Bangkit dari Keterpurukan, Indonesia Targetkan Swasembada Garam pada 2019. Bagaimana Strateginya?

Pemerintah Indonesia mematok target ambisius untuk bisa mengembalikan swasembada garam yang sempat terjadi sepanjang 2012 hingga 2015. Dalam rencana tersebut, Pemerintah mematok maksimal pada 2019 produksi garam nasional sudah bisa kembali swasembada.

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Senin (28/8/2017) mengatakan, dengan ditetapkannya 2019 sebagai tahun swasembada, maka dengan demikian target sebelumnya yang ditetapkan pada 2020 menjadi hilang. Perubahan tersebut, diklaim sudah melalui pertimbangan yang matang.

“Sebenarnya mereka mengusulkan pada 2020 kita bisa swasembada. Tapi saya minta dipercepat lagi, kalau bisa 2019,” ujar dia.

 

 

Agar rencana tersebut bisa terwujud, Luhut meminta semua pihak terkait untuk bisa bekerja sama dengan baik. Terutama, pihak seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, dan PT Garam (Persero).

Untuk bisa mewujudkan swasembada pada 2019, Luhut menjelaskan, Pemerintah akan melaksanakan program ekstensifikasi lahan di sejumlah daerah yang menjadi sentra produksi garam nasional. Dalam program tersebut, Pemerintah akan melaksanakannya di atas lahan seluas 40 ribu hektare.

“Kita ingin genjot produksi di atas lahan ekstensifikasi. Tapi lahannya masih banyak yang bermasalah status kepemilikannya. Jadi kita akan selesaikan itu dulu,” tutur dia.

Dengan dilaksanakannya ekstensifikasi lahan, Luhut berharap, ketergantungan impor garam bisa secara perlahan dikurangi dan kemudian dihentikan. Tak hanya garam konsumsi, kata dia, dari lahan ekstensifikasi tersebut, Pemerintah akan memproduksi garam industri dengan kualitas standar internasional.

“Jadi nanti kita mau, sekarang kebutuhan garam industri satu juta ton, saya mau itu supaya jangan impor lagi,” ungkap dia.

Berkaitan dengan keterlibatan rakyat dalam peningkatan produksi garam nasional, Luhut menjelaskan bahwa itu akan dilakukan melalui pengelolaan garam secara nasional. Dalam rencana yang sudah dimatangkan, pengelolaan akan dibagi dalam tiga kelompok, yakni PT Garam (Persero), pihak swasta, dan rakyat.

“Yang rakyat ini, kami berdayakan juga supaya mereka bisa produksi,” ujar dia.

 

Priyanto memperlihatkan garam hasil produksi rumah tangga miliknya. Foto : Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Dengan dilibatkannya masyarakat secara langsung, Luhut menargetkan, produksi garam nasional bisa dilakukan minimal 100 ton per hektare per tahun. Jumlah tersebut, diharapkan meningkat lagi menjadi 120 ton per ha per tahun jika panen raya garam tiba.

Dengan produksi rerata 100 ton per ha per tahun, Luhut optimis, kebutuhan garam dalam negeri yang mencapai 3,8 juta ton per tahun bisa terpenuhi. Pemenuhan pasokan itu, akan dilakukan dari 40 ribu ha yang sudah diinventarisir oleh Pemerintah.

“Tadinya kami pikir hanya 30 ribu hektare saja, ternyata bisa sampai 40 ribu hektare juga. Ini lebih besar dari angka yang diperkirakan sebelumnya,” ucap dia.

Diakui Luhut, program ekstensifikasi dipastikan akan memakan biaya yang sangat besar. Namun, itu tidak menjadi masalah, karena tujuan akhirnya agar Indonesia bisa lepas dari jeratan impor.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Luang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan, produksi garam tidak bisa lagi mengandalkan sistem seperti yang sekarang ada. Selain menggenjot produksi di sentra garam yang sudah ada, menurut dia, Indonesia perlu melakukan ekstensifikasi lahan untuk produksi garam di sejumlah daerah.

“Daerah yang bisa mengemban tugas itu, paling potensial adalah Nusa Tenggara Timur. Di sana, cuacanya mendukung untuk produksi garam. Selain NTT, ada juga Jawa dan Madura. Namun, NTT bisa jadi prioritas,” tandas dia.

 

Lahan tambak garam di Pesisir Pantura. Kualitas garam mereka baik dan siap bersaing dengan produk impor. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Pernyataan hampir sama juga diutarakan mantan Komisaris Utama PT Garam Sudirman Saad. Menurut dia, saat ini Pemerintah harus bisa memaksimalkan keberadaan sentra garam di daerah. Selain itu, perlu juga dibangun pabrik-pabrik baru dengan menggunakan teknologi mutakhir dan dukungan dana yang mencukupi.

Dia mencontohkan, di Tiongkok, ada sebuah pabrik di Shanghai yang memproduksi garam dengan kualitas tinggi dengan NaCL mendekati 100 persen, namun dengan harga yang murah dan diproduksi dari air baku. Pabrik tersebut bisa seperti, berkat dukungan penuh dari Pemerintah Tiongkok dan memberikan subsidi biaya produksi melalui listrik yang murah.

 

Tunggu Permen KP

Dalam kesempatan sama, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, pihaknya saat ini masih menunggu terbitnya peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menjadi turunan dari UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Tanpa Permen KP, kita tidak bisa menentukan langkah berikutnya. Termasuk soal penentuan harga untuk garam di tingkat petani,” ungkap dia.

Oke menjelaskan, tanpa adanya Permen KP yang menjadi turunan tersebut, maka tata cara penerbitan rekomendasi untuk impor garam juga tidak bisa dilakukan oleh KKP. Padahal, sesuai dengan UU tersebut, impor garam bisa dilakukan jika KKP mengeluarkan rekomendasi dengan alasan yang tepat.

Tanpa Permen KP yang dimaksud, Oke menyebutkan, Kemendag juga tidak bisa menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang tata niaga garam. Dengan demikian, keberadaan Permen KP yang menjadi produk turunan dari UU No 7 Tahun 2016 itu sangatlah penting.

“Kalau impor yang sekarang dilakukan, itu tidak berkaitan dengan produk turunan UU tersebut. Impor sekarang dilakukan, karena memang kita memerlukannya. Tahun ini kita sudah tidak punya stok lagi. Ini berbeda dengan 2015 yang masih ada stok dari 20144,” jelas dia.

 

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali memanen garam dari palungan (batang kelapa dibelah). Garam dari Amed dikenal kaya akan mineral dan tidak pahit. Foto : Luh De Suriyani

 

Oke melanjutkan, selama ini regulasi yang digunakan untuk melaksankan impor adalah Permendag Nomor 125 Tahun 2015 dan sebelumnya menggunakan Permendag Nomor 58 Tahun 2012. Meskipun pada 2016 sudah berlaku UU No 7 Tahun 2016, namun produk turunannya hingga sekarang masih belum ada.

“Sejak UU tersebut ada, setiap impor garam harus ada rekomendasi dari KKP dulu, apakah layak atau tidak untuk dilaksanakan impor. Itu yang tidak ada di peraturan sebelumnya,” ungkap dia.

 

Swasembada

Keputusan Pemerintah untuk mengejar swasembada, tidak bisa dilepaskan dari prestasi yang sudah diraih sebelumnya pada 2012-2015. Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Barat Edi Ruswandi mengatakan, pada periode tersebut Indonesia berjaya melakukan produksi garam dengan melimpah.

“Bahkan pada tahun 2015, produksi surplus hingga 2,9 juta ton. Kebutuhan kita padahal 2 juta ton saja,” ucap dia.

Edi menyebutkan, selama empat tahun swasembada, produksi garam domestik mencapai puncaknya pada 2015 dengan 2,9 juta ton. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,4 juta ton per tahun dan lebih baik dari produksi 2012 dan 2013 yang mencapai 2,5 juta ton dan 1,7 juta ton.

Setelah mencapai puncak swasembada, menurut Edi, produksi menjadi anjlok karena cuaca yang tidak bagus. Namun, persoalan utama yang terjadi saat itu, karena setiap daerah tidak mendata jumlah stok dengan detil dan itu mengakibatkan tidak ada angka pasti seperti apa daya serap stok yang tersisa pada 2016.

“Sepanjang 2016 mungkin stok dipakai untuk lokal, namun itu tidak tercatat pasti. Sementara pada saat yang sama produksi hampir tidak berjalan. Dampaknya, pada awal 2017, permasalahan garam mulai terasa,” tutur dia.

Karena itu, Edi mengingatkan, Pemerintah harus mengambil hikmah dari kejadian yang berlangsung sepanjang tahun ini berkaitan dengan garam. Pelajaran terpenting, kata dia, adalah bagaimana mengelola stok garam yang tersedia dan menggenjot produksi domestik tetap berjalan baik, dengan kondisi cuaca apapun.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,