Dua hari jelang Lebaran Idul Fitri 1439 H, puluhan warga Kampung Ongko Asa, Kabupaten Kutai Barat, berkumpul di Samarinda, Kalimantan Timur. Bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, mereka menggelar konferensi pers terkait kondisi enam kampung di Kutai Barat yang dibidik perusahaan tambang.
Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Kampung Ongko Asa, Markus, mengisahkan, ada enam kampung di Kutai Barat yang diserahkan oleh Pemkab Kubar untuk ditambang perusahaan batubara PT. Kencana Wilsa. Sejak 2010, perusahaan tersebut melobi warga di enam kampung itu: Ongko Asa, Muara Asa, Geleo Asa, Pepas Asa, Juaq asa, dan Muara Benangaq. Hasilnya nihil, semua warga menolak.
“Mereka punya izin dari Pemkab Kubar di masa kepemimpinan Pak Thomas. Sekarang Pak Thomas sudah tidak menjabat, tapi izinnya ternyata masih berlaku dan kini dijadikan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kubar untuk meloloskan rencana penambangan batubara di desa kami,” katanya.
Selang 8 tahun, warga mengira perusahaan tidak tertarik lagi menambang. Tidak disangka, awal Juni 2018, perusahaan kembali datang bersama tim DLH Kubar, memetakan area di enam kampung tersebut. Kampung Ongko Asa yang akan digarap duluan, sontak warga gusar dan melakukan perlawanan.
“Sudah lama kami diam, karena sejak ritual denda mereka tidak datang lagi. Ternyata, mereka datang lagi. Amdal yang kerap disebut Pemkab Kubar tak pernah diperlihatkan ke warga. Dulu kami sudah datangi Pemkab, tapi tidak diindahkan karena masa pergantian dari Bupati Thomas ke bupati yang baru,” kata dia.
Markus menjelaskan, pada 2010, ketika perusahaan melakukan sosialisasi di enam kampung yang akan ditambang, pihaknya tidak terima. Akhirnya para ketua adat melakukan ritual dan memberi sanksi pada perusahaan. Perusahaan setuju terhadap denda dan segala syarat yang diminta. Namun, setelah ritual adat selesai, perusahaan memutar balik fakta dan melaporkan kejadian itu pada Pemkab Kubar bahwa telah terjadi kesepakatan melalui sosialisasi.
“Padahal sebaliknya, sosialisasi yang mereka maksud adalah ritual adat yang kami lakukan untuk mendenda mereka,” jelasnya.
Menurut Markus, wilayah yang akan ditambang merupakan jantung Kabupaten Kubar. Lokasinya hanya 12 kilometer dari Pusat Pemerintahan Kubar. Di Kampung Ongko Asa sendiri, dihuni 101 kepala keluarga dengan perkiraan 400 lebih jiwa. Hampir semua warga merupakan suku Dayak Tunjung. Pada peta IUP yang diterbitkan Pemkab Kubar, terlihat ke enam desa tersebut masuk area pertambangan. Artinya, perusahaan bebas menambang bahkan di permukiman warga.
“Lahan yang akan ditambang merupakan kawasan produktif. Perkebunan dan pertanian warga. Yang pertama mau ditambang itu Gunung Layung, di sana sumber air kami. Jika sumber air hilang, kampung kami juga hilang. Pertanian dan kebun kami juga hilang. Bakal sengsara kami,” ungkapnya.
Tidak hanya permukiman, hutan adat milik Kampung Ongko Asa akan dibabat duluan. Hutan adat bernama Hemak Bojooq ini merupakan hutan utama yang dijaga ratusan tahun oleh warga. “Hutan adat kami akan dibabat, itu sudah ada dalam sosialisasi perusahaan 2010 lalu. Kalau ini hilang, kami tidak punya mata pencaharian lagi,” sebutnya.
Selama ini, lanjut Markus, perusahaan memang tidak pernah melakukan intimidasi. Perusahaan hanya melakukan lobi pada Pemkab Kubar dan masyarakat dengan iming-iming pekerjaan. Namun, pekerjaan yang dijanjikan tidak sesuai dengan skil warga yang rata-rata petani. “Biarpun dijanjikan kerja, kami tidak mau. Kami yakin itu hanya sebentar, sementara kami mau hidup selamanya di kampung kami.”
Warga akan melakukan perlawanan, dengan mendatangi semua instansi terkait. Dari pejabat kampung, Pemkab Kubar hingga Provinsi Kaltim dan DPRD Kaltim. “Kami akan datangi semua, kami melawan,” tegasnya.
SMS ancaman
Sepekan konferensi pers digelar, warga di enam kampung tersebut mendapat teror SMS. Pesan pendek yang mengatasnamakan kepolisian yakni Kasatreskrim AKP Ida Bagus yang bertugas di Kubar. Oknum tersebut meminta memberi kontak JATAM yang dianggap membantu warga melakukan perlawanan.
Pendamping warga Ongko Asa, Srianto, juga mendapat teror yang sama. Dia bingung lantaran munculnya aparat kepolisian pada kasus tambang di kampung itu. “Saya di SMS orang tak dikenal. Dia mengaku AKP Ida Bagus, dan menanyakan nomor kontak JATAM Kaltim yang selama ini membantu kami,” sebutnya.
Dinamisator JATAM Kaltim, Pradarma Rupang menilai, situasi ini merupakan upaya pelemahan warga, agar lahan dan permukiman mereka bisa dirampas cepat. Rupang menilai, pemkab dan perusahaan tidak terbuka alias menutupi berkas yang seharusnya diketahui warga, terutama masalah amdal dan izin mendirikan bangunan perusahaan. “Ini pelemahan terhadap warga, perusahaan sendiri sudah tidak transparan dan ini tidak boleh. Pemerintah seharusnya melihat kondisi warganya, jangan memutuskan sendiri apalagi yang berkaitan dengan tambang yang nantinya akan merusak kehidupan warga enam kampung yang sudah dibidik,” tegasnya.
Sementara itu, dihubungi melalui ponsel, Kasatreskrim Polresta Kubar, AKP Ida Bagus menyampaikan, dirinya tidak pernah mengirimkan SMS pada warga di Kampung Ongko Asa. Dia bahkan tidak menerima laporan apapun dari masyarakat maupun perusahaan terkait masuknya tambang di enam kampung di Kubar itu.
“Saya tidak pernah mengirim SMS apapun ke warga Kampung Ongko Asa. Sekali lagi saya tegaskan, tidak ada laporan yang masuk. Saya tidak pernah SMS soal ini, karena saya tidak pernah merasa menerima laporan. Sekian,” pungkasnya.