Matahari baru saja menampakkan dirinya di batas timur langit Kota Serang, tetapi beberapa langkah kaki tanpa alas, bergegas, berjalan menyusuri jalan, dari kampung halaman tercinta menuju ibukota Banten itu. Dan pemilik kaki-kaki tak beralas itu adalah Suku Baduy.
Walaupun terlihat santai saja, namun Suku Baduy dalam ini berjalan dengan ritme yang cukup cepat. Jarak sekitar 120 km Desa Kanekes, Kecamatan Luwidamar, Kabupaten Lebak ditempuh hanya dalam waktu 3 hari saja diwaktu pagi sampai sore saja.
Mulai dari 20-22 april 2018, sebanyak 1388 orang warga Suku Baduy, baik Baduy Dalam ataupun Baduy Luar, melakukan suatu ritual tahunan yang disebut dengan Seba Baduy. Rangkaian ritual adat itu diawali dengan Ngawalu, Ngalaksa, dan terakhir adalah Seba.
baca : Cerita dari Kasepuhan Karang Pasca Penetapan Hutan Adat
Ritual Seba ini sifatnya wajib, dan merupakan amanat dari para leluhur, yang secara lahiriah datang dari penguasa atau dalam hal ini adalah pemerintah yaitu Gubernur Banten, sehingga pelaksanaannya tidak bisa ditunda.
Seba artinya seserahan atau upeti hasil bumi Suku Baduy terhadap Bapak Gede atau Gubernur Banten Wahidin Halim. Acara itu digelar setelah musim panen ladang huma, sebagai rasa syukur masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam karena mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual Seba ini tanpa ada paksaan dari manapun. Bahkan tradisi sudah berlangsung ratusan tahun sejak zaman Kesultanan Banten di Kabupaten Serang.
Masyarakat Baduy Luar yang dipimpin oleh Jaro maupun Baduy Dalam yang dipimpin oleh Puun, bersama-sama berbondong-bondong membawa hasil tani tersebut pada pemerintahan yang saat itu diserahkan pada para penggede.
baca : Dari Pekan Masyarakat Adat: Merawat Adat, Menjaga Alam, Menyelamatkan Kehidupan
Dan saat bertemu dengan para pemimpin daerah itulah, dibicarakan tentang kondisi adat dan masa depan masyarakat Baduy. Dalam kesempatan itu pun akan dibicarakan masalah penegakan hukum bagi orang luar Baduy yang merusak alam dalam kawasan adat Baduy.
Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua bagian. Ada Baduy Dalam dan Baduy Luar. Suku Baduy Dalam masih menjunjung tinggi adat istiadat. Bahkan berbagai tehnologi modern tidak boleh masuk ke dalam desa mereka, sehingga Baduy dalam selalu identik dengan adat yang kuat dan alam, dan biasanya berpakaian serba putih dengan udeng atau ikat kepala yang putih pula.
Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mengadopsi teknologi modern dalam kehidupan sehari-hari, dengan pakaian yang serba hitam dengan ikat kepala atau udeng biru. Dan ini sebabnya, hanya masyarakat Baduy Dalam melakukan perjalanan kemanapun, hanya dengan berjalan kaki, tidak peduli berapapun jauhnya. Sementara Baduy Luar bisa menggunakan kendaraan. Dan ini pun juga merupakan salah satu penghargaan mereka terhadap alam.
baca : Panen Nusantara: Inilah Produksi Warga yang Peduli Alam
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh dirubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditolak
Yang jangan harus dilarang
Yang benar haruslah dibenarkan
Filosofi itulah yang digunakan oleh masyarakat baduy, dalam melakukan tradisi seba. Dan tahun ini diikuti sekitar 1.3088 masyarakat baduy dalam dan luar. Perjalanan ritual seba baduy ini, dilakukan di tiga daerah, lebak, pandeglang dan serang.
Seba Baduy ini seyogyanya bisa menjadi daya tarik wisatawan baik lokal maupun manca Negara, asalkan dikelola dengan baik dan lebih profesional. Dengan promosi dan persiapan yang matang, serta susunan acara yang tepat, niscaya acara ini akan menjadi salah satu andalan Pemprov Banten, atau bahkan Indonesia dalam menangguk wisatawan, seperti pada acara-acara festival nusantara lainnya.