Bapak Nol Sampah Tawarkan 10 Langkah Atasi Masalah Sampah

Paul Connett, profesor kimia lingkungan yang dikenal sebagai penggagas konsep nol sampah (zero waste), mengunjungi Indonesia pekan lalu. Dia bertemu pejabat tinggi, aktivis lingkungan, dan masyarakat untuk mengenalkan langkah-langkah penanganan sampah di Indonesia, termasuk Bali.

Selama di Bali, Paul Connett bertemu dengan Wali Kota Denpasar Ida Bagus Mantra, tim Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bali, dan para aktivis pengendalian sampah Bali. Paul juga berdiskusi dengan media terkait kunjungan maupun ide-idenya.

Dalam semua diskusi tersebut, Direktur American Environmental Health Studies Project (AEHSP) itu membawa satu pesan utama, Indonesia bisa mengatasi masalah sampah melalui sepuluh langkah, bukan dengan cara membakarnya seperti yang selama ini sudah lazim digunakan.

Metode tersebut, menurutnya, berdasarkan pengalamannya selama lebih dari 30 tahun bergelut dengan isu sampah.

Selain menjadikan sampah sebagai salah satu bidang kajiannya, mantan guru besar di St. Lawrence University, New York itu pun terlibat dalam gerakan dan advokasi menolak pembakaran sampah sebagai solusi pengelolaan sampah. Penolakan itu bermula ketika ada rencana pembangunan incinerator di dekat tempat tinggalnya di Amerika Serikat.

Dia menolak rencana pembangunan pabrik pembakaran sampah itu dengan beberapa alasan. Pertama, menurut Paul, incinerator membuat pengelolaan sampah tidak menjadi lingkaran ekonomi (circular economy) tapi linear economy. “Ada rantai yang terputus ketika pengelolaan sampah berakhir di pembakaran. Padahal, sampah bisa menjadi sumber ekonomi ketika dikelola dengan benar,” katanya.

Kedua, Paul melanjutkan, incinerator adalah sampah energi karena dia justru membuang lebih banyak energi. “Lebih banyak energi bisa diselamatkan melalui daur ulang daripada dengan pembakaran,” ujarnya.

Energi yang terbuang dengan pembakaran sampah itu, misalnya untuk membawa sampah ke tempat, konsumsi bahan bakar, hingga pembakaran itu sendiri. “Kalau didaur ulang, tidak ada energi yang terbuang percuma. Kita menghemat energi ketika membuat produk baru dari daur ulang,” katanya.

Karena itulah, Paul mengingatkan pemerintah lokal Indonesia untuk tidak membangun insenerator untuk menyelesaikan masalah sampah. “Daripada pemerintah menyubsidi pembangunan incinerator, lebih baik mendukung pengolahan daur ulang sampah,” Paul meyakinkan.

Contoh sampah plastik di Pantai Mertasari Bali. Foto : Anton Muhajir
Contoh sampah plastik di Pantai Mertasari Bali. Foto : Anton Muhajir

Alasan-alasan penolakan terhadap incinerator tersebut telah disampaikan Paul sejak 1985, mulai dari kawasan di tempat tinggalnya. Hingga saat ini, menurutnya, dia telah menggagalkan setidaknya 300 incinerator di seluruh dunia. Dia telah mengkampanyekan idenya ke lebih dari 63 negara, termasuk Indonesia.

Persoalan sampah, menurut alumni Universitas Cambridge tersebut, terkait erat dengan gaya hidup modern. Karena itu, mengatasi sampah tidak bisa hanya dengan teknologi yang lebih baik tapi juga perubahan gaya hidup.

 

Sepuluh Langkah

Paul menawarkan sepuluh langkah untuk mengatasi masalah tersebut berdasarkan hasil kajiannya. Namun, dia mengatakan, langkah tersebut juga disesuaikan dengan konteks lokal. Apa yang sudah berhasil diterapkan di Amerika Serikat dan Kanada, misalnya, belum tentu bisa diterapkan di Indonesia.

“Pengolahan sampah organik menjadi kompos, misalnya, sangat tepat dilakukan di Bali karena lebih dari 50 persen sampah di pulau ini adalah sampah organik,” ujarnya.

Langkah yang ditawarkan Paul untuk menuju nol sampah tersebut mulai dari skala rumah tangga hingga rantai terakhir di tempat pembuangan akhir. Lima langkah pertama, menurut Paul, lebih bersifat mengurangi jumlah sampah yaitu memilah mulai dari rumah tangga, mengumpulkan dari rumah ke rumah, membuat kompos, mendaur ulang, serta memperbaiki dan menggunakan ulang (reuse).

Reuse adalah gerakan ekonomi yang melingkar. Dalam ekonomi linier, perubahan bentuk sampah adalah dari bahan mentah, produksi, penggunaan, lalu menjadi sampah. Dalam ekonomi memutar, ada produksi berkelanjutan, penggunaan berkelanjutan, dan mendaur ulang sampah,” jelasnya.

Paul memberikan contoh bagaimana daur ulang sampah justru mendatangkan pendapatan baru bagi warga kota Los Angeles, Amerika Serikat. Menurut Paul, sampah yang bisa didaur ulang di kota tersebut mencapai 72.000 ton dari total 3,6 juta ton sampah per tahun. Namun, dari dua persen jumlah sampah tersebut, nilainya mencapai $39,6 juta per tahun.

Warga membakar sampah di tempat sampah untuk memudahkan pengelolaannya. Foto : Anton Muhajir
Warga membakar sampah di tempat sampah untuk memudahkan pengelolaannya. Foto : Anton Muhajir

Keberhasilan lima langkah pertama tersebut, lanjutnya, bisa mengurangi sampah sampai 80 persen. Hal ini berbeda dengan incinerator yang justru mengubah sampah menjadi racun dan asap.

Lima langkah selanjutnya, menurut Paul, lebih pada tahap pengurangan residu yaitu adanya insentif ekonomi dalam mendaur ulang sampah, inisiatif untuk mengurangi sampah, pemisahan fasilitas pengolahan sampah dan pusat riset nol sampah, serta desain produk yang lebih ramah lingkungan.

Dalam hal inisiatif mengurangi sampah, Paul memberikan contoh Pemerintah Irlandia yang memberikan pajak 15 sen pada tas belanja plastik. Dalam setahun, menurutnya, sampah plastik langsung berkurang hingga 92 persen. Dia juga memperlihatkan Kota Gottenburg di Swedia yang membuat taman daur ulang yang memamerkan bahan-bahan dari sampah.

Langkah-langkah pengurangan sampah tersebut juga berhasil di beberapa negara, seperti Italia dan Amerika Serikat. Di Italia, dia memberikan contoh, sudah ada lebih dari 1.000 komunitas telah membuat alih rupa sampah (diversion) hingga 70 persen. Komunitas lain bahkan mencapai 90 persen.

Di San Fransisco, kota dengan populasi penduduk sekitar 850.000 tempat sampahnya amat terbatas. Pada 2000, mereka mampu mengalih rupa sampah hingga 50 persen. Pada 2011 mencapai 80 persen.

“Dengan mendaur ulang sampah, warga mendapatkan manfaat ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memperoleh kesehatan yang lebih baik,” katanya.

“Penerapan langkah-langkah tersebut juga lebih relevan dan aman untuk Bali sebagai daerah pariwisata. Kalian punya surga tapi surga itu harus dilindungi. Jika tidak, maka tidak akan ada masa depan untuk anak-anak,” lanjutnya

Petugas bersih-bersih sampah di sungai-sungai di Denpasar, Bali. Foto: Anton Muhajir
Petugas bersih-bersih sampah di sungai-sungai di Denpasar, Bali. Foto: Anton Muhajir

Direkrut Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Catur Yudha Hariani sepakat dengan pendapat Paul. Menurut Catur, jumlah sampah di Bali saat ini sudah melebihi kapasitas. “Sampah kita sudah over load. Maka sebenarnya tindakan-tindakan yang harus dilakukan adalah memilah sampah mulai dari sumbernya itu sendiri,” kata Catur.

Sampah memang jadi salah satu masalah di Bali. Menurut Badan Lingkungan Hidup Bali, tiap hari sampah rata-rata 4.695 meter kubik. Data lain menyebut hingga 6.000 keter kubik.

Selama ini, PPLH Bali termasuk salah satu pihak yang aktif melakukan pendidikan pada warga untuk mengolah sampah menjadi kompos ataupun membuat produk-produk baru dari sampah. “Kalaupun masyarakat belum paham, memang harus dilakukan edukasi terus menerus kepada masyarakat,” katanya.

Menurut Catur sebagaimana juga dikatakan Paul, tantangan lain dalam pengelolaan sampah di Bali adalah pembuatan kebijakan politik dan penerapannya secara konsisten di tingkat lapangan.

“Sepuluh langkah di atas memang bukan untuk politis pemalas. Dia memerlukan kerja keras dan pendidikan terus menerus,” ujar Paul.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,