Tangkap Empat Petani, BPPHLHK Sulawesi Dinilai Langgar Putusan MK

 

 

Pada 22 Oktober 2017 silam, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Sulawesi melakukan penangkapan terhadap 4 (empat) orang petani dalam kawasan hutan Laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

Mereka adalah Muhammad Sahidin (47 tahun), Jamadi (45 tahun), Sukardi (39 tahun), dan Ammase (45 tahun). Saat ini, mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Makassar.

“Mereka yang ditangkap berasal dari Kampung Cappoliang dan Kampung Jolle, Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng yang telah hidup secara turun-temurun di dalam kawasan hutan Laposo Niniconang serta mengelola kebunnya bukan untuk kepentingan komersil melainkan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan,” ungkap Edi Kurniawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, kepada media di Makassar, Jumat (8/12/2017).

Edi menilai penangkapan terhadap keempat petani tersebut telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015, yang pada pokoknya menyatakan bahwa ‘Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun-temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil’.

“Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka pihak kehutanan seharusnya mematuhi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ungkap Edi.

Apalagi, tambahnya, putusan ini dinilai telah ditindaklanjuti melalui Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor: SE.2/Menlhk./Setjen/Kum.4/2/2016 tertanggal 1 Februari 2016, yang menjadi pedoman terhadap penegakan hukum menyangkut kawasan hutan khususnya bagi masyarakat yang hidup secara turun-temurun dalam kawasan hutan.

Menurut Edi, penangkapan keempat petani itu juga menyalahi prosedur penangkapam karena mereka yang ditangkap mengaku tidak tahu-menahu alasan mereka ditangkap, karena pihak kehutanan tidak memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas dan menyebutkan alasan penangkapan.

“Sehingga perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 18 Ayat (1) dan (3) KUHAPidana,” tambah Edi.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Soppeng dengan tegas mengakui keberadaan masyarakat yang bermukim dan mengelola lahan di dalam kawasan hutan Laposo Niniconang sejumlah ± 3.950 KK atau ± 23.428 Jiwa dengan luas wilayah kelola ± 7.803,06 Ha.

 

Seorang warga menunjukkan lokasi menanam jahe di dalam kawasan hutan Laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, yang akhirnya dipermasalahkan oleh BPPHLHK Sulawesi. Terdapat sekitar 23 ribu warga yang bermukim di sekitar kawasan yang sebagian besar telah mendiami lokasi tersebut secara turun temurun. Foto: Edi Kurniawan/LBH Makassar/Mongabay Indonesia

 

Menurut Edi, data ini telah menjadi bahan usulan oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng kepada pemerintah Provinsi Sulsel  dan pemerintah pusat untuk menjadi bahan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulsel.

Edi menambahkan bahwa saat ini pula, Pemerintah Kabupaten Soppeng bersama Pemprov Sulsel dan bahkan pihak kehutanan sendiri sedang melakukan penyelesaian penguasaan lahan dalam kawasan hutan Laposo Niniconang dengan membentuk tim terpadu untuk meneliti terkait perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yang selama ini dikelola oleh masyarakat dalam kawasan hutan untuk kemudian dilakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulsel.

“Mengingat saat ini sedang berjalan proses penyelesaian penguasaan lahan dalam kawasan hutan Laposo Niniconang, Kabupaten Sopeng, maka sepatutnya pihak kehutanan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa penangkapan maupun penetapan tersangka, karena hal ini  dapat mengganggu jalannya proses tersebut sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 30 huruf (b) Peraturan Presiden Nomor 88  tahun 2017 tentang Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.”

Hal yang paling penting, lanjut Edi, bahwa tindakan represif berupa penangkapan dan penetapan tersangka terhadap keempat petani tersebut akan mengancam keberlangsungan hajat hidup orang banyak yang berada dalam kawasan hutan sejumlah sekitar 3.950 KK dengan penduduk 23.428 Jiwa.

“Pada dasarnya tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan merupakan suatu tindakan perampasan HAM,” tambahnya.

Menurut Edi, LBH Makassar selaku penasehat hukum dari tiga orang tersangka telah mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan di Pengadilan Negeri Makassar, yang terdaftar dengan Nomor Registrasi 33 Pid.Pra/20/PN.MKS tertanggal 6 November 2017.

“Hal ini bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia terhadap proses penegakan hukum secara sewenang-wenang yang dialami oleh tiga orang petani tersebut di atas agar penyidik dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian,” ujarnya.

 

Adanya Aduan Warga

Muhammad Nur, Kepala BPPHLHK Sulawesi, membenarkan adanya penangkapan tersebut, yang merupakan hasil dari operasi gabungan, yang dilakukan berdasarkan adanya aduan dari warga.

“Berdasarkan adanya aduan warga kita memang melakukan operasi gabungan di mana kami menemukan empat orang tersebut telah melakukan pelanggaran pidana kehutanan. Tiga di antaranya melakukan perambahan dengan menanam cengkeh, kopi dan jahe yang usianya belum setahun, dan seorang lagi berkebun dan melakukan penebangan liar. Lokasinya berada dalam kawasan hutan lindung. Mereka tinggal sekitar 3-4 km dari lokasi penangkapan,” ungkap Nur ketika dikonfirmasi Mongabay.

Menurut Nur, lokasi di mana tersangka melakukan aktivitas berada di luar lokasi yang diusulkan untuk pengembangan RTRW Kabupaten, berdasarkan keterangan dari ahli dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).

Nur juga membantah jika dikatakan bahwa penangkapan tersebut dilakukan tidak sesuai prosedur karena kepada tersangka sudah dijelaskan alasan penangkapan. Tim juga dilengkapi dengan surat tugas.

“Sudah dijelaskan kepada tersangka dan tim punya surat tugasnya. Kami juga diserang dari pengadu masyarakat kenapa lambat melakukan tindakan,” katanya.

 

Menurut Muhammad Nur, Kepala BPPHLHK Sulawesi, lokasi di mana keempat tersangka melakukan aktivitas berada di luar lokasi yang diusulkan untuk pengembangan RTRW Kabupaten, berdasarkan keterangan dari ahli dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Foto: Edi Kurniawan/LBH Makassar/Mongabay Indonesia

 

Sulsel Rawan Perambahan Hutan

Kasus penangkapan yang dilakukan BPPHLHK Sulawesi di Kabupaten Soppeng ini bukan kali pertama. Pada Februari 2017 lalu, BPPHLHK Sulawesi menyatakan telah mengungkap lima kasus pembalakan liar hingga peredaran kayu tanpa izin yang diungkap. Dari kelima kasus tersebut, BPPHLHK Sulawesi mengklaim menyelamatkan miliaran rupiah uang negara dari kawasan hutan.

Lima kasus tersebut antara lain dua kasus di Sulawesi Utara, satu kasus di Sulawesi Tengah dan dua kasus di Sulawesi Selatan. Sementara tiga provinsi lain di Sulawesi lainnya belum ada pengungkapan kasus.

Kasus paling menonjol yang diungkap polisi hutan alias SPORC dari BPPHLHK adalah penyitaan ratusan kayu ilegal asal Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, Sultra, yang diamankan di daerah Maccopa, Kabupaten Maros, Sulsel, pada 15 Februari 2017 silam. Kayu ilegal dengan volume mencapai 30 kubik itu diduga berasal dari kawasan hutan dan tidak mengantongi dokumen resmi.

“Sopir truk pengangkut kayu membawa dokumen yang setelah ditelusuri ternyata bodong,” ungkap Nur.

Pada 10 Maret 2017, SPORC BPPHLHK Sulawesi juga mengungkap kasus perambahan kawasan hutan dan illegal logging di kawasan Hutan Lindung Bangkala, di Desa Kapita, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulsel.

Nur mengatakan untuk tahun ini pihaknya telah memetakan daerah-daerah di Sulawesi yang memiliki potensi pembalakan liar dan perambahan hutan. Khusus untuk pembalakan liar, pihaknya menaruh atensi terhadap kawasan hutan di Morowali, Sulteng. Selain itu, ada pula daerah Buton, Sultra yang disebutnya cukup rawan.

Menurut Nur, untuk kasus perambahan hutan, Sulsel adalah daerah yang sangat rawan. Perambahan hutan yang diubah menjadi kebun terjadi secara sporadis di beberapa kabupaten/kota di antaranya yakni Kabupaten Luwu Timur, Pinrang, Sinjai, Gowa, dan Jeneponto.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,