Hutan Indonesia yang amat luas menjadi alasan Indonesia disebut sebagai paru-paru dunia. Namun lebih daripada itu, di hutan-hutan alam ini, Indonesia memiliki keragaman hayati yang luar biasa. Salah satunya yang ada di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung.
Taman nasional ini memiliki luas 125.621 hektar dan telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai ASEAN Heritage Park yang ke-36 pada tahun 2016. Tidak salah memang, karena TNWK merupakan habitat dari mamalia besar Pulau Sumatera yang tersisa, sebut saja gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, beruang madu serta tapir.
Way Kambas selama ini terkenal dengan lokasi pelatihan gajahnya. Gajah dilatih untuk dijadikan mitra melakukan patroli di dalam kawasan hutan. Gajah yang telah dilatih pun digunakan untuk menghindarkan konflik satwa dengan manusia.
Tapi tak hanya itu saja keunikan dari Way Kambas. Taman nasional yang terletak di Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur ini juga memiliki Suaka Rhino Sumatera (SRS) yang dikelola oleh Balai Besar TNWK bekerjasama dengan Yayasan Badak Indonesia (YABI).
Lokasi ini diperuntukkan demi peningkatan jumlah populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), spesies yang jumlah semakin menurun di alam bebas. Badak ini memiliki keunikan, karena badannya yang relatif kecil dibandingkan badak lainnya, dan memiliki rambut di sekujur tubuhnya. Dia satu-satunya genus badak berambut yang selamat dari zaman es.
Hal lain adalah ciri fisik utama yang membedakan badak sumatera dengan spesies badak lain yang ada di TN Ujung Kulon yaitu badak jawa, yaitu jumlah culanya. Badak jawa memiliki satu cula, sedangkan badak sumatera memiliki dua cula.
Di SRS terdapat tujuh ekor badak sumatera. Tiap badak diperlakukan secara hati-hati. Satu badak yang ada di area SRS memiliki wilayah gerak (enclosure) seluas 10 hektar lahan hutan. Pakan badak pun amat diperhatikan untuk menunjang gizinya.
Prestasi SRS amat luar biasa. Di SRS, badak sumatera berhasil dikembangbiakkan. Anak badak pertama yang lahir di suaka ini bernama Andatu pada tanggal 23 Juni 2012, pasangan dari badak Andalas dan Ratu. Sedangkan anak kedua pasangan ini, Delilah lahir pada tanggal 12 Mei 2016.
“Kelahiran ini, menambah optimisme kami dalam upaya pelestarian badak sumatera. Kelahiran Andatu juga menjadi bukti bahwa SRS mampu untuk mengupayakan pelestarian badak sumatera,” jelas Zulfi Arsan dokter hewan di SRS beberapa waktu lalu.
Di luar kawasan SRS, di alam liar TNWK diperkirakan masih terdapat populasi badak liar yang jumlahnya diperkirakan antara 21-37 ekor.
Meski demikian, hingga saat ini aksi perburuan liar dan penebangan kayu menjadi faktor penyebab berkurangnya jumlah satwa liar yang ada di alam.
Untuk badak, perburuan liar terjadi karena harga cula badak di pasar gelap yang amat tinggi. Ada kepercayaan bahwa cula badak dapat dijadikan bahan obat kuat dan hal-hal mistis lainnya.
Sanksi berat sebenarnya dapat diberikan kepada pelakunya, seturut dengan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada pasal 21 diatur bahwa “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup maupun mati.”
Jika pasal tersebut dilanggar, maka sanksinya adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak sebesar Rp 100.000.000 (seratus juga rupiah).
Untuk mengantisipasi perburuan liar, di TNWK dilakukan patroli reguler oleh tim ranger maupun jagawana dalam rangka pengawasan lingkungan hutan. Meski sudah dilakukan upaya ini, hingga sekarang kerap dijumpai para pelaku perburuan liar yang mecoba mencuri-curi di dalam taman nasional. Meski ada yang tertangkap, ada pula yang lolos dari pengamatan petugas.
Meski demikian, tidak semua masyarakat sekitar taman nasional menjadi pelaku ilegal pengambilan kayu ataupun pemburuan satwa. Banyak pula masyarakat yang peduli dengan keberlangsungan badak sumatera.
Di beberapa desa-desa penyangga kawasan, bahkan penduduk sengaja melakukan penanaman pohon yang menjadi favorit badak sumatera. Contohnya nangka (Artocarpus heterophyllus), pohon yang memiliki ketinggian maksimal hingga 10-15 meter ini, daun pucuk mudanya menjadi pakan badak.
Antusias masyarakat sekitar menunjukkan bahwa badak masih memiliki peluang untuk hidup dan lestari di Way Kambas. Generasi mendatang pun akan tahu dan mengenal badak tidak hanya berdasarkan crita atau gambar, tapi dapat langsung berkunjung dan melihatnya secara langsung.
Manusia tanpa hutan bukan apa-apa. Namun hutan tanpa manusia akan baik-baik saja. Simpan tanganmu untuk menanam kebaikan bukan menyebabkan keburukan. Melestarikan badak sumatera penghuni hutan Way Kambas, berarti turut berjuang melestarikan alam Indonesia.
Foto tampak muka: Badak sumatera di SRS. Foto: Rhett Butler/Mongabay
* Fifi Nurhafifah. Artikel ini merupakan pemenang ketiga lomba blog penulisan #CeritaDariHutan, kerjasama antara Hutan Itu Indonesia, Good News from Indonesia, Idoep dan Mongabay Indonesia. Artikel ini telah melalui penyuntingan tanpa mengurangi esensi. Tulisan asli dapat dilihat pada tautan ini.