Ketika Jalan Layang Maros-Bone Belah Kawasan Karst

Membangun jalan layang Maros-Bone, membelah tebing karst, sampai memasang pancang goa aliran air bawah tanah.

Saya berdiri di ketinggian. Depan saya liukan jalan nyaris berbentuk huruf S, memberikan pemandangan menawan. Beberapa kendaraan motor dan mobil berjalan pelan. Sisi lain, tebing karst nyaris rata. Tanah tersingkap. Pohon tak ada lagi.

Sejak 2014, saya mengunjungi kawasan ini beberapa kali. Teduh dan sejuk. Ketika mega proyek pembangunan jalan layang Maros menuju Kabupaten Bone, keadaan mulai berubah.

Ini poros Camba, ruas penuh sejarah. Ia dibangun pemerintah Belanda, digunakan Jepang sebagai tempat pengintaian dengan beberapa bunker.

Ketika menapaki lereng tanah terkeruk, bunker yang tertutup rapat tanaman, mulai terbuka. Bunker tepat di jalur pembangunan jalan layang. Rumah-rumah penduduk di daerah bernama Pattunuang, tepat di bawah kaki.

Di Pattunuang inilah, tahap awal (segmen satu) pembangunan jalan layang. Panjang sekitar 3,5 kilometer menuju Pangia, estimasi pengerjaan dua tahun. Panjang elevated road mencapai 317 meter. Lebar jalan 11 meter, dua jalur masing-masing 3×3 meter, dengan ketinggian tiang pancang bervariasi antara 10-19 meter.

Kelak pembangunan jalan ini berjenjang, hingga empat tahapan. Segmen dua, tiga dan empat, lebih rumit lagi dan jarak mencapai puluhan kilometer. Ruas jalan baru ini memerlukan ketelitian dan kajian sempurna.

Ia dibangun di salah satu kawasan karst terbaik dunia. Kelak pembukaan jalan ini akan memangkas tebing, menimbun beberapa jurang, dan merobohkan pepohonan. Bahkan, bisa menutup beberapa sinkhole (retakan atau jalan air di karst), dan mengganggu ekologi satwa seperti monyet Sulawesi (Macaca maura).

Selasa pagi, (18/9/16), papan pengumuman terpasang di dekat lokasi pembangunan jalan itu.  “Tamu yang hendak masuk harus melapor.”

Saya memilih jalur lain. Berjalan menyusui riak sungai antara batuan karst. Mendengar suara bor, deru kendaraan, dentingan besi, hempasan debu, dan suara pekerja. Suasana ramai. Bising.

Di jalur menuju Soa-soa, spot favorit wisata outdoor, saya mengunjungi tarsius–binatang nokturnal dalam penangkaran.

Dari balik kandang, mata melotot. Semestinya, siang hari tarsius istirahat.

Sebelum pembangunan jalan layang, awal 2016, saya masih bisa melihat kawanan Macaca maura turun ke sungai. Sejak pembangunan, kelompok Macaca berpindah tempat.

Bersama Rusdy, Pengawas Lapangan dari Balai Jalan Pekerjaan Umum membawa saya melihat pembangunan jalan. Ada beberapa tiang pancang berdiri. Pipa besi besar sebagai tiang tergeletak.

Ketika titik bor dan pemasangan tiang sudah ditentukan, pipa besi akan dimasukkan. Dari atas diisi semen cor. “Jika di tempat lain, besi atau kondom ini diangkat setelah semen cor dimasukkan. Di sini tidak. Pipa akan tetap tertanam,” kata Rusdy.

“Ini karst, batuan berpori. Bisa jadi ada beberapa celah, takutnya semen cor ketika pipa diangkat akan lari kemana-mana. Bisa jadi kita isi semen terus, rupa campuran semen hilang,” katanya.

Saya mengingatkan Rusdy, di bawah area pembangunan, ada Goa Salu Aja yang memiliki dua pintu (mulut gua). “Kami sudah memperhitungkan. Kalau kami rasa perlu, tiang pancang akan menorobos dinding goa. Kalau cukup kuat, kami tak menerobos plafon goa,” katanya.

Andi Mulatauwe, Speleolog Makassar, tersenyum kala saya ceritakan ucapan Rusdy itu. “Sebelum ada pembangunan jalan, dulu masuk ke Salu Aja I (mulut gua satu), kita langsung berbelok kiri. Bagian kanan sudah buntu, tak ada lubang,” katanya. “Sekarang, kita masuk bisa ke arah kanan, karena ada bentukan saluran baru. Tentu ini perubahaan hidrologi.”

Dalam satu penelitian, aliran sungai dalam Goa Salu Aja cukup besar. Suara air terdengar bergemuruh. Sungai itu terbentuk dan bermula dari sungai permukaan di Pangia, memasuki Goa Tajuddin, lalu berakhir di Salu Aja.

Pembangunan jalan layang. Tampak tebing karst dibabat. Foto: Eko Rusdianto
Pembangunan jalan layang. Tampak tebing karst dibabat. Foto: Eko Rusdianto

Besaran aliran air dari mulut Salu Aja, menjadi tumpuan warga. Beberapa pipa air menjorok memasuki pintu. Ketika pembangunan jalan mulai, mulut Goa Salu Aja  dua tertimbun tanah kerukan. Akibatnya, aliran air keluar di mulut Salu Aja I meluber. Saya menyaksikan sendiri, mulut goa itu tertutup hingga pertengahan September.

Imran Oemar,  geolog yang konsen karst dari Universitas Hasanuddin, terhenyak mendengar kabar saluran air baru dalam Goa Salu Aja. “Jadi ketika saluran air terganggu, tentu air akan mencari celah lain. Pelan-pelan. Itu pasti.”

Tak hanya itu, kata Imran Oemar, perhitungan mengenai sesar kecil–dalam skala minor–dalam kawasan karst sebaiknya menjadi perhatian utama.

“Apakah boks (kondom) campuran semen akan aman jika tak dilepaskan. Ingat, boks itu dari besi baja dan statis, sementara proses karstifikasi itu tetaplah berjalan terus menerus. Bagaimana jika di sela boks–antara besi dan batuan karst, terjadi bukaan dan membuat lubang air baru? Apakah tiang tetap aman?” katanya.

Bagi Imran, merekayasa pembangunan dalam kawasan karst harus memiliki kajian sangat rinci. Saluran air sekecil apapun jika tertutup akan membuat proses karstifikasi terganggu.

“Rongga sekecil apapun harus diwaspadai. Sebab kelak, tekanan dan getaran dari kendaraan yang melintas akan sangat berpengaruh,” katanya.

Sejak perencanaan pembangunan jalan layang, desain kerapkali berubah. Tercatat ada enam kali perubahan itu. “Setiap perubahan gambar dan desain, saya selalu dilibatkan. Taman Nasional Bantimurung Bulusuraung memanggil salah seorang tim ahli  untuk melihat duduk persoalan ini. Ada banyak revisi,” kata Amran.

Amran adalah pakar kehutanan untuk karst di Universitas Hasanuddin. Dia menerbitkan buku Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur. Dalam kajiannya, saat pembangunan jalan ataupun pelebaran, sinkhole (lubang air) tak boleh satupun tertutup. “Jika ada terkena jalan, harus dibuatkan saluran. Itu hasil kesepakatan dalam kajian pembangunan,” katanya.

Dalam pembangunan segmen satu, akan menggunakan 144 titik bor untuk sembilan tiang pancang. Pada akhir Oktober 2016, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengunjungi lokasi. Dia bilang, segmen satu akan selesai Desember 2017.

Tahap awal ini, sumber dana APBN 2015-2017, dengan alokasi 2015 (Rp30 miliar), 2016 (Rp60 miliar) dan 2017 (Rp79,745 miliar).

 

Proses pembangunan jalan. Foto: Eko Rusdianto
Proses pembangunan jalan. Foto: Eko Rusdianto

 

 

Dampak sosial

Pagar seng tertutup rapat. Suara gaduh dari balik seng begitu jelas. Saya mengintip dari celah-celah. Ada alat berat sedang mengeruk tanah dan batu karst tepat di badan sungai. Sekitar 10 meter dari situ, saya beristirahat ngopi di warung warga.

Pemiliknya, memperlihatkan titik merah di depan warung. “Katanya nanti jalan diperlebar sampai sini.”

Jarak titik merah dari teras warung, sekitar tiga meter. Kelak dinaikkan puluhan sentimeter. “Dulu sosialisasi kalau jalan hanya dilebarkan, sekarang ada lagi bilang kalau ditinggikan. Bagaimana nanti, rumah kami akan lebih rendah dari jalan,” kata seorang warga lain.

Haji Makmur, Kepala Desa  Samangki (Kampung Pattunuang), Kecamatan Simbang, Maros mengatakan, selama pembuatan jalan, warga tak pernah dilibatkan. Tak ada sosialisasi. “Nanti ketika orang datang mengukur, baru warga diberitahu kalau akan ada pembangunan jalan layang itu,” katanya.

Di atas kertas, rancang bangun terlihat memikat mata. Rancangan ini disebarkan di masyarakat. Beberapa penduduk bermukim di dekat jalan layang itu, berharap penghasilan dari warung akan meningkat karena jalan makin mulus. “Kalau jalan ditinggikan, kami pas di bawah kaki tanjakan jalan layang, apakah mobil akan mampir lagi? Saya kira itu agak susah,” ucap Makmur.

“Kalau jalan juga sudah dilebarkan, jarak dari bahu jalan dari teras rumah saya itu ibaratnya sejengkal.”

Di lokasi pengerjaan jalan, Rusdy, mengangkat tangan seolah membuat gerakan setengah lingkaran. “Jadi nanti jalan akan naik lalu memutar, berbelok kemudian menuju ke atas,” katanya.

“Jadi tempat kita berdiri ini akan kosong. Jalan itu di atas kepala kita. Bisa tempat kita ini dibuatkan taman di tengah. Jadi akan makin indah.”

“Apakah di atas jalan layang nanti motor bisa melaluinya?” kata saya.

“Itu kita belum tahu. Skenario kita lihat nanti,” kata Rusdy.

Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar pejabat pemerintahan daerah Sulawesi Selatan, dengan bangga mengatakan Jalan layang Maros–Bone akan membawa dampak ekonomi lebih baik. Kendaraan akan makin cepat, seperti menghubungkan Pelabuhan Bajoe di Bone menuju pelabuhan dan gudang industri di Makassar.

Bagaimana dengan Maros? “Maros hanya akan menjadi wilayah perlintasan. Tak dapat apa-apa,” kata Wawan Mattaliu, anggota DPRD provinsi perwakilan Maros.

karst-maros8-segmen-1

Karst yang dibelah buat jalan layang. Foto: Eko Rusdianto
Karst yang dibelah buat jalan layang. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,