“Bapak Presiden yth………..Sumatera Utara juga menjadi rumah bagi sejenis orangutan yang baru secara ilmiah dideskripsikan tahun lalu, yaitu orangutan Tapanuli. Jenis ini berbeda dari orangutan yang lain di Sumatera dan Kalimantan. Mereka memiliki genetika yang khas, dan bentuk tubuh dan kepala, perilaku, dan vokalisasi yang berbeda dengan jenis lain. Orangutan Tapanuli adalah jenis kera besar yang unik dan khas dan hanya ada di Indonesia……..
Yang tidak kalah pentingnya adalah dampak proyek PLTA Batang Toru yang didanai RRC. Proyek ini bisa menjadi pemicu kepunahan bagi orangutan Tapanuli. Sisa habitatnya akan dipotong oleh jalan baru, saluran listrik, terowongan, dan sarana lain dan sebagian habitat kuncinya akan ditenggelamkan waduk. Jalan adalah ancaman yang sangat berbahaya karena mereka membuka habitat orangutan untuk pemburu, penebang liar, penambang, dan perambah lahan. Analisis ilmiah baru-baru ini menunjukkan bahwa orangutan Tapanuli hanya bertahan hidup di mana tidak ada jalan…………………….”
Baca juga: Proyek PLTA di Hutan Batang Toru Dibangun untuk Kepentingan Siapa?
Sebanyak 25 ilmuan terkemuka dunia tergabung dalam Allliance of Leading Environmental Researchers and Thinkers (ALERT) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat mereka kirim Selasa, (10/7/18) melalui Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta.
Mereka mendesak Pemerintah Indonesia membatalkan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru karena dinilai pembangunan bakal mengancam spesies kera besar terlangka di dunia, orangutan Tapanuli.
Baca juga: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli
William F Laurance, ahli ekologi tropis dari James Cook University Australia mengatakan, orangutan Tapanuli berbeda dengan orangutan Sumatera maupun Kalimantan. Ia memiliki karakteristik sangat khas.
“Habitat terakhir mereka sudah sangat kecil sedang dihancurkan oleh pembukaan hutan ilegal, penebangan dan perburuan. Semua itu terjadi di sekitar jalan,” katanya.
Onrizal, peneliti kehutanan dari Universitas Sumatera Utara, bilang, orangutan Tapanuli baru dideskripsikan oleh ilmuwan tahun lalu.
“Mereka terkejut menyadari hanya ada kurang dari 800 individu. Sumatera Utara satu-satunya provinsi kera besar ini hidup,” katanya, dalam rilis kepada media.
Baca: Marak Kontroversi Pendirian PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli
Listrik PLTA Batang Toru, katanya, tidak begitu diperlukan, masih ada alternatif lain lebih ramah lingkungan.
“Orangutan Tapanuli sangat terancam. Pembangunan PLTA ini akan memalukan Indonesia dan China di mata dunia. Orangutan Tapanuli adalah salah satu kerabat terdekat kita. Bagaimana kita bisa mengambil risiko mengorbankan untuk manfaat terbatas semacam itu?” katanya.
Laurance menyebut, pembangunan PLTA Batang Toru sebagai masalah “kepala tombak” karena akan banyak dampak muncul kalau pembangunan tetap jalan.
“Awalnya, ini sekelompok ilmuwan yang memiliki keprihatinan besar tentang dampak proyek hydropower yang didanai dan dibangun China. Pembangunan yang dilakukan di jantung habitat orangutan Tapanuli, ini spesies kera besar terlangka di dunia,” katanya kepada Mongabay.
Dia mengatakan, pemrakarsa proyek PLTA Batang Toru seolah terus mencoba mencari argumentasi dan mengecilkan dampak yang akan terjadi, jauh dari perspektif lingkungan. Padahal, proyek mereka, minimal akan memotong populasi besar terakhir dari orangutan Tapanuli jadi setengahnya.
Lebih buruk lagi, katanya, akan membuka habitat utama untuk serangan lebih jauh, fatal dengan pemburu, penebang, dan petani sawit yang akan gunakan jaringan luas jalan baru, jaringan listrik, dan saluran pipa besar.
Habitat orangutan, katanya, akan terfragmentasi sebegitu luas dan bisa menyebabkan invasi manusia dan dampak lain.
Baca: Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru
Dalam surat itu, para ilmuan menyatakan, dengan populasi 800, luas habitat mereka (hutan Batang Toru) terhitung sangat kecil. “Kurang dari seperlima luas Jakarta.”
Dengan pembangunan PLTA, katanya, makin mengikis habitat orangutan Tapanuli. Proyek pembangunan PLTA Batang Toru, sebagai lonceng kematian bagi orangutan Tapanuli.
“Karena habitat orangutan Tapanuli akan diserang begitu parah oleh bendungan dan infrastruktur pendukungnya, itu berarti upaya sangat dibutuhkan untuk memulihkan koridor hutan untuk menghubungkan kembali populasi kera yang berkurang bersama-sama hampir pasti akan gagal.”
PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) bakal membangun PLTA Batang Toru berkapasitas 150 MW dengan kepemilikan saham, PJBI 25%, PT DHN 52,82% dan Fareast Green Energy 22,18%. Target operasi 2022. Proyek ini akan dibangun dengan nilai investasi sekitar US$1,6 miliar, dengan dukungan pendanaan Bank of China dan Sihohydro, merupakan pemain pengembangan PLTA dari China.
Sebelumnya, pendanaan pembangunan PLTA Batang Toru sempat ditolak International Finance Corporation dari Bank Dunia. Penolakan pemberian pendanaan karena menilai habitat orangutan Tapanuli ini terlalu sensitif dari sisi lingkungan buat pembangunan PLTA.
Dalam konteks itu, kata Laurence, sangat mengejutkan, Bank of China, Sinohydro dan mitra Indonesia terus mendorong proyek ini dengan keras.
“Direncanakan tepat di tengah habitat terakhir kera besar itu, akan dibangun jalan membelah hutan, jaringan listrik, dan terowongan. Pembangunan PLTA ini juga bisa membanjiri habitat mereka,” katanya.
Dalam pandangan Laurance, pemrakarsa PLTA Batang Toru sedang bermain api. Mereka berurusan dengan para ahli ekologi top dunia yang telah menghabiskan hidup dalam masalah ini.
Dengan pembangunan PLTA, akan membanjiri hamparan utama habitat otangutan Tapanuli. Bahkan lebih penting lagi, dengan mengiris sisa hutan dengan jalan baru, powerline, terowongan, dan fasilitas lain yang dibangun.
“Jalan adalah ancaman sangat berbahaya karena mereka membuka habitat kera untuk pemburu, penebang liar, penambang, dan perambah lahan. Analisis ilmiah baru-baru ini menunjukkan bahwa orangutan Tapanuli hanya bertahan di jalan yang hampir seluruhnya tidak ada.”
Dalam surat itu, para ilmuan ini juga mengatakan, proyek PLTA Batang Toru akan menciptakan gangguan besar di jantung satu-satunya perlindungan orangutan Tapanuli. Termasuk pembangunan sebuah terowongan besar yang akan memotong kasar 13 kilometer hutan primer. Dari sana, akan ada lebih satu juta meter kubik tanah dan puing-puing batu. Jalan inspeksi untuk terowongan di sepanjang hutan primer, saluran listrik tegangan tinggi yang memotong hutan primer, pembangunan waduk hidro di episentrum lempeng gempa teknotik.
“Para pembuat bendungan kehilangan argumen mereka dengan buruk. Jika ada, mereka hanya akan menciptakan, lebih besar, masalah jangka panjang untuk perusahaan mereka sendiri, karena kami mungkin perlu melihat lebih luas aktivitas mereka di seluruh wilayah, dan mulai melobi pemegang saham mereka dan mitra dagang lainnya. Jika mereka berperilaku buruk di Sumatera Utara, seberapa besar perilaku mereka di tempat lain?” ucap Laurance.
Jatna Supriatna, ahli primata dari Universitas Indonesia mengatakan, Indonesia memiliki tanggung jawab internasional melindungi kera besar unik ini. Dengan menyelamatkan habitat orangutan Tapanuli, juga sekaligus menyelamatkan spesies lain seperti harimau Sumatera, juga terancam punah dan lain-lain.
Para ilmuan ini, mendorong Pemerintah Indonesia segera menghentikan pembangunan PLTA Batang Toru. Mereka juga meminta pemerintah mengatur kembali semua habitat tersisa untuk orangutan ke status yang memberikan perlindungan dan manajemen efektif. Termasuk demarkasi jelas dari hutan, patroli, dan upaya anti-perburuan liar.
Pemerintah, sebut surat itu, harus mengambil langkah mendesak menghubungkan kembali blok habitat tersisa melalui koridor hutan.
Buat daftar orangutan Tapanuli sebagai spesies dilindungi dengan profil tinggi pada daftar spesies dilindungi.
“Bapak Presiden, kami tahu dengan baik latar belakang Anda yang kuat bidang kehutanan dan bisnis dan upaya utama Anda mengurangi momok kebakaran yang merusak di Sumatera. Kami mengimbau Anda sekarang membantu melestarikan salah satu spesies satwa liar paling unik dan terkenal di seluruh Indonesia.”
Hageng Suryo Nugroho, Tenaga Ahli Madya Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan isu-isu Sosial, Budaya dan Ekologi Strategis KSP, yang menerima surat mengatakan, ini situasi pelik.
“Kita aware dan konsen dengan spesies orangutan Tapanuli ini. Ini satu-satunya spesies di dunia, endemik Indonesia. Memang susah itu kementerian, gak cukup cepat memvalidasi dan tak cukup cepat merespon terkait masalah ini. Kita akan cek ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan ESDM (Energi dan Sumber Daya mineral),” katanya.
KSP, juga akan mengecek soal status hutan di lokasi PLTA Batang Toru kepada KLHK termasuk skenario-skenario yang mungkin dilakukan agar tak mengancam satwa. “Apakah ada perlakuan tertentu atau seperti apa? Berapa luasan wilayahnya, apakah itu cukup atau tidak, itu kan perlu diteliti. Apakah cocok atau tidaknya, apakah ada sumber air atau tidak, itu juga perlu diteliti.”
KSP juga akan mempertanyakan pemenuhan energi di Sumut dan status pembangunan NSHE ke KESDM.
“Kita juga akan cek ke ESDM terkait NSHE ini. Kapasitasnya 510 MW, lumayan besar itu untuk air. Kita harus melihat itu sekarang.”
Untuk kasus Sumut, katanya, harus melihat seberapa besar keperluan listrik mereka. “Kalau memang Sumut sudah surplus listrik, harus dipertanyakan mengapa pembangkit listrik masih tetap dibangun di sana.”
Dia menduga, perusahaan berkeras membangun biasa untuk keperluan industri, seperti pertambangan atau industri yang perlukan listrik besar. “Daripada mengambil jauh dari daerah lain, bisa jadi ambil listrik dari pembangkit yang dibangun.”
***
“Selamatkan Rimba Terakhir Batang Toru Sumatera Utara.”
Begitu spanduk yang terbentang oleh puluhan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di depan Kedutaan Besar China di Kuningan, Jakarta, awal Mei lalu.
Tak ada orasi. Tujuan mereka datang ke Kedubes China untuk memberikan surat kepada duta besar negara itu. Petugas keamanan menjaga ketat.
Surat itu wujud penolakan mereka terhadap pembangunan PLTA Batang Toru. Walhi menolak PLTA Batang Toru karena berpotensi merusak lingkungan sekitar dan mengancam habitat orangutan Tapanuli.
“Meski digambarkan sebagai proyek hijau dari sumber energi terbarukan, pembangunan dan operasi PLTA Batang Toru akan lebih banyak merugikan daripada manfaatnya. Karena mengancam kehidupan masyarakat, satwa dan kelestarian lingkungan,” kata Dana Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut.
Ekosistem Batang Toru merupakan hamparan hutan primer dengan luas 1.400 km persegi. Ia berada di perbatasan antara Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Ia juga rumah bagi habitat orangutan jenis baru, yakni orangutan Tapanuli.
“Di hutan sekitar 100.000 orang bergantung, lalu akan dibangun bendungan. Akan ada perusakan keragamanhayati.”
Selain itu, PLTA akan menambang air sungai selama 18 jam, hingga khawatir sekitar 1.200 hektar sawah di bawah kering. “Enam jam kemudian, dibuka, sawah itu akan banjir. Jadi akan banyak kehilangan mata pencaharian, begitu juga ikan dan segala macam,” katanya.
Walhi juga menelaah dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), tak memuat soal potensi gempa. Padahal, di bawah lokasi pembangunan PLTA itu ada lempengan gempa Toru.
“Sistemnya ini kan akan membuat terowongan. Kalau ini dibongkar dan dibuat terowongan, itu berpotensi ada gempa. Itu tak dikaji.”
Menurut Dana, di hilir Sungai Toru, masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani juga terancam. Lebih dari 1.200 hektar lahan pertanian produktif di hilir sungai Toru terancam akibat pembangunan proyek tersebut.
Menurut dia, PLTA sekitar 600 hektar, luas hutan 1.400 hektar. Sejak 10 tahun lalu sudah didorong supaya jadi hutan lindung atau konservasi, tetapi pemerintah kabupaten tak pernah mau. Pemerintah daerah, katanya, tetap pertahankan sebagai alokasi penggunaan lain (APL) karena melihat ada potensi bisnis di situ. “Padahal tegakan, layak jadi hutan primer.”
Kalau pembangunan PLTA tak setop, Walhi akan gugat ke pengadilan. “Kita mau ke PTTUN untuk menghentikan izin kalau memang penyokong dana tidak menghentikan.”
Dia meminta, NSHE dan Sinohydro sebagai pelaksana proyek pembangunan segera menghentikan semua operasi, seperti membongkar infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang kini memberikan akses perburuan dan penebangan spekulatif.
“Bank of China dan China Merchants Bank juga harus menghentikan dukungan pendanaan,” katanya.
Dia juga meminta, evaluasi amdal seperti soal dampak sosial dan lingkungan karena dokumen mereka banyak mengabaikan hal-hal penting ini.
Kata perusahaan
Agus Djoko Ismanto, Senior Advisor Lingkungan NSHE pada akhir Mei lalu memberikan penjelasan soal kekhawatiran yang muncul dari berbagai kalangan baik kerusakan lingkungan sampai keterancaman habitat orangutan kalau PLTA ada.
Setelah proses berbagai perizinan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), katanya, perusahaan juga melengkapi dengan kajian berstandar internasional dengan ikut pedoman Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) atau penilaian dampai lingkungan dan sosial.
“Perusahaan ini sukarela akan ikuti standar IFC dan Word bank. Jadi, ada hal-hal yang belum ada di amdal, ada di sini, antara lain studi mengenai keragaman hayati, termasuk yang akuatik dilakukan studi,” katanya.
Dalam ESIA juga disinggung beberadaan satwa, salah satu orangutan. Untuk tahu detil soal itu, katanya, perusahaan lakukan studi lebih lengkap, misal, kanan kiri jalan sepanjang satu kilometer disurvei guna memastikan pengetahuan soal keberadaan orangutan.
“Survei pakai konsultan atau lembaga resmi. Perusahaan gak punya kapasitas itu. Studi orangutan itu sebelumnya kita lakukan, sekarang kita lakukan lagi dengan supervisi dari otoritas yakni, Badan Konservasi Sumber Daya Alam,” kata Agus.
Dia sebutkan, penelitian lebih detil soal orangutan itu dengan kepala peneliti (team leader) dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli.
Dia bilang, perusahaan juga punya tim pengamatan keragaman hayati.
Ceritanya, kata Agus, sebelum mulai land clearing, perusahaan kerja sama dengan LSM lokal. LSM lokal ini, katanya, pagi-pagi datang ke lokasi untuk mengamati setiap lima hektar lahan yang akan dibuka. Mereka mengamati ada satwa liar atau tidak.
“Kalau ada satwa liar, mereka usahakan bergeser keluar area. Kalau misal, menemukan ada anak atau sarang rangkong. Itu juga diselamatkan dulu.”
Selain itu, juga mengamati tanaman. Kalau menemukan tanaman termasuk ketegori langka, anakan atau bibit akan diambil ke lokasi persemaian. “Ini untuk kepentingan penanaman kembali lagi. Jenis-jenis setempat nanti akan kembali.”
Setelah pembukaan lahan, katanya, akan ada pemeriksaan kembali untuk melihat ada atau tidak satwa jadi korban. “Ada gak binatang terluka, nanti kalau ada di pertolongan pertama. Sejauh ini belum ada. Itu contoh kongkrit yang sudah dilakukan,” ucap Agus.
Perusahaan juga akan membuka 12 koridor satwa secara bertahap guna mengantisipasi dampak pembukaan lahan, hingga jalan satwa tak terputus. “Ini bangun bertahap. Yang sudah siap ada empat.”
Titik-titik koridor satwa itu, katanya, berdasarkan pengamatan tim keragaman hayati.
Begitu juga kalau ada daerah lintasan satwa terestrial, katanya, akan diupayakan jangan sampai tebing terpotong jadi terjal dan mereka tak bisa lewat. “Kalau, ada lokasi-lokasi gitu, dibikin modifikasi hingga bisa tetap lewat.”
Soal habitat terbelah, katanya, ada Sungai Batang Toru ini memang membelah blok secara alami. “Air deras. Lebar antara 40-60 meter, bahkan lebih, kalau ada binatang yang nyebrang itu mungkin gak bertahan. Apalagi orangutan, gak akan mungkin nyebrang.”
Ada juga delta, kalau dari citra satelit seperti dekat. Dia sudah ke lapangan, lebar sungai di delta itu, satu sisi ada sekitar 10 meter, sisi lain sekitar 20 meteran.
Dia menyadari, dalam proses pembangunan ada bongkar pasang, dan ada yang rusak tetapi hal itu coba ditekan seminimal mungkin.
Jalan dan jembatan sementara yang dibuka, katanya, dalam proses pembangunan dilakukan dengan pengawasan ketat. Setelah selesai, jalan dan jembatan selesai ini dibongkar.
Soal kekhawatiran perburuan, katanya, pertama, perusahaan punya kebijakan zero tolerance. Semua pekerja, kata Agus, dalam kontrak sudah menyatakan, jika melakukan praktik perburuan atau mengambil produk hutan, satwa atau tumbuhan, mendapatkan sanksi pemecatan dan tak akan dipekerjakan lagi.
Untuk menjalankan itu, katanya, di pintu-pintu masuk tadi dilakukan pemeriksaan. Kala mereka datang, tak boleh membawa peralatan, saat keluar juga diperiksa.
Kedua, mereka membentuk wildlife rescue. Fungsinya, setiap orang atau pekerja akan melalui pelatihan dan ada aturan main. Juga ada kewajiban melaporkan kalau berjumpa dengan satwa liar. Ada form diserahkan ke petugas keamanan atau Wildlife Response Unit (WRU).
Dari laporan itu, katanya, WRU akan lakukan penilaian, satwa itu berbahaya atau tidak. Kalau berbahaya, maka akan diumumkan, diberi peringatan buat lakukan penghentian kerja sementara. Kalau itu, satwa dilindungi maka akan lapor ke otoritas yakni BKSDA.
“Kalau itu tak berbahaya, berlaku aturan umum, tak boleh menggangu. Bahkan memberi makan dan berlama-lama berinteraksi, ambil foto juga tak boleh. Ada aturan-aturan ketat.”
Tito Prano, penasehat senior bagian komunikasi NSHE mengatakan, PLTA merupakan bisnis air. “Bahan baku bekerja itu air. Kita tak akan membunuh bahan baku kita. Soalnya, investasi kita gede di sini. Kalau bahan baku mati (hutan hilang), investasi kita rugi. PLTA itu sebetulnya, bisnis lingkungan hidup, jasa lingkungan,” katanya.
Ketakutan dalam bisnis PLTA ini, katanya, kalau sampai hutan di hulu rusak dan menggangu pasokan air. Sebenarnya, perusahaan malah mendukung kalau ada kepastian DAS Batang Toru terjaga.
Dia sebutkan, mereka mendapatkan izin 7.000 hektar untuk kepentingan survei (tahap eksplorasi) dan terpakai kurang 600 hektar. Sisanya, mereka kembalikan ke Pemerintah Tapanuli Selatan.
“Kalau misal yang dikembalikan itu jadi kebun sawit, pasokan air kita rusak,” katanya.
Perusahaan, katanya, malah senang kalau lahan-lahan sekitar nanti jadi hutan lindung. “Misal, pemerintah jadikan hutan lindung, dan perusahaan diminta merawat, pasti mau. Ketimbang kalau buat kebun sawit, tata air pasti rusak. Ini APL, kita inginnya kelola seperti hutan lindung kalau boleh,” kata Tito.
Mereka mengklaim, PLTA Batang Toru disiapkan sebagai proyek irit lahan dengan 67,7 hektar lahan tergenang dengan tambahan areal badan sungai 24 hektar.
Berbicara proyek PLTA Batang Toru, kata Agus, sebenarnya belum mulai. “Sekarang itu baru tahap sangat awal, baru bikin jalan menuju ke lokasi. Baru buka akses,” katanya, akhir Mei lalu kepada Mongabay.
Jalan yang dibangun, katanya, hampir paralel dengan sungai. Paralel dengan sungai, Agus bilang, agar bisa memanfaatkan lahan relatif marginal, dan tak merusak lahan pertanian secara masif serta tak menambah fragmentasi.
“Ini kan di ujung atau tepian, berbeda misal, bangun di tengah, mungkin habitat di sini dan sana akan terpisah. Dengan tepian ini, kalaupun ada pengurangan sedikit, ini saja. Hingga tak memfrakmentasi signifikan.”
Jalan dan jembatan itu, katanya, juga bukan jalan umum tetapi jalan khusus. “Nanti akan jadi obyek vital, akses ini sangat dibatasi.”
Mereka juga menyiapkan lahan untuk timbunan dengan total luasan 171 hektar tersebar di beberapa titik.
“Kalau ada galian dan lebihnya disimpan di tempat-tempat ini. Setelah selesai, nanti (lokasi galian) ditanam lagi. Semua tanah ini dibeli dari masyarakat,” katanya.
PLTA Batang Toru target operasi pada 2022. Dengan kapasitas 510 MW, dioperasikan untuk atasi beban puncak, kira-kira enam jam sehari.
“Dengan 510 MW itu, emisi karbon yang bisa dikurangi itu 1,6 megaton per tahun. Itu kontribusi dari PLTA ini terhadap lingkungan,” katanya, seraya menambahkan, dari penghematan devisa sebesar US$400 juta per tahun karena subtitusi dari penggunaan diesel.
Keterangan foto utama: Orangutan Tapanuli makin terancam kalau habitat mereka terganggu. Pembangunan PLTA Batang Toru khawatir mengganggu spisies orangutan yang hanya ada di Sumatera Utara ini. Foto: Andrew Walmsley/SOCP/IISE