Hari sudah petang, sebentar lagi langit gelap ketika sebuah kapal nelayan merapat di sebuah dermaga kecil di sekitar Muara Sungai Tallo, di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Tahir (42) merapatkan perahunya dengan perlahan, setelah sebelumnya memperlihatkan ketangguhan kapalnya yang terlihat masih baru. Di badan kapal ikan itu tertulis Muara Pesisir, yang merupakan nama kelompok nelayan tangkap dimana Tahir menjadi ketuanya.
Dermaga kecil itu sepertinya sudah berumur tua dilihat dari kondisinya yang sedikit kumuh. Sampah-sampah plastik bertebaran di sekitarnya, yang mungkin saja berasal dari tempat yang jauh, terhampar ke tepian karena dorongan ombak.
“Beginilah kondisi di sini. Beberapa perahu yang ada di bawah ini milik anggota kelompok. Kondisinya bagus setelah diperbaiki. Banyak juga yang dicat agar terlihat seperti baru,” jelas Tahir sambil menunjuk perahu-perahu yang bersandar di dermaga, ketika ditemui Mongabay pertengahan November 2016 lalu.
Rumah Tahir tak jauh dari dermaga itu, mungkin hanya sekitar 50 meter. Di sepanjang lorong yang dilewati terlihat sejumlah warga sedang menyalakan api untuk membakar ikan. Wangi ikan segar yang terbakar tercium merebak kemana-mana, bercampur dengan bau asap.
Di rumah panggung Tahir sejumlah warga terlihat sudah menanti. Beberapa di antaranya adalah lelaki separuh baya. Dua orang perempuan berbadan subur berpakaian daster turut hadir. Mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam Kelompok Muara Pesisir dengan aktivitas utama anggotanya sebagai nelayan tangkap.
Nama Muara Pesisir sendiri menunjukkan letak dimana mereka hidup dan beraktivitas selama ini, Muara Sungai Tallo. Tahir mengakui ide nama itu berasal dari dirinya ketika mereka berembuk untuk membentuk kelompok pada 2013 silam.
Menurut Tahir, sebelum lahirnya Kelompok Muara Pesisir ini, di tahun 2011, sejumlah nelayan di Tallo telah membentuk kelompok nelayan lain bernama Kelompok Katambak. Kelompok ini dibentuk karena adanya Program Pengembangan Usaha Minat Pedesaan (PUMP). Sayangnya, kelompok ini tidak lolos seleksi, sehingga kemudian menjadi vakum, sebelum akhirnya dibubarkan.
Ketika kemudian ada rencana Coastal Community Development Program International Fund for Agricultural Development (CCDP-IFAD), nelayan-nelayan ini kemudian berinisiatif membentuk kelompok baru, yang kemudian diberi nama Muara Pesisir, tepatnya pada 10 Januari 2014.
Dana bantuan dari program ini sebanyak Rp40 juta digunakan antara lain untuk membeli peralatan tangkap seperti jaring, bambu, perbaikan perahu,mesin perahu, perahu, dan lain-lain.
“Kita beli sesuai dengan kebutuhan anggota. Semua orang membeli peralatan yang berbeda namun yang paling banyak adalah jaring dan bambu. Jaring memang cepat rusak, apalagi di sini masih banyak yang menggunakan alat tangkap trawl yang seringkali merusak jaring.Belum lagi kalau yang terpancing itu kepiting, jaringnya harus diganti setiap minggu” jelas Tahir.
Tahir sendiri memanfaatkan bantuan tersebut untuk mengganti badan perahu, dari bahan kayu menjadi fiber. Penggunaan fiber membuat mereka bisa melaut lebih jauh. Perahu fiber juga dinilai lebih tahan lama dan tak membutuhkan perawatan bulanan.
“Kalau perahu kayu harus dicat tiap bulan, sementara bahan fiber tidak terlalu sering. Berkat IFAD sekarang semua anggota kelompok sudah menggunakan perahu fiber.”
Manfaat lain yang diperoleh adalah dari segi hasil tangkapan lebih banyak karena alat tangkap ikan yang mulai beragam. Tidak hanya jaring, tapi juga pancing, sero dan bagan.
Penggunaan alat tangkap yang beragam ini memungkinkan mereka bisa melaut di semua musim. Alat tangkap yang digunakan tergantung pada musimnya. Penggunaan alat tangkap ikan yang beragam ini baru mereka lakukan setelah mengikuti berbagai pelatihan yang dilakukan oleh CCDP-IFAD.
Salah satu masalah klasik yang dihadapi nelayan selama ini adalah kurangnya kemampuan dalam pengelolaan keuangan sehingga tak jarang mereka berhadapan dengan tengkulak. Mereka meminjam uang dengan bayaran hasil tangkapan dan komitmen menjual hasil tangkapan hanya pada para tengkulak tersebut.
Keberadaan CCDP-IFAD yang memberikan input sesuai kebutuhan nelayan setidaknya bisa mengurangi ketergantungan ini. Dengan alat tangkap yang lebih baik dan tersedia, mereka pun tak lagi harus meminjam pada para tengkulak tersebut.
“Dulu memang banyak anggota kelompok yang punya utang pada tengkulak, namun sekarang sudah jarang. Sebagian besar sudah lunas. Sekarang sudah jarang yang pinjam karena sudah ada IFAD. Mungkin ini memang persoalan modal awal dan nelayan tertarik karena tanpa bunga, meski harga jual ikan tangkapan kadang memang rendah karena dipatok oleh mereka.”
Profesi sebagai nelayan kecil, memang tak menjanjikan hasil yang besar. Ada banyak masalah yang membuat nelayan terkadang ‘menjerit’ karena wilayah tangkap. Apalagi penggunaan alat tangkap trawl masih marak. Berkali-kali ditangkap tak membuat nelayan pengguna trawl ini jera dan bahkan menjadi-jadi, memanfaatkan lemahnya pengawasan.
“Kalau kapal trawl ini datang maka kami yang biasanya melaut di pinggir tak bisa dapat apa-apa. Belum lagi kalau jaring kami tersangkut dan terseret, otomatis jalan satu-satunya bagi kami memutus dan melepas jaring dengan cara memotongnya.”
Masalah lain adalah sungai dan pesisir yang tercemari limbah perusahaan yang dibawa oleh Sungai Tallo serta limbah rumah tangga. Di awal hujan, biasanya ikan-ikan yang ada di wilayah pesisir akan mati.
Ada juga masalah harga jual ikan yang seringkali sangat murah. Harga ikan yang murah biasa terjadi ketika hasil tangkapan nelayan melimpah, sekitar bulan September – Oktober setiap tahunnya. Jenis ikan yang biasanya banyak ditangkap antara lain kakap, bara, balacang dan ebi atau udang kecil.
Keberadaan CCDP-IFAD ini memberi sedikit harapan karena dengan perahu dan alat tangkap yang lebih baik kini mereka bisa memperoleh pendapatan Rp100 ribu – Rp500 ribu, dibanding sebelumnya hanya Rp50 ribu.
Tabungan Suka Rela
Kelompok Muara Pesisir ini memiliki tabungan kelompok yang sifatnya sukarela yang disimpan bendahara kelompok, yang mudah digunakan kapan saja secara cepat tanpa harus berhubungan dengan birokrasi Bank.
Menurut Rabiah, orang yang dipercayakan menyimpan uang ini, besar tabungan sukarela ini tidak dibatasi dalam jumlah tertentu, tergantung pada keinginan anggota sendiri. Rabiah sendiri adalah istri dari Muhammad Arif, Bendahara Kelompok Muara Pesisir. Rabiah selama ini memang banyak membantu pengelolaan keuangan kelompok.
“Tabungan anggota sekarang sudah lebih dari Rp5juta. Dulu bahkan pernah mencapai Rp10 juta. Tabungan masing-masing anggota tergantung dari pendapatan mereka, biasanya ada sampai 3-4 kali setor cukup Rp1 juta. Ada juga yang 4-5 kali setor baru dapat Rp1 juta. Tapi ada juga yang baru menabung Rp200ribu. Jadi kalau ada anggota yang membutuhkan maka mereka bisa ambil kembali kapan saja. Mereka biasa gunakan untuk biaya berobat,modal usaha dan bahkan untuk membiayai pernikahan anak,” jelas Rabiah.