Namanya Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL). Ia ada di tiga kabupaten di Maluku Utara, yakni Halmahera Tengah, Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Timur dengan luas 163. 300 hektar.
Taman nasional yang ditetapkan 18 Oktober 2004 ini terdiri dari hutan lindung (91%), hutan produksi terbatas (5%), dan hutan produksi tetap (4%). Kawasan ini terbagi jadi dua blok, yaitu Aketajawe (77.100 hektar) dan Lolobata (90.200 hektar).
Data TNAL menyebutkan, dari daerah aliran sungai (DAS), dalam blok Aketajawe jadi wilayah dan sumber mata air beberapa sungai, seperti Aketobaru, Akeoba, Akepasigau, Akefumalolahi, Akelamo, Akefidi, Akekobe, Ake Tapaya, dan Akeparwima.
Di Blok Lolobata, juga sumber beberapa DAS yaitu Akelamo, Akegagaili, Aketutuling, Akedodaga, Akegau, Akeluwau, Akebawas, Akeonat, Akelili, dan Akemabulan.
Kekayaan hayati taman nasional ini boleh dibilang mewakili Halmahera. Survei keragaman hayati TN Aketajawe Lolobata (2008-2009) oleh Burung Indonesia, menunjukkan ada 104 jenis (39 suku) burung di taman nasional ini. Blok Aketajawe ada 82 jenis, Lolobata 77.
Sebanyak 25 jenis burung khas Maluku Utara dijumpai dalam kawasan, termasuk empat endemik Halmahera, yaitu mandar gendang (Habroptila wallacii), cekakak murung (Todiramphus fenubris), kepudang-sungu Halmahera (Coracina parvula), dan kepudang Halmahera (Oriolus phaeocromus).
Di dalam taman nasional juga dijumpai jenis burung lain seperti bidadari Halmahera (Semioptera wallacii), kakatua putih (Cacatua alba), kasturi Ternate (Lorius garrulus), paok Halmahera (Pitta maxima), julang Irian (Aceros plicatus). Juga gosong kelam (Megapodius freycinet), beragam pergam (Ducula spp.) serta walik (Ptilinopus spp.), dan lain-lain.
“Kawasan ini juga tempat perlindungan burung- burung paling terancam dan langka secara global menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, seperti mandar gendang, kakatua putih, kasturi Ternate, cekakak murung, dan cikukua hitam,” sebut laporan itu.
Untuk mamalia diperkirakan 33 jenis seperti kuskus Maluku [Phalanger ornatus]), bajing terbang (Petaurus breviceps papuanus), beragam kelelawar (ordo: Chiroptera), musang (Viviridae), babi hutan, sampai tikus. Belum lagi reptil dan beragam tumbuhan.
Wakil Gubernur Maluku Utara M Naser Thaib kekayaan alam dalam taman nasional itu sangat berguna bagi dunia. Untuk itu, dia minta perhatian pemerintah, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
KLHK, katanya, harus memberikan perhatian penuh dengan fasilitas dan tenaga. “Ini perlu perhatian serius.”
Beragam masalah
Kala memasuki taman nasional ini, tampak penanda hanya pintu gerbang yang menandakan sudah memasuki kawasan ini.
Di Resort Tayawi yang mengawasi seluas 77.100 hektar hanya punya tiga tenaga berkantor di Weda, Halmahera Tengah.
Di Tayawi, hanya punya satu tempat persinggahan dengan wilayah cakupan Halmahera Tengah hingga Kota Tidore Kepulauan.
“Memang kita masih sangat kekurangan fasilitas. Jangankan fasilitas pendukung dalam kawasan, tempat persinggahan juga belum lengkap,” kata Jamal Adam, guide yang mendampingi kami.
Akses jalan menuju ke lokasi penting seperti air terjun Tayawi, belum ada. Untuk pengamatan burung bidadari sudah ada rumah pohon hingga bisa menyaksikan burung bermain.
”Kalau berbicara sarana dan fasilitas masih jauh. Belum lagi masalah tenaga untuk mengawasi kawasan seluas ini sangatlah minim,” katanya.
Dia mencotohkan, tenaga di Tayawi hanya satu orang. Personel minim ini, katanya, sangat menyulitkan terlebih kalau terjadi perambahan atau masalah lain.
Wilayah begitu luas tetapi tenaga minim, katanya, kadangkala ada pembalakan liar, atau penangkapan burung dilindungi sulit terditeksi.
Kepala Seksi Pengeloalaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Tayawi , Raduan membenarkan tenaga minim. Dengan kondisi ini, katanya, agak riskan karena pengawasan tak maksimal.
Dia menyebutkan, beragam masalah mengancam taman nasional ini, seperti pembalakan liar, sampai penangkapan berbagai jenis satwa. Dengan tenaga tersedia, mereka berupaya bekerja maksimal, misal kampanye dan sosialisasi satwa dilindungi kepada warga.
“ Kekurangan tenaga taman nasioanal sangat terasa. Di Tayawi , ada satu penjaga kantor dan dua polisi hutan. Idealnya, satu wilayah perlu tenaga hingga tujuh orang,” katanya.
Polisi hutan, katanya, penting karena di luar kawasan marak pembalakan liar dan penangkapan burung. Dia khawatir, aksi ke kawasan.
Di taman nasional ini juga tinggal Suku Tobelo Dalam. Mereka menyebar di semua wilayah seperti Resor Tayawi ada Suku Tobelo Dalam menempati beberapa wilayah. Begitu juga di Ake Jira, ada Tobelo Dalam Ake Jira. Di Halmahera Timur juga sama.
Pengelola taman nasional bisa hidup berdampingan dengan suku ini. Mereka hidup dengan mengambil hasil hutan dan berburu hewan. Ada juga yang mengambil batu di DAS Tayawi untuk dijual.
Raduan dari TNAL mengatakan, mereka memberi ruang kepada SUku Tobelo berkebun di dalam hutan asal tak eksploitasi luas.
“Kita biarkan mereka karena itu wilayah jelajah mereka. Apalagi jarang merusak hutan. Mereka mengambil sesuai kebutuhan saja,” katanya.
Dia malah khawatir, ada orang luar memengaruhi mereka dan mengekploitasi kayu maupun kekayaan alam TNAL.
Begitu juga soal ambil batu di DAS Tayawi, Suku Tobelo Dalam mendapatkan kelonggaran asalkan secara tradisional. “Tanpa alat berat. Sepanjang batu-batu itu diambil oleh warga Tobelo Dalam secara manual taka pa.”
Meskh Dorome Kepala Suku Tobelo Dalam Tayawi bilang mereka tak bisa lagi mencari hewan buruan seperti babi dan rusa. Mereka juga tak boleh menebang pohon untuk mengambil kayu. ”Mau bikin jerat atau perangkap babi dan rusa, atau mau berburu harus ke luar taman nasional karena sudah dilarang,” katanya.
Menurut Raduan, larangan itu jika melibatkan orang luar. “Kalau Orang Tobelo Dalam, boleh, hanya untuk makan.”