Pengadilan Negeri Meulaboh pada 15 Juli 2014 telah memvonis PT. Kallista Alam bersalah karena membakar lahan gambut Rawa Tripa seluas 1.000 hektare di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh, pada 2009-2012. Perusahaan ini juga diwajibkan mengganti rugi materil sebesar Rp114 miliar ke negara dan harus membayar dana pemulihan lahan sekitar Rp251 miliar.
Namun, hingga kini Pengadilan Negeri Meulaboh belum mengeksekusi putusan tersebut. Padahal, Mahkamah Agung pada 18 April 2017, telah menolak Peninjauan Kembali (PK) kasus yang diajukan oleh PT. Kallista Alam.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah menyurati Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh agar eksekusi segera dilaksanakan. Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Jasmin Ragil Utomo, saat mengirimkan surat kepada sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Aceh, 6 September 2017, menyebutkan kronologis kasus tersebut.
“Pada 28 Agustus 2015, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi Nomor: 651 K/Pdt/2015, yang isinya menolak permohonan kasasi PT. Kallista Alam. Namun setahun kemudian, 28 September 2016, PT. Kallista Alam mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Meulaboh” terang Jasmin dalam surat yang dikirimkan ke Yayasan HAkA, KPHA, FORA, YEL Aceh, Rumoh Transparansi Aceh, RTI, GeRAK Aceh, MaTA Aceh, PeNA, JMA, dan GeRAM.
Baca: Tidak Terima Putusan Pengadilan, PT Kallista Alam Balik Gugat Pemerintah
Dalam surat tersebut dituliskan, pada 3 November 2016, KLHK mengirimkan surat Aanmaning atau teguran kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, dengan Nomor: S-103/PSLH/GKM.1/11/2016. Isinya, pelaksanaan eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung terkait kasus hukum PT. Kallista Alam dilaksanakan.
“Lalu, pada 8 November 2016, PN Meulaboh mengeluarkan surat Nomor: 12/Pen.Pdt.Eks/2016/PN-Mbo yang isinya penundaan eksekusi yang diajukan KLHK sampai turunnya putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung,” sebut Jasmin.
Berikutnya, 8 Februari 2017, KLHK kembali mengajuan teguran kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh dengan surat bernomor: S-24/PSLH/GKM.1/02/2017. Selanjutnya, 18 April 2017, Mahkamah Agung menetapkan putusan dengan Nomor: 1PK/Pdt/2017 yang menyatakan permohonan Peninjauan Kembali PT. Kallista Alam ditolak.
“13 Juni 2017, kuasa hukum PT. Kallista Alam mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh dengan surat Nomor: 5973/DK-P/VI/2017. Pada 22 Juni 2017, PT. Kallista Alam menggugat Menteri LHK, Ketua Koperasi Usaha Bersama, BPN Wilayah Aceh dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh ke Pengadilan Negeri Meulaboh dengan perkara Nomor: 14/Pdt.G/2017/PN.Mbo,” tambah Jasmin.
Pada 20 Juli 2017, Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan penetapan Nomor: 1/Pen/Pdt/Eks/2017/PN.Mbo yang menyatakan, PN Meulaboh mengabulkan permohonan perlindungan hukum PT. Kallista Alam. Juga, menunda sementara eksekusi terhadap putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo, Jo putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor: 50/Pdt/2014/PN.Bna, Jo putusan MA Nomor: 651K/Pdt/2015, Jo putusan MK Nomor: 1PK/Pdt/2017 yang dimohon eksekusi oleh KLHK.
“Penetapan Ketua PN Meulaboh Nomor: 1/Pen/Pdt/Eks/2017/PN.Mbo yang keluar pada 20 Juli 2017 didasarkan atas permohonan perlindungan hukum oleh kuasa hukum PT. Kallista Alam,” sebut Jasmin.
Jasmin menambahkan, pada 26 Juli 2017, digelar sidang perdana gugatan PT. Kallista Alam, namun perusahaan tersebut mencabut gugatannya. Pada tanggal yang sama, PT. Kallista Alam melalui kuasa hukumnya kembali mendaftarkan gugatan terhadap Menteri LHK, Ketua Koperasi Usaha Bersama, BPN Wilayah Aceh dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh ke Pengadilan Negeri Meulaboh dengan perkara Nomor: 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo.
“Sidang perdana gugatan tersebut dilaksanakan 15 Agustus 2017. Hingga saat ini, KLHK masih melakukan langkah-langkah hukum guna membatalkan penetapan perlindungan hukum yang diajukan PT. Kallista Alam,” ungkap Jasmin.
Ketua PN Meulaboh, Said Hasan, sebelumnya pada 2 Agustus 2017 menyebutkan alasan, eksekusi ditunda karena PT. Kallista Alam pada 26 Juli 2017 menggugat beberapa lembaga pemerintah. “Pengadilan harus menerima gugatan tersebut dan bagaimana keputusannya, akan dilihat saat persidangan,” terangnya.
Dalam gugatannya, PT. Kallista Alam menyebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto. “Selain itu, perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektare yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh,” terangnya.
Putusan hukum tertinggi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Banda Aceh, DR. M. Thaib Zakaria mengatakan, Peninjauan Kembali merupakan putusan hukum tertinggi yang tidak ada proses hukum lainnya setelah keluar. Kalau perkara perdata, setelah PK keluar harus segera dilakukan eksekusi. Tidak ada dasar hukum Pengadilan Negeri mengeluarkan keputusan perlindungan hukum terhadap perkara yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.
“Yang sangat aneh, eksekusi batal karena keputusan hukum tingkat bawah atau adanya permohonan perlindungan hukum. Keputusan hukum tertinggi malah ditahan oleh keputusan Pengadilan Negeri. Ini sangat tidak adil dan tidak bijaksana. Saya lihat, perkara yang menyangkut kepentingan publik sulit dieksekusi, apalagi kasus pengrusakan lingkungan,” jelasnya.
Terkesan, sambung M. Thaib, sedang ada upaya menyelundupkan hukum. Negara termasuk Pengadilan Negeri, harus melihat masalah ini dengan jernih. Banyak yang menderita dan tersiksa karena tak kunjung selesainya masalah ini.
“Alasan-alasan yang disampaikan perusahaan dalam gugatan baru seperti ada yang error dalam gugatan KLHK, seharusnya disampaikan dalam persidangan sebelumnya. Bukan melakukan gugatan baru. Kalau sudah PK, itu sudah habis, terima saja,” ujar M. Thaib dalam diskusi “Dilema Pelaksanaan Eksekusi atas Putusan Inkrach di PN Meulaboh” di Banda Aceh, 18 Oktober 2017.
Terkait tak kunjung dilakukannya eksekusi tersebut, Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) melakukan unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, pada 26 Oktober 2017.
“Hasil penelusuran tim kami, KLHK telah mengajukan surat permohonan eksekusi kepada Ketua PN Meulaboh. Seharusnya, sebagaimana aturan pasal 66 ayat (2) UU No. 14 tahun 1985, PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Kami meminta, eksekusi segera dilakukan,” tutur Fahmi Muhammad, Juru Bicara GeRAM.
Rawa Tripa merupakan hutan gambut yang terletak di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang luasnya mencapai 61.803 hektare. Rawa Tripa masuk dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang memasukkannya sebagai kawasan strategis berfungsi lindung.