Bersepakat, Warga Turut dalam Pembangunan Sekat Kanal Gambut

Pembangunan sekat kanal untuk restorasi gambut bukan hanya masalah teknis, namun juga harus melibatkan masyarakat. Membangun persetujuan semua pihak menjadi  kunci keberhasilan proyek. Lewat proses padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan) atau dalam bahasa Inggris FPIC (Free Prior and Informed Consent), warga masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, konstruksi hingga proyek berjalan.

Demikian dijelaskan oleh Rudy Priyanto, Kepala Program Kerja Wilayah Kalimantan juga Pejabat Pembuat Komitmen Deputi Bidang Konstruksi Operasi dan Pemeliharaan Badan Restorasi Gambut (BRG), awal Oktober lalu di Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Pertemuan ini sendiri merupakan kesepakatan penandatanganan antara BRG dengan kelompok warga dari empat desa, Buntoi, Gohong, Garung dan Kelurahan Kalawa terkait pembangunan sekat kanal. Kerjasama dalam pembangunan sekat kanal juga dilakukan bersama instansi lain, seperti Universitas Palangkaraya.

Melalui proses padiatapa, total sekat kanal yang dibangun lewat mekanisme swakelola oleh warga berjumlah 73 unit. Ia terbagi di beberapa handel (satuan pengelolaan irigasi). Diantaranya di Desa Buntoi empat handel dengan 22 sekat kanal, Desa Gohong di dua handel dengan 11 sekat kanal, Desa Garung di lima handel dengan 34 sekat kanal, serta Kelurahan kalawa di satu handel dengan enam unit sekat kanal. Tipe sekat kanal yang akan dibangun disesuaikan dengan kondisi handel yang memiliki karakteristik yang berbeda.

Berbeda dengan proses konvensional, dengan padiatapa masyarakat diajak untuk berbicara, tidak sekedar obyek proyek saja. Dengan proses dua arah, masyarakat bisa memberikan usulan, bahkan sekaligus juga menolak poin-poin yang dirasa justru akan merugikan. Dalam menentukan tipe sekat kanal, masyarakat juga dilibatkan.

“Presiden kan berpesan tentang perlunya pemberdayaan masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam pembangunan sekat kanal bisa dilakukan lewat swakelola. Masyarakat dapat mengajukan pendanaan kepada BRG, kita dorong bagaimana kesiapannya. Jika sudah terbentuk kelompok dan sudah siap, tinggal eksekusi dan dibantu oleh tim yang ada. Termasuk dalam penyusunan anggarannya,” papar Rudy.

Menurutnya dengan pola padiatapa ini, masyarakat bisa bergerak dengan sumber daya sendiri melalui asistensi daerah

“Pemda sangat mendukung. Bahkan Bupati dalam berbagai kegiatan turun ke lapangan bersama saya. TRG (Tim Restorasi Gambut) Pulang Pisau sangat membantu dalam membina masyarakat setempat. Komunikasi dengan masyarakat lancar,” ucapnya.

Selain di empat desa ini, padiatapa akan terus dilanjutkan di tempat-tempat lain yang masuk dalam blok Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) 14 atau yang disebut blok C2. Selanjutnya, padiatapa juga akan dilakukan di blok C3 dan C4 yang masih termasuk dalam Kabupaten Pulang Pisau.

 

Penandatangan kesepakatan sekat gambut oleh perwakilan Badan Restorasi Gambut dan perwakilan masyarakat. Foto: Indra Nugraha

 

Proses Padiatapa

Rudi Purwadi, ketua Tim Sembilan Forum Hapakat Lestari, mengatakan, ia sangat mengapresiasi atas kesepakatan yang terjalin antara warga dengan BRG melalui proses Padiatapa tersebut. Menurutnya, kesepakatan yang sudah ditandatangani merupakan buah kerjasama berbagai pihak.

Menurutnya, sebelum sampai tahap penandatanganan kerjasama tersebut, seluruh proses bermula dari pemberian informasi yang cukup kepada masyarakat. Sehingga masyarakat sadar akan pentingnya pembangunan sekat kanal.

“[Dalam diskusi] muncul aspirasi tentang desain tabat (sekat), ada yang sarankan sistem buka tutup dan lain-lain,” jelasnya.

Dalam pertemuan, warga pun membahas tentang RAP (Rencana Anggaran Pembiayaan). Purwadi menjelaskan, biaya yang disepakati untuk membangun satu sekat kanal bervariatif. Sekitar Rp30 juta hingga Rp40 juta.

Pelatihan teknis kepada masyarakat pun telah dilakukan Oktober lalu, membahas mengenai konstruksi, pola kerja dan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban proyek.

“Juga diajarkan sistem belanja dan pola penganggarannya seperti apa. Harus mencantumkan apa saja transaksi biaya yang dikeluarkan. Jadi mereka pun belajar administrasi transaksi,” paparnya.

Lewat pelatihan tersebut, diharap apa yang sudah tercantum dalam RAP bisa sinkron dalam pelaksanaannya.

 

Uji publik padiatapa beberapa waktu lalu di desa-desa di lahan gambut yang saluran irigasi (handel) akan dibuat sekat. Foto: Indra Nugraha

 

Optimis Terhindar dari Kebakaran Lahan Gambut

Salah satu perwakilan Handel Baru Desa Garung, Teras Anggen mengatakan, di wilayahnya akan dibangun lima sekat kanal. Ia optimis kegiatan bisa berjalan dengan lancar. Sebab hal itu sudah atas kesepakatan bersama. Sudah tak ada lagi masalah berupa penolakan dari kalangan masyarakat.

“Dengan dibangunnya sekat kanal ini kami berharap kebakaran tak terjadi lagi. Kebun dan tanaman bisa aman,” katanya.

Harapan serupa juga diungkapkan Iin Muklis, warga Desa Buntoi. Di handel Sakajanang yang berada di wilayahnya akan dibangun lima sekat kanal. Ia berharap, dengan dibangunnya sekat kanal, lahan gambut akan tetap basah sehingga peristiwa kebakaran hutan dan lahan tak terjadi lagi.

“Kalau gambut basah, tak akan ada kebakaran. Aman. Kami bisa kerja kebun. Semua warga Buntoi di handel Sakanajang sepakat membangun sekat kanal,” ucapnya.

Rudy menyebut selama proses padiatapa, masyarakat yang berpotensi terkena dampak restorasi gambut mempunyai hak untuk bersuara. Termasuk, untuk menerima atau pun menolak program yang akan dijalankan. Komunikasi bersifat dua arah. Dalam pengerjaannya pun, masyarakat ikut serta.

“Jadi jangan sampai ketika dibangun, ada masyarakat yang tak setuju. Makanya di BRG itu ada form yang persetujuannya diketahui oleh kepala desa. Jadi misalnya, lokasi tabat tepatnya dimana. Setelah itu tupoksinya juga harus sesuai. Misalnya ada yang minta tanggul dulu, kita bantu,” tambah Rudy.

Dengan dibangunnya sekat-sekat kanal di beberapa handel, diharapkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan pun bisa dicegah.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,