Cerita Warga yang Hidup di Sekitar PLTU Batubara

 

 

Untung Purwanto, warga Ponowareng, Batang, Jawa Tengah, menatap alat-alat berat di lahan pertanian miliknya. Lahan itu mulai berganti tiang beton, dan menunggu waktu jadi bangunan besi: PLTU batubara berkapasitas 2.000 MegaWatt.

Dia masih tak bisa menyangka, lahan subur warisan keluarga mereka bakal hilang. Dia dan petani lain harus cari kerja lain jadi buruh kasar kuli bangunan, atau berdagang dari pasar ke pasar.

“Kehidupan kami selaku petani dirampas. Lahan dirampas atas nama pembangunan. Bagaimana negeri ini berdaulat pangan?” kata Untung akhir Februari lalu.

Hari itu, bersama pemilik lahan lain, dan nelayan di Pesisir Batang, Untung hadir dalam pertemuan warga terdampak PLTU di Green Village, Ungaran, Jateng. Mereka dari Jepara, Labuan, Bali, Kalimantan Timur, Bengkulu dan Paiton, Jawa Timur.

Ada 19,6 hektar lahan pertanian tersisa belum dibebaskan perusahaan. Mereka merampas mengatasnamakan untuk kepentingan umum. Ada 48 keluarga hingga kini tak mengambil kompensasi atas ganti rugi lahan di Pengadilan Negeri (PN) Batang.

“Mayoritas lahan sudah rusak dan akan berganti beton dan besi. Kami masih terus berjuang hingga tujuan kami tercapai,” katanya.

Saat ini, kontruksi PLTU terus dikebut. Dampaknya, ketika musim panas, banyak debu kendaraan perusahaan. Di pesisir laut, sudah tercemar, pengeboran tiang konveyor dan stockfile batubara.

“Pemerintah harus perhatikan masyarakat. Apakah kami yang menolak ini bukan warga negara, hingga suara kami tak didengar?”

Tak hanya Untung dan warga Batang. Di Desa Celukang Bawang, Kabupaten Buleleng, Bali, Ahmad Fauzi, merasakan langsung dampak PLTU batubara berkapasitas 350 MW. Sejak 2004, banyak ketertutupan informasi bagi warga sekitar oleh pemerintah daerah maupun perusahaan.

Menurut Fauzi, sosialisasi terbatas hanya kepada pemerintah desa dan kecamatan. Walaupun hingga akhirnya warga tahu ketika PLTU mulai. Tak pernah ada penjelasan dampak debu PLTU yang berbahaya.

Perusahaan, katanya,  hanya menjanjikan kesejahteraan pagi masyarakat sekitar, dengan mempekerjakan warga. Faktanya, hanya segelitir warga jadi pekerja.

“Kerekatan masyarakat terbelah antara pro dan kontra PLTU. Sebelumnya semua rukun dan damai.”

Dampak lain, katanya, ketika kendaraan perusahaan melintas dan pembuangan dari cerobong PLTU jadi polusi udara. Belajar dari daerah lain, seperti di Paiton, mereka tak ingin kesehatan warga terganggu. Lahan pertanian rusak dan warga terkena penyakit ISPA.

“Harapan kami, Pemda Buleleng menindak perusahaan jika melanggar aturan. Perusahaan harus taati janji meminimalisir dampak kesehatan dan lingkungan,” katanya.

Cerita lain dampak PLTU Batubara dari Yuyun Daryuni, usia 40 tahun, dari Labuan, Banten. Sebelum ada PLTU Labuan, perekonomian warga, terutama perikanan sangat baik. Kini turun drastis. Lahan pertanian kering dan rusak.

 

Kapal-kapal nelayan Roban yang protes PLTU Batang. Foto: Tommy Apriando

 

Untuk mendapatkan ikan, nelayan harus mencari hingga ke utara Jakarta, bahkan ikut kapal asing ke Taiwan. Mayoritas warga sekitar PLTU bekerja sebagai nelayan dan buruh harian.

“Sejak ada PLTU terjadi abrasi pantai, dan konflik sosial sepanjang pesisir,” kata Yuyun.

Kala ada PLTU,  muncul warung remang-remang atau lokalisasi. Pernah dibakar warga, muncul kembali. Sektor pariwisata di Labuan, lumpuh, karena keindahan pesisir laut hilang. Banyak puingan batubara di pinggir pantai. Banyak hotel-hotel gulung tikar, sejak PLTU ada.

Yuyun juga didampuk sebagai Ketua Desa Siaga dan Ketua Posyandu mengatakan, warga tak pernah tahu debu limbah PLTU sangat berbahaya bagi kesehatan. Perusahaan, katanya, tak pernah memberi tahu, begitu juga Dinas kesehatan tak pernah sosialisasi.

Dia pernah melakukan pengobatan gratis, bantuan perusahaan swasta. Dari pemeriksaan, mayoritas warga sekitar PLTU kekurangan gizi, asma dan terkena ISPA, baik anak maupun dewasa. Sedikitnya dia mencatat, 35 warga desa terkena penyakit itu, terutama di Desa Cigondang dan Desa Sukamaju.

“Saya berharap pada pemerintah dan perusahaan, kami warga rentan PLTU dibantu akses kesehatan, dan diperhatikan kondisi lingkungan. Abrasi pantai dibenahi,” kata Yuyun.

Dari utara pesisir Pulau Jawa, Muhammad Saiful Rohman, warga Desa Banndung Harjo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, lebih dulu terdampak PLTU Tanjung Jati. Dia dan nelayan lain, sulit mendapatkan ikan di sekitaran pesisir pantai sejak PLTU ada. Jikapun ada, katanya, tangkapan sangat sedikit. Terumbu karang rusak akibat jangkar kapal penarik tongkang batubara.

“Debu PLTU mengganggu masyarakat sekitar. Pemerintah harus mulai mengganti pembangkit energi batubara jadi lebih ramah lingkungan,” katanya.

Saat ini, PLTU akan membangun lagi menambah kapasitas pembangkit listrik. Sosialisasi sangat tertutup. Pemerintah tak belajar dari dampak PLTU sebelumnya. Penyakit ISPA, sampai kerusakan pesisir, perlahan mematikan ruang hidup para nelayan.

Sebelum ada PLTU, katanya, pendapatan nelayan tinggi. Ada PLTU, tumpahan batubara ke laut kala pembongkaran, menyebabkan plankton mati dan ikan tak bisa beradaptasi.

“Dulu dekat mencari ikan, kini harus jauh. Risiko makin tinggi dan biaya menagkap ikan makin tinggi,” katanya.

Saiful berharap, pemerintah dan perusahaan serius menangani kerusakan dampak PLTU. Komitmen perusahaan terhadap kesehatan, pendidikan dan lingkungan sehat, katanya, wajib dipenuhi.

Merespon ini, pakar Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan Koropitan mengatakan, aktivitas PLTU dan reklamasi di pesisir berdampak kehilangan keragamanhayati. Indonesia mega biodiversiti, terutama laut.

Selama ini,  perkembangan kota di Indonesia muncul dari wilayah pesisir, misal di muara. Perairan subur, dan transportasi mudah. Namun, katanya, kota pesisir di Indonesia yang bernilai ekosistem tinggi dan rentan, seiring pembangunan, dan memunculkan konflik.

Alan mencontohkan di Teluk Jakarta.  Konsekuensi pembangunan dari 1970an hingga kini yang keliru.

Begitu juga PLTU. Di daerah maju, PLTU dibangun di daerah terisolir, tak berada di kawasan ekosistem tinggi. “Memang mahal bangun di daerah terisolir, jika dihitung berkelanjutan biaya paling murah termasuk risiko bencana.”

Dia mencontohkan, Teluk Chesapeake, Maryland, Amerika, merestorasi sejak 1980, pembangunan terintegrasi dari hulu ke hilir, dan berhasil.

Dari pembangunan PLTU seperti di Indonesia, nelayan dan masyarakat pesisir terdampak selain biodiversiti laut itu sendiri.

Selama ini, kata Alan, kendala di lapangan, masyarakat pesisir dan nelayan tak ada daya tawar. Mereka umumnya pendidikan rendah, dan ekonomi pas-pasan.

Untuk meminimalisir dampak PLTU makin besar,  katanya, pembangunan harus sesuai tata ruang dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Terlebih Pulau Jawa, sudah begitu padat hingga semua pembangunan harus ada KLHS.

“Jika tata ruang boleh, dan KLHS layak, silakan dilakukan industri. Adapun terhadap kebijakan tak sesuai tata ruang, ada pelanggaran hukum. Tak bisa sembarangan mengubah kebijakan tata ruang.”

Dengan banyak PLTU, katanya, pemerintah harus meminimalisir dampak. Prinsip tata ruang yang baik, harus menghindari konflik antar sektor.

“Kendalanya,  tata ruang kita punya dua rezim, satu di darat dan zonasi pesisir pulau-pulau kecil. Jika tak ada komunikasi dan sinkronisasi keduanya, bahaya dan memicu konflik.”

Solusinya,  kata Alan, penyatuan perda tata ruang zonasi dan darat seperti di Tarakan.

 

Nelayan Pesisir Jepara, yang kini hidup dengan PLTU, harus cari ikan lebih jauh. Foto: Tommy Apriando

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,