Belajar Membuat Kompos dari Sampah Organik. Seperti Apa?

Kemampuan mengolah sampah organik jadi kompos, dipercaya dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat. Jika dilakukan secara efektif, masyarakat akan memperoleh keuntungan di sektor ekonomi mapun lingkungan hidup.

Sepanjang bulan Mei hingga Juni ini, Manengkel Solidaritas, lembaga non pemerintah yang berkantor di Manado, mengadakan pelatihan pengolahan sampah organik menjadi kompos. Tujuannya, pertama, mengurangi volume sampah. Kedua, untuk membuat kompos yang ramah lingkungan. Ketiga, menjadi wirausaha dengan cara menjual kompos kepada petani.

 

 

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program Climate Change Adaptation (CCA). Karenanya, sebelum memulai pelatihan, mereka menjelaskan dampak perubahan iklim dan bahaya sampah bagi lingkungan.

Viando Imanuel Manarisip, Koordinator Program CCA mengatakan, lewat pelatihan tersebut mereka ingin memperkenalkan sistem pengelolaan sampah organik maupun anorganik di tiga desa, di antaranya, Arakan, Rap-Rap dan Sondaken. Ketiga desa itu terletak di kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

“Lewat pelatihan ini, masyarakat bisa menggunakan pupuk kompos hasil buatan sendiri. Bisa dijual ke petani atau dipakai sendiri,” kata Ando, nama panggilannya, kepada Mongabay Minggu (25/6/2017). “Artinya, masyarakat bisa menjaga lingkungan, membantu petani dan menjadi wirausaha.”

 

lubang yang dibuat untuk menampung sampah organik. Foto Manengkel Solidaritas

 

Dia berharap, dengan mengetahui teknik dan metode, masyarakat dapat membuat kompos dari sampah organik seperti daun kering, sisa bahan makanan, serta kotoran ternak. Kemampuan itu diyakini berguna pula bagi kesehatan lingkungan. Sebab, dibanding pupuk kimia, pupuk kompos dinilai lebih ramah pada tanah.

“Menggunakan pupuk kimia di lahan pertanian, serta melakukan aktifitas pembakaran sampah secara berlebihan, bisa berdampak buruk bagi lingkungan. Lebih baik sampah itu dijadikan pupuk kompos, karena lebih ramah lingkungan,” terang Ando.

Lewat pelatihan tersebut, sejumlah warga membuat lubang penampungan sampah organik, baik di sekitar rumah maupun di halaman sekolah. Kata Ando, sampah organik yang ditampung di lubang itu, akan terurai dalam waktu 40 hingga 60 hari.

Sampah yang terurai itu, kemudian, menjadi pupuk kompos yang bisa digunakan ditanaman. Sedangkan, tanah yang ada di sekitar lubang penampungan menjadi lebih subur.

“Itu dalam skala rumah tangga. Jadi, yang ditampung di lubang itu misalnya, sisa bahan makanan seperti sayuran, kulit buah dan daun kering.”

 

Vertikulutur dengan wadah plastik bekas dan kompos dari sampah organik. Foto : Manengkel Solidaritas

 

Alther Rarung, staf pengajar SMA Negeri 7 Manado, sekaligus pemateri dalam pelatihan itu menjelaskan, kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi bahan organik, seperti tanaman, hewan atau limbah organik.

Menurut dia, kompos memiliki peran penting karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah. Peran itu dilakukan melalui perbaikan sifat kimia, fisik dan biologinya.

“Dengan kata lain, kompos menjadikan tanah lebih subur. Sehingga, pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik,” terangnya.

Dalam pelatihan itu, Alther mengajarkan pembuatan kompos dengan teknik kapasari atau biasa disebut dengan berlapis-lapis. Bahan yang digunakan terdiri dari sapu lidi, ember, galon bekas, wadah, kotoran hewan, daun kering, sekam padi, air dan Effective Microorganism (EM4).

Cara pembuatannya, kata Althter, daun kering atau jerami ditumpuk dalam wadah, semisal galon bekas atau ember. Setelah itu, siram dengan air yang sudah dicampur EM4. Biarkan selama 11 hari, lalu bongkar dan campur.

“Setelah terurai, biarkan selama 5 hari. Kemudian, bongkar lagi dan campur lagi. Proses ini dilakukan berulang kali selama 40 hingga 60 hari. Dengan catatan, setiap hari disiram dengan air yang sudah dicampur dengan EM4,” terangnya.

Dari hasil pelatihan tersebut, kelompok Swadaya Muda Pecinta Sampah, desa Rap-Rap, telah melakukan pembuatan kompos dengan menggunakan jerami padi dan kotoran sapi, sebagai bahan dasar. Hingga saat ini, sudah ada 5 wadah kompos yang telah dibuat oleh kelompok tersebut.

“Ke depannya, kami berencana membuat kompos dalam volume besar untuk didistribusikan pada petani yang ada di desa ini,” kata Yusak Kasenda, pembina kelompok pengelola sampah desa Rap-Rap.

 

Sosialisasi Pemanfaatan Sampah Organik dan Anorganik di SMAN 1 Tatapaan. Foto : Manengkel Solidaritas

 

Selain pelatihan pemanfaatan sampah organik menjadi kompos, Manengkel Solidaritas juga menggelar pelatihan daur-ulang sampah anorganik. Pelatihan tersebut diberikan pada siswa-siswi SMP dan SMA Negeri 1 Tatapan, Rap-Rap.

Di kedua sekolah tersebut, mereka mengadakan pelatihan pembuatan tas dan dompet dari sampah anorganik. Meski demikian, pihak sekolah juga sudah sempat membuat bunga dari botol dan gelas plastik. Bahkan, selama ini, daur-ulang sampah sudah menjadi mata pelajaran di SMA Negeri 1 Tatapaan.

Pelatihan lain yang juga dibikin adalah penanaman dengan cara vertikultur. Wadah yang digunakan terbuat dari sampah plastik galon bekas. Lewat pelatihan ini, masyarakat diajarkan cara membuat pot, dari sampah bekas, untuk menanam sayuran dan tanaman.

Menurut informasi yang diterima Mongabay Indonesia, sejumlah masyarakat juga sudah menggunakan pupuk kompos pada beberapa tanaman sayuran seperti kangkung dan tanaman dapur lainnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,