“Foto mbak, foto mas,” teriak Kabul, kepada serombongan anak muda yang baru saja menikmati panorama kawah Sikidang di Dataran Tinggi Dieng.
Di tangan kiri, bertengger burung hantu berbulu putih. Mata hitam kelam. Paruh bengkok seperti elang namun kecil. Perawakan seperti burung hantu salju di film Harry Potter, Hedwig. Burung ini ada jambul di dekat mata.
Anak-anak muda itu cuma menoleh, lalu bersendau gurau lagi dengan teman-teman mereka.
Cuaca tak cukup cerah, Jumat, (12/8/16). Pagi hari di Dieng sempat turun hujan. Hawa dingin merasuk sampai tulang.
Wisata Sikidang relatif sepi. Terlihat tiga mobil pengunjung dan beberapa sepeda motor di area parkir.
Menuju Kawah Sikidang, sisi kiri jalan berjejer kios pedagang menjual cinderamata, keripik kentang, carica, makanan khas Dieng , dan bunga edelweis. Di sebelah kanan ada area foto-foto bersama burung hantu. Inilah atraksi baru di Sikidang, yang mengundang keprihatinan netizen di sosial media.
Respon netizen berawal dari postingan pemilik akun Raisa Ghifari pada Senin, (8/8/16).
Pada postingan itu, Raisa mengeluhkan, burung hantu jadi obyek foto-foto di siang hari. Dia juga melampirkan foto unduhan dari Google.
Sontak postingan itu mengundang reaksi beragam dari netizen. Umumnya menyayangkan atraksi itu. Hingga tulisan ini dibuat postingan itu telah dibagikan lebih 12.000 kali.
Selang tiga hari, atau 11 Agustus, dia mengabarkan jika ada respon dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. BKSDA mengeluarkan surat bertanggal 10 Agustus kepada pelaku peragaan burung hantu di sekitar Dieng.
Surat ditandatangani Kepala BKSDA Suharman. Intinya meminta para pelaku menghentikan peragaan burung hantu untuk foto-foto siang hari. Burung ini satwa nocturnal atau beraktivitas malam hari. BKSDA juga meminta mereka memperhatikan kesejahteraan satwa.
Saya meninggalkan pesan di kotak pesan berisi permintaan wawancara. Sampai tulisan dibuat Raisa belum ada respon.
* * *
“Burungnya tak terbang?” tanya saya kepada Sipur, rekan Kabul. Meski di kaki burung-burung hantu itu terdapat tali, tetapi tali itu dibiarkan lepas.
“Sudah jinak,” kata, Sipur, sembari membenahi sepeda motor cross mini.
Selain berfoto dengan burung hantu ada saja orang mau berfoto menunggang sepeda motor itu dengan latar belakang panorama kawah Sikidang.
“Burung hantu jenis apa? “
“Bobo,” kata Sipur.
Dari literatur, saya tahu maksudnya Bubo sumatranus.
Ada tiga burung hantu berusia enam bulan dibawa mereka atraksi hari itu. Kabul bercerita, semua ada lima, dua tak ikut “kerja,”istilah Kabul bagi yang libur.
Hanya dengan Rp5.000, sudah bisa berfoto dengan si burung malam ini. Foto: Nuswantoro
Dia sengaja mengistirahatkan dua burung karena Jumat, bukan hari ramai. Kabul dan Sipur satu-satunya kelompok yang mengusahakan atraksi foto dengan burung hantu hari itu.
Menurut Sipur, di Sikidang ada lima kelompok atraksi foto memakai burung hantu. Masing-masing kelompok beranggotakan empat hingga lima orang.
Selain burung hantu kelompok-kelompok itu juga menawarkan menunggang kuda, bersepeda motor cross, dan jasa cetak foto langsung jadi
Dia mengaku, burung-burung itu bukan menangkar sendiri, melainkan membeli dari internet.
“Saya beli, lewat online, dari komunitas penyayang burung hantu juga. Kalau tidak, sulit mendapatkannya.”
Saat sepi, dia bisa membawa pulang Rp200.000. Hasil itu, harus dibagi empat orang. Saat ramai, pendapatan bisa tiga atau lima kali lipat. Untuk biaya makan burung perhari menghabiskan sekitar Rp30.000.
Kabul dulu merogoh kocek Rp2,6 juta, untuk dua anak burung hantu, segenggaman tangan. Untuk makanan burung, dia membeli daging tikus, ayam, dan marmut. Dia memberi makan burung-burung ini malam hari. Kabul tahu burung ini burung malam.
“Tidak kasian sama burung disuruh kerja siang hari?” tanya saya.
“Kan tidak setiap hari. Ada waktu istirahat. Ini tidak sampai sore sudah pulang,” katanya.
“Burungnya pernah ngambek?” tanya saya.
“Ya, kalau lelah, tidak mau kerja, burung kadang terbang. Kalau sudah begitu ya…dilihat saja. Nanti menclok di mana. Setelah itu dihampiri terus ditangkap lagi,” katanya.
Menurut Kabul, atraksi foto bersama burung itu hanya kerja sambilan. Sehari-hari dia petani kentang di Dusun Karangsari.
“Kalau bertani saja tidak cukup. Ini untuk tambahan.”
Kepada Kabul, saya sampaikan surat BKSDA dan ramai kecaman foto dengan burung hantu di sosial media, dia berkilah melakukan itu tak semaunya. Dia sudah izin kepada pengelola wisata Sikidang.
“Saya sudah resmi. Sudah ada surat dari (pengelola) pariwisata, sudah ada izin. Izin ke pengelola wisata Sikidang,” katanya.
Saya pun menanyakan perihal izin itu ke Kepala UPT Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng di Banjarnegara, Ibnu Hasan. Lokasi wisata dataran tinggi Dieng terletak di dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara.
“Izin siapa? Mestinya ada surat pemberitahuan ke dinas (Pariwisata dan Kebudayaan). Ini tidak ada, dia bohong,” kata Ibnu, Senin, (15/8/16).
Dia menjelaskan, prosedur warga yang ingin menjalankan usaha di wisata Dieng.
Pertama, bentuk paguyuban dulu, misal, pedagang asongan. Paguyuban dibentuk melalui Pokdarwis, lalu disetujui Desa Dieng Kulon. “Lalu ajukan ke dinas.”
Ibnu bilang, kesulitan menghadapi warga yang ingin mengais rezeki di area wisata tetapi kadang menabrak aturan. Termasuk penggunaan burung hantu untuk foto-foto, yang akhirnya ramai di jejaring sosial.
“Ini kebetulan sekali, bisa menjadi alasan kami melarang mereka di sana,” katanya.
Sama seperti BKSDA Jateng, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banjarnegara juga membuat surat pelarangan kepada mereka. Surat pelarangan ditembuskan ke BKSDA Jateng, Bupati Banjarnegara, Perhutani Banyumas Timur, Polsek, Muspika, dan Kades.
“Kami sudah berkoordinasi dengan BKSDA, intinya boleh tetapi harus sesuai prosedur. Prosedurnya yang punya kewenangan itu BKSDA. Nanti setelah ada paguyuban mereka bisa mengirim surat ke sana,” kata Ibnu.
Surat pelarangan itu keluar setelah ada protes. Keluar 11 Agustus, ditandatangani kepada dinas Senin, (15/8/16) dan dikirim hari itu juga.
Endi Suryo, Petugas Lapangan Polisi Hutan BKSDA Wonosobo, mengatakan, burung hantu termasuk satwa liar, tetapi bukan satwa dilindungi. Untuk satwa tak dilindungi ada izin peragaan komersial dalam negeri, dari peraturan tata usaha peredaran tumbuhan dan satwa liar, berdasar SK Menteri Kehutanan.
“Agar ini tak terulang harus ada ketegasan Dinas Pariwisata. Kalau tidak boleh, ya jangan izinkan.”
Kalaupun mengizinkan, katanya, harus mengajukan ke BKSDA karena berkaitan dengan izin peragaan komersial. “Ada kegiatan menarik uang. Itu ada aturan. Kalau hanya memelihara tak apa-apa, nanti kami arahkan ke penangkaran. Kami ada izin penangkaran. Kalau betul-betul pecinta satwa pasti mereka memperhatikan animal welfare-nya,” ucap Endi.
Alif Fauzi, Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa, sepakat pelarangan itu. Dieng Pandawa adalah Pokdarwis pertama di Dieng, berdiri 2006. Keberadaannya diikuti puluhan Pokdarwis lain.
“Saya bersyukur ada yang mengangkat itu hingga menjadi hikmah bagi semua. Bukan cuma pelaku, juga kami agar hati-hati. Mau tak mau warga belajar, menjalankan usaha harus mengikuti aturan,” katanya, seraya bilang, tak ada anggotanya usaha burung hantu di Sikidang.
Menurut Alif, usaha memakai burung hantu marak beberapa bulan terakhir. Dia menduga, era selfie hingga jadi peluang, cuma berfoto dengan satwa bisa menjadi uang.
“Harus ada peran terutama yang mengerti fauna, untuk memberikan informasi atau peningkatan pengetahuan, bahwa tak semua hewan bisa dipelihara, dimanfaatkan untuk usaha.”
Jumlah wisatawan yang meningkat ke Dieng, menjadi berkah, sekaligus musibah.
“Ini catatan kita. Satu sisi bersyukur, jumlah naik luar biasa. Sisi lain banyak harus dibenahi, baik potensi, administrasi, infrastruktur, maupun personil,” katanya.
Wisatawan ke Dieng pada 2010, tak sampai 30.000 orang, pada 2015 mencapai 500.000 orang, belum termasuk wisawatan tak tercatat diperkirakan total 800.000-an orang.
Buntutnya, muncul masalah burung hantu karena ada kebutuhan atraksi wisata, tetapi pengetahuan wisatawan dan warga minim soal satwa. Personil tak seimbang dengan jumlah pengunjung. Penanganan sampah, katanya, juga jadi masalah.
“Sampah pengunjung luar biasa. Harus ada manajemen tepat dari pengelola, dan masyarakat. Siapa harus berbuat apa, harus jelas. Apalagi wisatawan lokal masih kurang kesadaran membuang sampah pada tempatnya.”
***
“Lihat kamera dong,” kata seorang pengunjung dengan burung hantu bertengger di pundak. Kepala burung itu berputar menghadap ke belakang, seolah-olah enggan berfoto.
Dengan sigap Kabul mendekat, lalu memutar kepala burung. Dia menyentuh dada burung dengan sedikit menyorongkan ke belakang hingga burung terlihat lebih gagah.
Untuk membuat burung-burung “sadar kamera” alias siap difoto dengan aksi terbaik, sering dia harus mengeluarkan bunyi-bunyian dengan jari atau melambai-lambaikan tangan.
Saya melihat Sipur, rekan Kabul, memakai ranting kayu sepanjang satu meter dengan ujung diberi plastik, diayun-ayunkan di depan burung. Dia mencoba menarik perhatian burung agar terjaga dengan mata terbuka.
Tampak serombongan keluarga, bergantian foto dengan burung hantunya. Setelah selesai, salah satu dari mereka mengulurkan uang Rp100.000, untuk sejumlah pemotretan kepada Kabul. Saat akan diberi kembalian, turis itu menolak. Padahal tarif hanya Rp5.000 untuk satu orang.
Bau belerang kawah Sikidang tercium, terbawa angin. Dingin dataran tinggi Dieng masih menyergap tengkuk.
“Foto mas…foto mbak…” Kabul dan Sipur, terus menawarkan foto-foto dengan burung hantunya…
Postingan Raisa di Facebook. Sumber: screenshot Facebook