Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Ini Bertekad Selamatkan Situs Warisan Dunia

 

 

Inisiatif perempuan desa untuk melestarikan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang merupakan Situs Warisan Dunia telah terlihat. Inisiatif yang dipelopori Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) “Maju Bersama” Desa Pal VIII ini, mendapat dukungan Pemerintah Desa Pal VIII, Pemda Rejang Lebong, Pemda Provinsi Bengkulu, Balai Besar TNKS, Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, LSM dan media setempat.

“Tujuannya sangat mulia. Secara pribadi, saya siap mendampingi, bahkan menemani untuk bertemu kementerian terkait, bila diperlukan,” tutur Wakil Bupati Rejang Lebong H. Iqbal Bastari saat mengukuhkan KPPL Maju Bersama di Balai Desa Pal VIII, baru-baru ini.

Iqbal menambahkan, KPPL Maju Bersama adalah kelompok perempuan peduli lingkungan hidup pertama di Rejang Lebong. “Diharapkan, inisiatif serupa muncul di desa lain,” tambahnya.

Dukungan dari parapihak tersebut dinyatakan dalam dialog yang dirumuskan menjadi kesepakatan bersama. Adapun poin kesepakatan itu adalah memperkuat inisiatif perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup, membangun KPPL Maju Bersama sebagai percontohan, serta membentuk forum komunikasi dan koordinasi.

 

Baca: Pengetahuan Perempuan Sangat Dibutuhkan untuk Menyelamatkan Situs Warisan Dunia

 

Perwakilan Bidang 3 Badan Pengelola Taman Nasional Wilayah Sumatera Selatan-Bengkulu Balai Besar TNKS Yudi Lesmana menyatakan Balai Besar TNKS sangat mendukung inisiatif tersebut. Dia meminta KPPL Maju Bersama melengkapi legalitas kelompok dan mengkomunikasikan kegiatan yang akan dilakukan. “Mungkin ada yang bisa disinkronkan dengan kegiatan Balai Besar TNKS. Apabila ada kegiatan yang ingin ditingkatkan sehingga ada perjanjian kerja sama, kami siap membantu,” terangnya.

Ketua Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu Yansen menyatakan gembira adanya peran perempuan dalam penyelamatan lingkungan hidup. Ketika terjadi perubahan lingkungan, perempuan adalah pihak yang paling pertama mengetahuinya, dan perempuan lebih mengetahui keberlanjutan generasi. “Upaya menjaga keutuhan dan kelestarian TNKS sangat penting untuk kita semua.”

TNKS yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada 7 Juli 2004, tercatat juga sebagai Situs Warisan Dunia dalam Bahaya (List of World Heritage in Danger), yang ditetapkan pada 22 Juni 2011. Partisipasi masyarakat untuk membantu pemerintah mengeluarkan dari daftar bahaya sangat diperlukan. “Mengacu pada Nawacita, hutan harus memberikan kesejahteraan. Dikaitkan dengan program perhutanan sosial, maka skema kemitraan bisa didorong sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat demi pelestarian TNKS dan peningkatan kesejahteraan perempuan,” kata Yansen.

Yansen menyatakan, siap membantu atau mendampingi KPPL Maju Bersama dalam penyusunan rencana kelompok bila ingin memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan mengelola potensi wisata alam. “Termasuk, rencana membangun kampung perubahan iklim atau inisiatif lain yang layak dijadikan model dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” terangnya.

 

Hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) mengenai Dampak Kumulatif Rencana Pembangunan Jalan di Pegunungan Bukit Barisan, Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera, 2017. Peta: Dok. KLHS

 

Ketidakadilan gender

Masalah ketidakadilan gender dalam pengelolaan hutan di Indonesia telah dikritisi kalangan peneliti, aktivis, dan lembaga internasional. Siscawati and Mahaningtyas (2012) mengemukakan, eksplorasi terhadap tata kelola kehutanan dan tenurial di Indonesia lebih terfokus pada proses kontestasi antara negara dan komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan.

Banyak dokumen menunjukkan hasil dari proses tersebut melihat komunitas sebagai entitas homogen. “Oleh karena itu, ketidakadilan berbasis gender dalam tata kelola kehutanan dan tenurial, yang dialami perempuan yang memiliki posisi tertentu di masyarakat, masih belum diatasi secara tepat.”

 

Baca juga: Inilah Rekomendasi KLHS, Terhadap Rencana Pembangunan Jalan di Situs Warisan Dunia

 

Demikian pula dikemukakan FAO dan RECOFT (2015). Strategi-strategi kehutanan partisipatif (perhutanan sosial dan kemasyarakatan) dan kebijakan berkenaan dengan industri kehutanan dan perdagangan, tidak mengakui tanggung jawab dan hak berbasis gender. Berbagai kebijakan tersebut mengasumsikan komunitas-komunitas sebagai entitas sosial yang homogen dengan prioritas dan kepentingan yang sama.

“Instruksi Presiden No 9/2000 menginstruksikan seluruh instansi pemerintah untuk mengarusutamakan gender dalam program dan kebijakan pembangunan. Kendati demikian, instruksi tersebut belum dituangkan secara spesifik dalam peraturan dan perundang-undangan terkait kehutanan. Baik dalam peraturan perhutanan sosial, maupun peraturan yang memberikan izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu yang mempertimbangkan gender.”

Rights and Resources Initiative (2017) mengungkapkan, pengabaian hak legal perempuan terhadap hutan kemasyarakatan adalah suatu ketidakadilan dan suatu hambatan pembangunan yang ditanggung secara utama oleh perempuan dan keluarga mereka. Kondisi ini sering bergantung pada tenaga kerja perempuan untuk kelangsung hidup mereka dan juga masyarakat yang lebih luas, dan akhirnya, semua umat manusia.

“Kemajuan dan kehidupan jangka panjang masyarakat lokal dan masyarakat adat semakin tergantung pada kapasitas perempuan untuk secara konsisten mengakses, menggunakan, dan melakukan kontrok terhadap hutan-hutan kemasyarakatan.”

 

Referensi

  • FAO and RECOFTC, 2015, Mainstreaming gender into forest policies in Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand
  • Rights and Resources Initiative, 2017, Power and Potential: A Comparative Analysis of National Laws and Regulations Concerning Women’s Rights to Community Forests, Washington, DC
  • Siscawati, M. & Mahaningtyas, A, 2012, Gender justice: forest tenure and forest governance in Indonesia, Rights and Resources Initiative, Brief No. 3 of 4, Washington, DC.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,