Pemerintahan Presiden Joko Widodo–Jusuf Kalla bakal menerbitkan Peraturan Presiden soal Reforma Agraria sebagai pegangan dalam mengimplementasikan program prioritas ini.
”Untuk percepatan Perpres Reforma Agraria, arahan Bapak Menko Perekonomian adalah perpres sudah harus selesai sebelum akhir tahun ini (2017-red),” kata Yanuar Nugroho, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan pada penutupan Konferensi Tenurial 2017 di Jakarta, Jumat (27/10/17).
Regulasi ini akan jadi dasar dan pijakan untuk implementasi program reforma agraria dan kerja-kerja setiap kementerian dan lembaga terkait.
Baca juga: Jalankan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Perlu Terbososan Baru
Yanuar bilang, perpres ini menjadi kerangka regulasi, birokrasi atau kelembagaan dan akuntabilitas. Hingga kini, perpres ini masih berada di Kementerian ATR/BPN, selanjutkan ke Menko Perekonomian.
Mengenai poin dalam perpres ini, katanya, antara lain, pertama, berbicara soal kerangka regulasi. Ia harus memungkinkan birokrasi bekerja agar reforma agraria ini berjalan.
Kedua, mengenai kerangka kelembagaan atau soal pengaturan ada di lembaga mana. Dia mau memastikan tanah obyek reforma agraria (Tora) di kawasan hutan berarti berada dalam ranah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bukan kawasan hutan di ranah Kementerian ATR/BPN).
Baca juga: Cerita Kerjasama Singkat PMO Reforma Agraria Antara Kemenko Perekonomian dan WWF
Saat ini, reforma agraria berada di bawah empat kementerian, yakni Kemenko Perekonomian; KLHK, Kementerian Dalam Negeri, Kementeian ATR/BPN dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal.
Ketiga, berbicara akuntabilitas, yakni bagaimana proses pelaporan dan evaluasi berjalan. Yanuar memastikan, ketiga unsur ini masuk dalam perpres.
Berbicara implementasi reforma agraria, dia memastikan proses bisa tercapai tetapi ragu dapat terpenuhi dalam dua tahun ini. “Tetapi kami mencoba kesana.”
Meskipun begitu, dia memastikan proses pengurusan benar, bahwa yang diberi sertifikat tak bermasalah. “Percepatan kita tidak hanya top down tapi bottom up. Masyarakat sipil ini diminta memberikan peta indikatif. Tugas kami peta terstandarisasi,” katanya.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melihat potensi hutan adat dari data masyarakat sipil luas mencapai 2.250.259 hektar dari 152 klaim terdiri dari enam kluster.
Baca juga: Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Bagaimana Capaian Reforma Agraria
Dari jumlah itu, 107.203 hektar dapat melalui surat keputusan pencadangan, lalu 1.579.215 hektar dari 49 klaim sudah memiliki perda umum dan peta hutan, namun belum ada SK Bupati/Walikota tentang penetapan wilayah adat. Jadi, katanya, masih perlu koordinasi dengan otoritas daerah.
Luasan 285.668 hektar dari 21 klaim konflik dengan pemilik izin dan pemangku hutan, seluas 212.477 hektar dari 30 klaim sudah memiliki peta wilayah adat dan profil namun belum memiliki perda. Ada sembilan klaim memiliki data hutan adat dan profil masyarakat tetapi belum memiliki peta. Masih ada 65.696 hektar dari 15 klaim potensi hutan adat dengan data-data belum diajukan dan masih melengkapi.
Siti mengusulkan, pemerintah daerah dapat bekerja bersama kalangan masyarakat sipil guna mempercepat peraturan daerah. ”Sekarang harus mengedepankan pencadangan wilayah yang bakal ditetapkan sebagai wilayah adat. Untuk mereduksi konflik,” katanya.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria mengatakan, perpres ini diharapkan mengatasi kebuntuan atas implementasi reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) selama ini. Harapannya, ia jadi panduan mekanisme RAPS, dari mulai pendaftaran, prioritas lokasi, inventarisasi, kelembagaan hingga penetapan.
Meski program RAPS berjalan dengan koordinasi Kemenko Perekonomian, katanya, kenyataan kementerian dan lembaga masih berjalan sendiri-sendiri. ”Tak sinergis dan masing-masing. Sebaiknya tim reforma agraria ini satu pintu supaya masayarakat menjadi paham.”
Perpres ini, kata Dewi, harus memberikan mekanisme reforma agraria secara utuh, sistematis dan berlaku skala nasional. Jika selama ini top-down, kini perlu ada mekanisme dari kampung, desa, serikat tani ke kabupaten, selanjutnya diverifikasi dan validasi pada tingkat pusat.
“Jika tidak, reforma agraria tetap mandek, tapi seremoni cukup banyak mengatasnamakan reforma agraria,” katanya.
Hal penting lain, katanya, perlu penekanan kolaborasi kinerja antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam melihat potensi penetapan masyarakat dan lokasi prioritas. Dia mengatakan, 50% kerja-kerja pemerintah sebenarnya sudah dijalankan masyarakat di bawah.
Mereka sudah terorganisasi, menggarap tanah dan menjalankan sistem ekologis berjalan, tinggal penguatan. ”Pemerintah tak perlu lagi bekerja mana subyek dan obyek, bagaimana pengembangan ekonomi.”
Rekomendasi
Konferensi Tenure 2017 ini pun menyimpulkan rekomendasi atas rapat pleno sejak 25-27 Oktober 2017 yang dapat jadi pijakan bagi pemerintah ataupun lembaga masyarakat dalam menyukseskan program RAPS ini.
Hariadi Kartodihardjo, Ketua Komite Pengarah mengatakan, rekomendasi ini sebagai hasil diskusi 11 panel pada 26 Oktober 2017 dengan keterlibatan kelompok masyarakat sipil mulai dari lembaga swadaya masyarakat hingga masyarakat adat.
”Harapannya konferensi ini memberikan peta jalan yang bisa jadi rujukan penyusunan kebijakan dan memberikan kerangka kerja pemerintah bagaimana bekerja bersama-sama dalam percepatan reforma agraria dan perhutanan sosial di Indonesia,” katanya.
Adapun rekomendasi itu, antara lain jadikan reforma agraria sebagai program strategis negara yang memungkinkan dilakukan pengecualian atau diskresi dalam mempercepat pelaksanaan.
Mengingat program ini memiliki tingkat urgensi tinggi dan tantangan cukup besar, katanya, pemerintah diminta membuka jalan lebih luas selain melalui peraturan daerah dalam penetapan hutan adat atau masyarakat hukum adat, serta wilayah adat di luar kawasan hutan.
Melihat banyak kriminalisasi masyarakat dan konflik di tapak, mereka mendesak pemerintah menetapkan perhatian pada aspek hak asasi manusia dan prinsip keadilan jender dalam perlaksanaan RAPS.
Kemudian, perlu pendekatan yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Selama ini, katanya, pendekatan masih top down, dari pemerintah ke masyarakat.
Lalu, perlu penguatan kelembagaan. Tim percepatan dan tim pelaksana penyelesaian pengusaaan tanah dalam kawasan hutan, katanya, agar sejalan dengan kondisi lapangan, serta monitoring serta evaluasi kebijakan dan kelembagaan i. Tujuannya, penyesuaian kelembagaan jika dianggap tak efektif.
Kolaborasi antarlembaga dan kementerian dalam mempercepat realisasi program redistribusi tanah dan akses masyarakat atas kawasan hutan.
“Kami memastikan peta jalan akan masuk jadi pertimbangan utama pembentukan dan pengembangan kebijakan RAPS ke depan, ” kata Yanuar.
Dia berjanji, mempelajari lebih detail hasil konferensi dan audiensi secepatnya guna mempercepat pelaksanaan program prioritas ini.
Bau politik?
Rukka Simbolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, berbicara reforma agraria pemerintahan Jokowi, sesungguhnya masih jauh dari harapan rakyat kecil, petani dan nelayan.
”Penentuan masyarakat adat di daerah itu berbau politik, ada beberapa perda masyarakat adat bahkan ada dibatalkan oleh DPRD.”
Untuk itu, perlu kerja keras dan komitmen kuat atas janji pemerintah mewujudkan keadilan agraria dan ketimpangan sosial. ”Prosedur yang sangat berbelit-belit dan respon sangat lambat membuat kami mulai mempertanyakan komitmen politik terhadap masyarakat adat,” katanya.
Dia menyebutkan, telah menyerahkan peta indikatif wilayah kelola masyarakat adat kepada KLHK, 5,6 juta hektar tinggal di dalam kawasan hutan dan 1,75 juta hektar di luar kawasan.
“Negara hadir dan mengembalikan kedaulatan itu kepada rakyat. Saya kira perhutanan sosial dan reforma agraria ini ujung tombaknya,” ucap Yanuar.
Hasil Konferensi Tenurial 2017