mati kalau sungainya mulai menghitam.”

Menurutnya, selama ini warga sudah pernah mengeluhkan hal ini ke pihak pemerintah dan bahkan ke pihak perusahaan, namun upaya ini selalu kandas tanpa ada penyelesaian yang berarti.

“Kita sudah sering lapor dan bahkan demo perusahaannya, tapi tetap tak ada solusi. Ini susah dilawan karena ada orang-orang besar yang mendukung perusahaan.”

Menurut Yusran Nurdin Massa, Direktur Yayasan Hutan Biru, pencemaran Sungai Tallo tersebut harus segera ditangani secara serius karena bisa berdampak pada ekosistem mangrove yang ada di sana.

“Meski dampak ini tidak akan segera kelihatan karena mangrove memiliki daya tahan yang tinggi, namun nantinya tetap akan dirasakan. Untuk mengetahui secara pasti dampak ini memang harus dilakukan penelitian mendalam. Bisa juga dilihat secara fisik dari dedaunan yang terlihat kekuningan.”

Memutus Rantai Tengkulak

Warga Pulau Lakkang sendiri kini fokus pada tambak udang dan bandeng dengan mengandalkan sumber air sungai yang terbatas waktu pemakaiannya. Dalam setahun mereka biasanya panen dua kali, yang tak sering berhasil.

Potensi keuntungan dari tambak udang sebenarnya cukup menjanjikan, apalagi waktu panen yang hanya tiga bulan. Setiap panen mereka bisa mendapatkan 100-150 kg udang, yang dijual dengan harga Rp75 ribu per kg, yang jika ditotalkan berkisar antara Rp7,5 juta – Rp11,25 juta.

Pematang tambak di Lakkang, Makassar, Sulsel, sering kali longsor akibat luapan air sungai Tallo di waktu tertentu, sehingga memerlukan perawatan dan perbaikan khusus, yang bisa menghabiskan biaya hingga jutaan rupiah. Foto: Wahyu Chandra.
Pematang tambak di Lakkang, Makassar, Sulsel, sering kali longsor akibat luapan air sungai Tallo di waktu tertentu, sehingga memerlukan perawatan dan perbaikan khusus, yang bisa menghabiskan biaya hingga jutaan rupiah. Foto: Wahyu Chandra.

Sementara untuk budidaya ikan bandeng dijual berdasarkan ukuran. Untuk bandeng seukuran empat jari tangan orang dewasa dijual dengan harga Rp7500. Dalam sehektar, sekali panen bisa mencapai 1.000 ekor.

“Hanya saja, banyak yang lebih memilih budidaya udang dibanding bandeng karena waktu panen bandeng yang lama, bisa sampai setahun. Sementara untuk udang hanya butuh waktu tiga bulan saja.”

Di masa lalu, menurut Ruslan, salah satu faktor penyebab petambak sulit berkembang karena faktor modal usaha, sehingga banyak yang terlilit utang di tengkulak atau punggawa. Utang yang sulit terlunasi membuat mereka sulit mendapatkan harga jual yang bagus karena semuanya mengikuti harga dari punggawa.

Untungnya sejumlah program bantuan pemerintah mampu memutus rantai ketergantungan ini. Salah satu program yang paling dirasakan manfaatnya adalah program Coastal Community Development International Fund for Agricultural Development (CCD-IFAD) atau disebut Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (PMP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan kerjasama dengan IFAD, yang mulai masuk pada 2013 lalu.

“Setelah adanya bantuan kita tidak lagi utang benih ikan.Dulu bahkan ada petambak yang berutang hingga 2 tahun tak lunas-lunas.Namun sekarang perlahan utang-utang bisa dilunasi. Sebagian malah kami bisa tabung dan untuk membiayai sekolah anak-anak.”

Hilangnya ketergantungan pada punggawa juga membuat petambak bebas menjual hasil tambak mereka di mana saja dengan melihat pada tawaran tertinggi.

Selain modal, manfaat lain yang dirasakan dengan adanya program tersebut terkait pengetahuan budidaya dan pengelolaan keuangan.

“Kami juga diajari menabung. Dulu seluruh keuntungan langsung habis, kini sekitar 30 persen keuntungan ditabung untuk tambahan modal usaha dan biaya-biaya lain.”

Bantuan pemerintah ini juga digunakan untuk memperbaiki pematang tambak yang longsor karena hujan atau luapan sungai di waktu tertentu.

“Biaya memperbaiki pematang tambak ini cukup mahal, bisa sampai ratusan ribu bahkan jutaan untuk sehektar tambak. Belum lagi perbaikan pintu air yang jauh lebih mahal lagi, meski tak sering rusak.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,