Tanpa alas kaki lelaki itu berjalan. Hanya mengenakan celana pendek dengan noken tergantung di samping tangan kirinya. Saat penyusunan peraturan kampung tentang pengelolaan sumberdaya alam, kehadirannya ditunggu-tunggu oleh warga kampung dan juga para kepala suku.
Lelaki itu Gustaf Toto. Ondoafi, atau pemimpin adat tertinggi di kampung Nechiebe Distrik Raveni Rara, Kabupaten Jayapura. Bapak Ondo, begitu warga kampung menyapanya. Tugasnya melindungi dan mengawasi manusia, serta seluruh sumberdaya alam di kampung tersebut. Kepala-kepala suku keret atau kepala suku marga sangat segan kepadanya.
“Kampung Nechiebe memiliki potensi sumber daya alam baik darat, pesisir, dan laut. Namun semua wilayah tersebut bukanlah tempat tak bertuan. Bahkan pegunungan Cyclops, jauh sebelum ditetapkan sebagai cagar alam oleh pemerintah, memiliki hubungan erat dengan masyarakat di Nechiebe,” ungkap Gustaf Toto.
Baca juga: Saat Masyarakat Adat Nechiebe dan Ormu Wari Berembuk Membuat Aturan Kampung Adat
Suku-suku yang bermukim di Nechiebe dahulunya hidup di lereng-lereng perbukitan Cyclops. Hal ini membuat mereka memiliki tempat-tempat yang dianggap keramat dan harus dijaga di kawasan yang sudah berstatus cagar alam tersebut.
“Ini tempat terlarang dan memang sudah ada sejak nenek moyang. Kenapa Cyclops harus dijaga. Tapi kita yang berada di Distrik Raveni Rara ini menjaga Cyclops, sayangnya di tempat lain seperti Maribu justru ada galian C dan malah merusak Cyclops,” ungkap Gustaf Toto dengan raut wajah sedih.
Orang-orang Nechiebe memperlakukan Cyclops dengan arif. Bahkan untuk membuka kebun saja, kata Gustaf, perlu dilakukan ritual dan tidak sembarangan serta harus sepengetahuan Ondoafi. Lalu kepala-kepala suku menyiapkan segala sesuatunya seperti babi, keladi, pisang, atau makanan lainnya, yang merupakan bagian dari adat.
“Adat juga sudah mengatur agar jangan sampai membuka kebun dengan merusak hutan. Apalagi kalau kita lihat sebagian daerah di sini adalah tebing. Begitu juga kalau mengambil hasil hutan, sudah diatur mana yang bisa dan mana yang tidak. Karena ini titipan dari nenek moyang,” kata Gustaf Toto.
Selain kearifan masyarakatnya tentang bagaimana mengelola sumberdaya alam yang ada di daratan, masyarakat di Nechiebe mempunyai kearifan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di laut. Secara adat masyarakat di Nechiebe dilarang keras menangkap ikan dengan menggunakan bius, bom, dan juga penangkapan bia lola (sejenis kerang laut), lobster, teripang, serta penyu.
“Jika kedapatan masyarakat menangkap dengan cara-cara yang merusak maka denda adat berupa tomako batu atau kapak batu harus dibayar oleh orang bersangkutan kepada dewan adat kampung,” ungkap Gustaf Toto.
Sasi Laut
Sama halnya dengan pengelolaan zona di daratan, masyarakat kampung Nechiebe juga memiliki wilayah yang telah ditetapkan sejak turun temurun ke setiap suku dan masing-masing suku berkewajiban menjaga wilayahnya.
Misalkan dalam satu zona laut yang dikelola oleh suku Fouw, maka suku lain tidak boleh sembarangan masuk ke zona tersebut. Begitu pun sebaliknya terjadi pada suku-suku lainnya. Masing-masing saling menjaga.
Di Nechiebe juga terdapat ritual sasi laut. Sasi laut yang dimaksud adalah menutup salah satu wilayah di pesisir kampung dengan daun kelapa atau dari bahan alam lainnya.
Selama satu minggu sesuai kesepakatan adat dan para kepala suku, di wilayah perairan tersebut harus ditutup. Hukum adat Nechiebe memang memiliki hubungan erat dengan alam yang berprinsip pada hubungan religius magis. Sehingga ketika laut ditutup maka hal itu merupakan cara mereka berinteraksi dengan seluruh penghuni alam, termasuk untuk memanggil ikan agar datang.
“Setelah ritual semua dilakukan, masyarakat lalu dipersilahkan turun ke laut dan mengambil ikan sepuasnya. Ini adalah budaya kami di Nechiebe. Kami menyebutnya dengan nama Yapjo, dan ketika laut ditutup dengan daun kelapa itu namanya Wana. Artinya membatasi laut,” kata Gustaf.
Untuk membuat ritual sasi laut ini menurutnya tidak sembarang. Semuanya harus berdasarkan kesepakatan para tokoh-tokoh adat dan dirinya sendiri selaku Ondoafi. Selain itu, sasi laut ini tidak bisa dibuat dengan perayaan, misalkan dalam bentuk festival, untuk menarit minat pengunjung dari luar atau dibuat sebagai dari kegiatan dalam kalender pariwisata tahunan.
“Sasi laut adalah berkat dari Tuhan. Kami tidak bisa sembarangan buat dan mengundang pengunjung untuk berwisata melihat ritual sasi. Ini adalah cara kami menjaga alam,” ujar Gustaf Toto lagi.
Gustaf Toto sendiri merasa selama ini mereka menerapkan aturan adat di kampung, namun terkadang tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Ia mencontohkan, masyarakatnya pernah menangkap orang yang datang mengambil ikan dengan cara melakukan bom. Karang-karang menjadi rusak. Ketika diberi sanksi adat, kemudian diserahkan ke polisi, justru tidak ada tindakan tegas memberikan sanksi sesuai dengan hukum yang diatur oleh negara.
Ia berharap dengan adanya peraturan kampung tentang pengelolaan sumber daya alam bisa semakin menegaskan keberadaan Nechiebe sebagai kampung adat dan melindungi setiap hak-hak ulayat masyarakatnya.
“Saya selaku Ondoafi, sangat berharap peraturan kampung adat tentang pengelolaan sumber daya alam dan juga mengatur tentang Cyclops bisa diakui oleh semua pihak, tidak hanya orang kampung di sini, tapi juga bagi orang di luar sana,” tandas Gustaf Toto.
Banner: Gustaf Toto, ondoafi kampung adat Nechiebe, Distrik Raveni Rara. Foto: Agus Kalalu/Mongabay Indonesia